Bab 76Antara Suka dan Duka “Aku … pengennya setelah pulang ini di rumah udah nggak ada pertengkaran lagi, Mas. Aku pengen tenang. Aku pengen sehat-sehat dan nggak stres lagi menghadapi Mbak Reva,” kataku lugas. Mas Sofyan masih terdiam. Dia lalu menatap nanar sambil menundukkan kepalanya. Tak lama, terdengar suara embusan napas yang begitu berat dari hidung mancungnya. “Mila, aku sudah mengusir Mbak Reva pas pulang ke rumah tadi.” Jawaban tak terduga dari bibir merah milik Mas Sofyan tentu membuatku terhenyak. Aku setengah percaya menanggapinya. Apa Mas Sofyan hanya bercanda? Mana mungkin dia mengusir perempuan sok kuasa itu dari rumah kami. Sedangkan, selama ini Mas Sofyan kerap berpihak kepadanya, terlepas dari apa pun masalah yang Mbak Reva perbuat. “Kamu serius, Mas?” Tercengang diriku kini. Setengah membelalak mataku melihat Mas Sofyan. “Iya. Mana mungkin aku bohong ke kamu untuk masalah seperti ini, Mil. Mb
Bab 77Ikhlas Yang Selalu “Jadi … kamu kasih uang ke Mbak Reva itu ambil dari tabungan, Mas?” tanyaku sambil menatapnya setengah tak percaya. Ditahan pun percuma saja. Pertanyaan itu akan tetap membelenggu kepala. Kapan-kapan juga pasti tercetus di mulut. Makanya segera kuutarakan, meskipun akhirnya tanggapan Mas Sofyan juga pasti akan memberikan pembelaan demi pembelaan untuk dirinya sendiri. “Iya, Mil. Mau bagaimana lagi? Aku tidak pegang uang lain selain tabungan itu, Mila. Kan, kamu juga punya uang tabungan sendiri dari royalti menulismu. Makanya aku akhirnya memberikan uang itu saat Mbak Reva meminta. Mau kutolak, waktu itu aku tidak enak sama Ibu, Mil.” Nah, kan. Betul dugaanku, bukan? Mas Sofyan membela dirinya. Aku jadi berkecil hati lagi sebenarnya. Mentang-mentang aku punya uang sendiri, apa Mas Sofyan bisa seenaknya mengeluarkan uang tabungannya untuk kebutuhan Mbak Reva, meski saat itu suamiku tak akan tahu jika ternyata kaka
Bab 78Lagi-lagi Faisal Pembahasan itu akhirnya kami tinggalkan. Aku kembali terlelap nyenyak, begitu pun dengan suamiku. Pukul lima pagi Mas Sofyan membangunkanku untuk salat Subuh. Ternyata, Bi Dilah dan Syifa sudah bangun duluan. Mereka berdua kata suamiku kini tengah salat di mushala bawah. Mas Sofyan membantuku untuk bertayamum. Lelaki itu juga yang memasangkan mukena buatku. Dia membiarkanku salat dengan posisi duduk. Alhamdulillah, tubuhku sudah lumayan segar. Tidak pusing lagi. Aku juga sudah sanggup duduk dengan durasi yang lumayan lama. Ini benar-benar keajaiban, pikirku. Mungkin Allah sudah mulai mengangkat segala penyakitku, agar aku bisa kembali giat beribadah maupun bekerja. Sementara aku berzikir selepas salat di atas kasurku, kutengok sekilas Mas Sofyan kini tengah asyik menghadap layar laptop yang sedang dia pangku. Matanya sangat serius menatap layar itu. Kupilih untuk membiarkan suamiku konsentrasi dengan tugasnya, sedang aku mela
Bab 79Penuh Drama “Ya, sudah, Mas. Kalau memang kamu merasa perlu untuk menghubungi Faisal, silakan aja.”Aku akhirnya menyerah. Kubiarkan saja suamiku untuk menelepon mantanku tersebut. Walaupun sebenarnya, aku juga berat hati jika Mas Sofyan harus terlibat banyak dalam urusan yang bisa menyebabkan pertikaian di antara kami.“Oke, Mil. Aku akan hubungi sebentar lagi. Kamu nggak usah terlalu mikirin masalah itu, ya. Sekarang yang penting adalah kesembuhan kamu dan anak kita,” ucap Mas Sofyan sembari mengelus perutku beberapa kali.Aku pun mengangguk patuh. Kuulaskan seberkas senyuman manis kepada suamiku tercinta. Sungguh beruntungnya seorang mantan janda beranak satu yang tak punya pekerjaan tetap ini bisa menikah dengan pria sehebat Mas Sofyan.“Makasih, Mas. Sekali lagi, aku minta maaf kalau terlalu banyak merepotkanmu,” ucapku dengan suara bergetar.Mas Sofyan tak menyahut. Dia malahan bangkit dari duduknya, lalu membungkuk, dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Kini, w
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs