Share

7

[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.]

            Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain.

            Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif belaka. Jelas-jelas suamiku selalu bepergian di waktu akhir pekan. Ya Allah, mengapa selama ini tak bisa kuendus perbedaan sikap Mas Faisal? Apakah karena dia terlalu pintar dan licik dalam mengemas dusta ini? Atau … sekali lagi, apakah aku yang terlalu dungu?

            Lekas kuhapus air mata. Tidak! Aku tak boleh lagi secengeng ini. Waktuku jauh lebih berharga ketimbang harus termehek-mehek demi pria sialan seperti Mas Faisal. Aku harus bergerak. Segera melangkah meski terasa begitu menyakitkan!

            Demi menenangkan diri, aku beringsut dari kamar menuju ruang tengah. Sengaja kutinggalkan Syifa tidur sendirian agar gerakanku tak membuatnya kembali terjaga. Biarlah aku menahan kantuk hingga mata ini terasa sangat perih. Yang penting, masalahku bisa teratasi hari ini juga!

            Kutelepon mamaku yang tinggal di seberang pulau sana. Ya, aku merantau sendirian mengikuti Mas Faisal yang memang penduduk asli sini. Aku bisa terdampar di kota ini sebab menjalani kuliah di kampus yang sama dengan Mas Faisal. Di situlah kami pertama kali mengenal, ketika aku masih duduk di semester pertama, sedangkan dia sudah duduk di semester tujuh. Kupikir, setelah kuliah aku bisa pulang kampung dan bekerja di sana. Nyatanya, takdir malah membuatku bekerja di kampus kami sebagai admin akademik dengan gaji yang cukup lumayan. Apalagi waktu itu aku nyambi berjualan kosmetik import Korea. Kujalani semua pekerjaan yang menyenangkan tersebut hingga setahun pasca menikah, hingga akhirnya aku disarankan untuk resign dan berhenti berjualan demi fokus program hamil. Yang menyarankan? Siapa lagi kalau bukan Mas Faisal dan kedua orangtuanya.

            Penuh debaran di dada, aku menanti Mama mengangkat teleponku. Perempuan separuh abad yang bekerja sebagai penjahit tersebut biasanya sudah bangun pagi-pagi untuk salat Tahajud, lalu disambung dengan mengaji Alquran, dan tak akan tidur lagi sampai siang waktu Zuhur lewat.  Namun, setelah kutelepon dua kali, beliau tak juga kunjung mengangkat. Ke mana Mama, pikirku? Apakah dia masih terlelap? Atau, malah sedang khusyuk sembahyang?

            Tiga kali aku menelepon, barulah telepon tersambung. Suara janda berusia 56 tahun yang sangat menurunkan bakat menjahitnya kepada adikku, Shintya, itu terdengar begitu teduh. Hatiku serasa meleleh mendengarkan sapaannya pagi ini.

            “Assalamualaikum, Mila. Ada apa, Nak?” Lembut nian Mama menyambutku. Aku ingin menangis rasanya. Namun, aku harus pura-pura tegar agar Mama tak semakin khawatir di sana. Sudah cukup dua tahun belakangan ini beliau menelan nestapa setelah ditinggal Papa pergi untuk selama-lamanya. Sebenarnya, berat juga untuk menceritakan semua ini. akan tetapi, apa boleh buat. Bagiku, hanya Mamalah yang patut untuk memberikan nasihat apa terbaik untuk memecahkan masalah ini.

            “Waalaikumsalam, Ma. Mama, maaf aku mengganggu. Mama sedang apa?” tanyaku balik pada beliau.

            “Mama baru habis salat Tahajud. Kamu udah salat?” 

            Aku menelan liur. Jangankan salat Tahajud. Melelapkan mata saja aku belum. Ya Allah, maafkan aku.

            “Belum sempat, Ma,” sahutku resah.

            “Syifa masih demam, Mil? Suamimu kapan pulangnya? Maaf, Mama jam sembilan kurang sudah ketiduran. Sampai lupa membalas pesanmu lagi. Rencananya habis salat ini Mama mau telepon kamu. Eh, kamu sudah telepon duluan.”

            “Syifa udah nggak demam lagi, Ma. Masalah Mas Faisal … aku boleh cerita, Ma?” Ragu aku bersuara. Semoga ini tak menjadi beban bagi Mama. Semoga setelah menceritakan permasalahan besar ini, aku bisa mendapatkan kekuatan tambahan untuk berpikir jalan yang terbaik.

