Share

5

            “Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah.

            “Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga.  Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan!

            “Hebat bukan main si Abi. Bisa tahu bahwa hatiku busuk dan malaikat telah melaknatku segala. Abi berteman dengan malaikat ya, memangnya?” tanyaku melecehkan.

            “Perempuan setan! Omonganmu betul-betul seperti orang tidak beragama! Terkutuk kamu, Mila!” Sumpah serapah dan caci maki tak hentinya keluar dari mulut sopan Abi. Sepertinya, beliau tengah membutuhkan sabun pencuci piring atau detergen anti bakteria. Ya, untuk membabat habis kata-kata kotornya itu!

            “Terima kasih, Bi, sebab telah mau menjadi mertuanya setan,” sahutku. Pokoknya, apa pun yang dia bakal ucapkan, akan kujawab sampai dia berhenti sendiri.

            “Mulai detik ini, aku tak menganggapmu sebagai menantu! Pun anakmu! Tak pantas dia berbintikan anakku. Tidak pantas dia menyandang nama Hadinata di belakang namanya. Kuharamkan nama suci itu untuk anak perempuanmu!”

            Aku memutar bola mata. Mulai merasa gerah dengan omongannya yang ngelantur. Lama-lama, Abi sudah seperti orang pikun yang jika berbicara tak tentu arahnya.

            “Oke, nama belakang itu tak akan dipakai lagi oleh Syifa. Apalagi, Bi? Katakan saja apa yang Abi mau, mumpung masih ada umur untuk berbicara denganku.”

            “Tinggalkan rumah yang kalian tempati! Keluar dari rumah anakku! Jangan bawa sehelai pun pakaian, sebab dialah yang selama ini mengeluarkan uang hasil jerih payahnya hanya untuk menghidupi perempuan tak berguna seperti kalian!”

            Mau muntah aku mendengarnya. Rumah tipe 45 ini dibeli Mas Faisal dua bulan setelah kami menikah secara cash. Harganya 280 juta, di mana aku mengikhlaskan seluruh tabunganku sejak pertama kali menikah sebesar 120 juta rupiah untuk menggenapi uang yang dia punya. Rumah ini dibangun atas jerih payah kami berdua, bukan hanya dari keringat Mas Faisal belaka. Untungnya, aku tak goblok-goblok amat. Rumah itu kupinta dibuat sertifikatnya atas nama diriku, bukan Mas Faisal. Enak saja Abi menyuruhku angkat kaki di rumahku sendiri.

            “Sertifikatnya ada di sini dan atas namaku. Apa yang jadi soalan hingga aku harus turun dari sini? Faisal yang harus turun dari rumah ini. Aku ikhlas kalau dia tak pulang-pulang lagi demi hidup bersama sepupunya yang kaya raya itu!”

            “Wanita serakah! Semoga kamu cepat mati!”

            Sambungan telepon pun lalu dimatikan. Aku geram setengah mati sebab tak sempat untuk membalas semua kata-kata culas Abi.

            “Ya Allah, berikanlah mereka umur yang sangat panjang supaya bisa bertobat!” kataku kesal sambil memasukan ponsel ke dalam saku daster.

            Kulanjutkan proses membakar seluruh barang-barang Mas Faisal. Setelah baju dan kertas-kertas itu hangus, segera kusiram drum besi tersebut dengan berember-ember air kamar mandi belakang.

            Terserah saja besok pagi aku dipanggil ketua RT sebab telah bakar sampah malam-malam. Aku tidak mau peduli. Yang penting hatiku puas!

            Api telah padam sepenuhnya, barulah aku bisa lega dan tenang ketika harus masuk kembali ke dalam. Buru-buru aku mandi di toilet dekat dapur, supaya setelah ini bisa beristirahat di samping Syifa. Tak perlu lama membasuh badan yang penting bersih dan wangi. Sekiranya sepuluh menitan di kamar mandi, aku pun menyudahi aktifitas bebersihku dan gegas melangkah ke kamar.

            Aku kaget ketika melihat Syifa sudah duduk di atas tempat tidur. Wajahnya murung. Tatapannya sendu memandang ke arahku.

            “Sayang, kenapa, Nak? Syifa masih pusing?” tanyaku seraya gegas naik ke ranjang.

            Syifa menggeleng. Gadis empat tahun dengan rambut ikal sebahu itu menarik ujung handuk yang kukenakan untuk menutupi tubuh.

            “Bunda … mana Ayah?”

            Hatiku sontak terkoyak mendengarkan pertanyaan dari bibir mungilnya. Derai air mata pun tertumpah perlahan dari pelupuk. Ya Allah, bagaimana aku harus menjelaskan pada putriku?

            “Ayah masih kerja, Nak,” jawabuku seraya mendekap erat tubuhnya yang sudah kembali normal. Tak lagi terasa demam atau hangat pada badan Syifa.

            “Kapan pulang?” tanya Syifa lagi.

            Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ya Allah, berikanlah keadilan-Mu. Anakku di sini merengek menanyakan sang ayah, sementara ayahnya sedang sibuk bercinta dengan perempuan lain. Demi Allah, aku tak ridho diperlakukan begini oleh Mas Faisal!

***

            Butuh perjuangan untuk menidurkan Syifa kembali. Setelah kuberikan segelas susu hangat dan membacakan dongeng si kancil untuknya, tepat pukul setengah tiga pagi anak itu akhirnya bisa terlelap lagi. Aku bersyukur. Akhirnya, aku bisa ikut beristirahat juga. Tubuhku luar biasa penat. Aku sangat ingin tidur demi mengembalikan stamina yang melemah.

            Baru saja aku hendak merebahkan kepala, getaran di ponselku lagi-lagi membuat mata ini melek. Sialnya, tadi ponsel tak sempat ku-silent atau kumatikan sekalian. Menyesal luar biasa mengapa tak kulakukan sebelum berbaring tadi.

Ponsel yang kuletakan di bawah bantal lekas kurogoh. Ketika sudah di genggaman, kulihat ada pesan masuk dari Anisa, sahabatku semasa bekerja dulu dan masih sering berkomunikasi hingga sekarang. Alisku langsung bertaut. Tumben Anisa W* jam segini?

            Ketika kubuka, mataku membelalak besar. Apa ini?

[Mila, ini aku lihat postingan suamimu di F* lima belas menit lalu. Mas Faisal kenapa, Mil? Kok, begini postingannya?]

            Sebuah gambar tangkap layar alias screenshot disertakan Anisa di bawah pesannya. Kantukku seketika enyah. Buyar sudah keinginanku buat rebah. Astaghfirullah! Di mana akal sehat Mas Faisal? Apa laki-laki sudah semakin gila?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
irwin rogate
pekerjaan itu kembali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status