“Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah.
“Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga. Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan!
“Hebat bukan main si Abi. Bisa tahu bahwa hatiku busuk dan malaikat telah melaknatku segala. Abi berteman dengan malaikat ya, memangnya?” tanyaku melecehkan.
“Perempuan setan! Omonganmu betul-betul seperti orang tidak beragama! Terkutuk kamu, Mila!” Sumpah serapah dan caci maki tak hentinya keluar dari mulut sopan Abi. Sepertinya, beliau tengah membutuhkan sabun pencuci piring atau detergen anti bakteria. Ya, untuk membabat habis kata-kata kotornya itu!
“Terima kasih, Bi, sebab telah mau menjadi mertuanya setan,” sahutku. Pokoknya, apa pun yang dia bakal ucapkan, akan kujawab sampai dia berhenti sendiri.
“Mulai detik ini, aku tak menganggapmu sebagai menantu! Pun anakmu! Tak pantas dia berbintikan anakku. Tidak pantas dia menyandang nama Hadinata di belakang namanya. Kuharamkan nama suci itu untuk anak perempuanmu!”
Aku memutar bola mata. Mulai merasa gerah dengan omongannya yang ngelantur. Lama-lama, Abi sudah seperti orang pikun yang jika berbicara tak tentu arahnya.
“Oke, nama belakang itu tak akan dipakai lagi oleh Syifa. Apalagi, Bi? Katakan saja apa yang Abi mau, mumpung masih ada umur untuk berbicara denganku.”
“Tinggalkan rumah yang kalian tempati! Keluar dari rumah anakku! Jangan bawa sehelai pun pakaian, sebab dialah yang selama ini mengeluarkan uang hasil jerih payahnya hanya untuk menghidupi perempuan tak berguna seperti kalian!”
Mau muntah aku mendengarnya. Rumah tipe 45 ini dibeli Mas Faisal dua bulan setelah kami menikah secara cash. Harganya 280 juta, di mana aku mengikhlaskan seluruh tabunganku sejak pertama kali menikah sebesar 120 juta rupiah untuk menggenapi uang yang dia punya. Rumah ini dibangun atas jerih payah kami berdua, bukan hanya dari keringat Mas Faisal belaka. Untungnya, aku tak goblok-goblok amat. Rumah itu kupinta dibuat sertifikatnya atas nama diriku, bukan Mas Faisal. Enak saja Abi menyuruhku angkat kaki di rumahku sendiri.
“Sertifikatnya ada di sini dan atas namaku. Apa yang jadi soalan hingga aku harus turun dari sini? Faisal yang harus turun dari rumah ini. Aku ikhlas kalau dia tak pulang-pulang lagi demi hidup bersama sepupunya yang kaya raya itu!”
“Wanita serakah! Semoga kamu cepat mati!”
Sambungan telepon pun lalu dimatikan. Aku geram setengah mati sebab tak sempat untuk membalas semua kata-kata culas Abi.
“Ya Allah, berikanlah mereka umur yang sangat panjang supaya bisa bertobat!” kataku kesal sambil memasukan ponsel ke dalam saku daster.
Kulanjutkan proses membakar seluruh barang-barang Mas Faisal. Setelah baju dan kertas-kertas itu hangus, segera kusiram drum besi tersebut dengan berember-ember air kamar mandi belakang.
Terserah saja besok pagi aku dipanggil ketua RT sebab telah bakar sampah malam-malam. Aku tidak mau peduli. Yang penting hatiku puas!
Api telah padam sepenuhnya, barulah aku bisa lega dan tenang ketika harus masuk kembali ke dalam. Buru-buru aku mandi di toilet dekat dapur, supaya setelah ini bisa beristirahat di samping Syifa. Tak perlu lama membasuh badan yang penting bersih dan wangi. Sekiranya sepuluh menitan di kamar mandi, aku pun menyudahi aktifitas bebersihku dan gegas melangkah ke kamar.
Aku kaget ketika melihat Syifa sudah duduk di atas tempat tidur. Wajahnya murung. Tatapannya sendu memandang ke arahku.
“Sayang, kenapa, Nak? Syifa masih pusing?” tanyaku seraya gegas naik ke ranjang.
Syifa menggeleng. Gadis empat tahun dengan rambut ikal sebahu itu menarik ujung handuk yang kukenakan untuk menutupi tubuh.
“Bunda … mana Ayah?”
Hatiku sontak terkoyak mendengarkan pertanyaan dari bibir mungilnya. Derai air mata pun tertumpah perlahan dari pelupuk. Ya Allah, bagaimana aku harus menjelaskan pada putriku?
“Ayah masih kerja, Nak,” jawabuku seraya mendekap erat tubuhnya yang sudah kembali normal. Tak lagi terasa demam atau hangat pada badan Syifa.
“Kapan pulang?” tanya Syifa lagi.
Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ya Allah, berikanlah keadilan-Mu. Anakku di sini merengek menanyakan sang ayah, sementara ayahnya sedang sibuk bercinta dengan perempuan lain. Demi Allah, aku tak ridho diperlakukan begini oleh Mas Faisal!