            “Boleh, Mil. Kenapa Faisal? Apa dia masih lama perjalanan dinasnya?” Di ujung sana, Mama terdengar gelisah. Dia memang telah kutelepon setelah Isya semalam. Kuceritakan bahwa anakku sedang demam, sedangkan Mas Faisal pergi ke luar kota. Meskipun jarak aku dan Mama jauh, aku tetap saja mengabari apa pun yang terjadi pada keluargaku. Aku tahu bila Mama tak akan bisa membantu dengan tenaga, tapi setidaknya bisa dengan doa.

            “Ma … Mas Faisal … ternyata bukan perjalanan dinas,” lirihku menahan sesak.

            “Lho, lantas ke mana?!” Suara Mama naik beberapa oktaf. Beliau yang lembut dan sabar, entah mengapa tiba-tiba histeris di seberang sana. Mungkinkah Mama telah memiliki insting bahwa aku sedang tak baik-baik saja?

            “Pergi dengan istri barunya, Ma.”

            “Astaghfirullah! Mila, kamu tidak main-main, kan? Tidak mungkin, Mil! Mama tahu kalau suamimu itu baik dan penyayang. Mana mungkin dia menikah lagi?!” Mama semakin histeris. Di ujung suaranya, terdengar isak yang pelan. Ya Allah, inilah yang paling kutakutkan.

            “Demi Allah, Ma. Aku sungguhan, tidak bermain-main. Semua bukti-bukti lengkap. Bahkan, mertuaku mengakui jika anaknya telah menikah lagi.”

            “Astaghfirullah! Innalillahi. Ya Allah, Mama rasanya tidak percaya. Tega sekali suamimu, Mila! Siapa istrinya? Apakah kamu mengenal perempuan itu?”

            “Adelia, Ma. Anaknya Tante Silvia. Perempuan pemilik salon kecantikan dan travel yang pernah kita sewa minibusnya untuk jalan-jalan ke pantai sekeluarga setahun silam.” Ya, Mama memang pernah naik minibus milik Adelia saat berlibur ke sini bersama Shintya beserta suami dan bayi mereka. Mas Faisal yang menyewakan. Dia bilang bahwa Adelia memberikan setengah harga untuk kami. Tentu saja perempuan gatal itu bisa memberikan diskon segala. Wong saat itu Mas Faisal pasti sudah menjadi suaminya!

            “Adelia? Yang cantik itu? Allahu Akbar! Jahat sekali dia merebut suamimu, Mila. Bukankah mereka bersepupu? Bagaimana mungkin … bagaimana bisa?” Suara Mama lirih seperti orang yang merintih. Makin jadi saja perih di hatiku. Ya Allah, balaskan rasa sakit hati kami ini dengan pembalasan yang setimpal. Buat Adelia dan Mas Faisal menerima akibatnya!

            “Mama … aku harus apa?” tanya pelan dengan bibir yang gemetar.

            “Cerai! Ceraikan Faisal, Mila. Bawa semua bukti-bukti itu ke pengadilan.” Suara Mama tiba-tiba melengking tajam. Membuatku ikut berapi-api dengan sarannya yang penuh kobar semangat.

“Iya, Ma. Aku akan menceraikannya. Yang membuatku tambah sakit, Mas Faisal sudah mempermalukanku di F******k, Ma. Dia membuat status seolah-olah aku yang bersalah. Dia memfitnahku. Dia memutar balikan fakta. Aku tidak ridho, Ma!” Makin sakit hatiku. Makin terkoyak jiwaku kala mengingat status tersebut.

“Ya Allah, bejatnya Faisal! Mama tak menduga bahwa dia akan sekejam itu, Mila. Jangan sedih, Nak. Viralkan saja suamimu sekalian! Buat klarifikasi di F******k dan kalau perlu tunjukkan bukti-bukti agar semua orang tahu bahwa bukan kamu yang berulah, tapi suamimu!”

            Seorang perempuan tua saleh yang sabar dan lembut ini, bisa marah juga saat putri kesayangannya sudah dilukai. Aku tahu bila Mama pasti tak pernah terima jika aku dikhianati seperti ini. Baiklah, Ma. Akan kulakukan apa yang Mama pinta.

            “Jangan lemah, Mila. Kita memang bukan orang kaya, tapi kita juga punya harga diri! Jangan mau direndahkan, apalagi difitnah. Mama bukan orang desa yang bodoh dan tidak melek teknologi. Selama ini Mama juga memasarkan jasa jahitan Mama lewat sosial media. Mama tahu betul seperti apa kejamnya saat kita difitnah di sosial media yang mudah sekali menyebar ke mana-mana. Balas perbuatan suamimu dengan fakta, Nak. Mama yakin, setelah ini keadaan akan berbalik memihak kepadamu.”

            Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nila Rostiani
kejam sekali faisal
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
sakit ,sadus karmamu berjalan laki "laknat
goodnovel comment avatar
Fahmi
Dengan seribu keyakinan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status