***
Butuh perjuangan untuk menidurkan Syifa kembali. Setelah kuberikan segelas susu hangat dan membacakan dongeng si kancil untuknya, tepat pukul setengah tiga pagi anak itu akhirnya bisa terlelap lagi. Aku bersyukur. Akhirnya, aku bisa ikut beristirahat juga. Tubuhku luar biasa penat. Aku sangat ingin tidur demi mengembalikan stamina yang melemah.
Baru saja aku hendak merebahkan kepala, getaran di ponselku lagi-lagi membuat mata ini melek. Sialnya, tadi ponsel tak sempat ku-silent atau kumatikan sekalian. Menyesal luar biasa mengapa tak kulakukan sebelum berbaring tadi.
Ponsel yang kuletakan di bawah bantal lekas kurogoh. Ketika sudah di genggaman, kulihat ada pesan masuk dari Anisa, sahabatku semasa bekerja dulu dan masih sering berkomunikasi hingga sekarang. Alisku langsung bertaut. Tumben Anisa W* jam segini?
Ketika kubuka, mataku membelalak besar. Apa ini?
[Mila, ini aku lihat postingan suamimu di F* lima belas menit lalu. Mas Faisal kenapa, Mil? Kok, begini postingannya?]
Sebuah gambar tangkap layar alias screenshot disertakan Anisa di bawah pesannya. Kantukku seketika enyah. Buyar sudah keinginanku buat rebah. Astaghfirullah! Di mana akal sehat Mas Faisal? Apa laki-laki sudah semakin gila?
[Seorang istri apabila sudah kelewat batas sikapnya, tidak bisa dididik jadi perempuan salehah, dan tidak bersyukur WAJIB hukumnya dicerai.] Itulah sederet kalimat yang diunggah Mas Faisal di status Facebook miliknya. Degupan jantungku kian melesat cepat. Terhenyak aku dalam segala perasaan yang sulit digambarkan. Astaghfirullah, Mas Faisal … sekarang kamu mulai playing victim di sosial media. Menguak sebuah fitnah, seakan-akan akulah yang bersalah. Tega! Ini kejam namanya. Lekas kukeluarkan jendela chat WA bersama Anisa barusan. Kubuka Facebook milikku dan mulai mencari update status Mas Faisal di lini masaku. Nihil. Tak ada. Kuputuskan untuk mengetik namanya di kolom pencari
[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.] Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain. Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif bela
Bagian 8 Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan. “Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.” Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum
Bagian 10 Ternyata, tak hanya panggilan tak terjawab dari Mas Faisal dan orangtuanya saja, ada banyak chat masuk di ponselku yang menanggapi status berisi video TikTok viral tersebut. Kucoba buat menenangkan diri sesaat. Segera mematikan paket dataku buat sementara waktu, kemudian keluar dari aplikasi WA. Tutup matamu dulu untuk pemberitahuan keviralan itu, Mila. Cepat selesaikan semua formulir ini dan mulailah mengadu pada polisi! Gemetar tanganku membuka folder di mana kusimpan foto scan KTP. Setelah mendapatkannya, kutulis cepat NIK dan alamat lengkap yang tertera di kartu identitasku tersebut. Kulanjutkan mengisi data-data lainnya dan memilih jenis pengaduan. Tindak pidana, ya, itulah kolom yang kulingkari. Ketika aku hendak beringsut dari meja dengan
Bagian 11 Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Bagian 12 Kuputuskan untuk mengabari Pak Ramadhan, polisi bertubuh atletis dengan rambut belah pinggir, bahwa aku akan menunggu temanku terlebih dahulu alih-alih diantar oleh mereka ke Rumah Sahabat. “Pak, saya baru ditelepon rekan. Katanya dia akan menjemput ke sini. Saya izin menunggu di sini sama anak saya, ya, Pak. Tidak usah repot-repot diantar bapak-bapak,” kataku dengan sangat sopan. Pak Ramadhan yang memiliki tinggi di atas rekannya, Pak Ari, mengangguk. Pria berkulit sawo dengan hidung mancung dan mata cokelat tersebut tersenyum manis. “Baik, Bu, kalau begitu. Tapi, Ibu pasti aman kan, bersama teman tersebut?” Aku mengangguk ragu. Antara aku dan Mas Sofyan mem
Bagian 13 “Seperti apa kronologinya, Mil? Kenapa jadi tiba-tiba begini?” Mas Sofyan bertanya dengan suara gemetar. Lagi-lagi, sedikit pun tak pernah terbesit di benak bahwa kaprodi teknik sipil yang ketika aku masih berkuliah dan bekerja di kampus tak banyak berbicara itu, jadi tiba-tiba sangat menaruh perhatian. Dari suara … tatapan mata, semua seakan menunjukkan bahwa kami adalah lebih dari sahabat lama. “Anisa sudah menceritakannya kan, Mas?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepala, “Tidak terlalu detail. Makanya aku langsung telepon kamu saja. Itu pun setelah aku berpikir berulang kali, apakah kamu mau menerima bantuanku atau tidak. Maafkan kelancanganku, Mil.” Pria berperawakan tinggi dan agak sedikit berperut buncit