Share

5. Kenyataan Yang Harus di Hadapi

"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar.

"Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya.

Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini.

"Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya.

"Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Sonya sembari menggaruk pinggir gelas yang ia pegang menggunakan telunjuknya.

"Aku nggak tau, Sonya, tapi yang aku tahu sekarang ini kamu harus tinggalin dia. Dia udah nggak berkomitmen lagi, Sonya," bisik Lidya memberikan saran yang menurutnya paling benar, Lidya benar-benar sudah tidak habis pikir dengan kelakuan Emir yang menurutnya sangat tidak wajar lagi.

"Aku nggak bisa, Lidya ... kamu tahu aku nggak bisa bikin ibu sakit, ibu itu jantungnya sudah di ring 3, kamu sadar apa yang terjadi kalau ibu kambuh?" tanya Sonya sembari menatap Lidya dengan tatapan gusar.

"Kamu nggak mau lepasin Emir karena ibu mertua kamu atau karena kamu takut reputasi kamu yang tanpa cela ini hancur?" tanya Lidya yang benar-benar ingin sahabatnya ini bercerai.

"Aku ... aku ...." Sonya kembali mengalihkan pandangannya dan menatap satu titik kecil di dinding, menatapnya dengan hampa dan kebingungan karena tidak mampu menjawab kata-kata Lidya.

"Sonya, tolong ... aku ini sahabat kamu dan aku tahu penderitaan kamu. Aku mohon sama kamu, keluar dari hubungan toxic kamu ini," pinta Lidya.

Sonya hanya diam dan menggerakkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, entah kenapa dia merasa sangat nyaman melakukan gerakkan itu. Sedangkan mulutnya terus bergumam, "Aku nggak tau ... aku nggak tau."

"Sonya ... Sonya, Sonya sadar ...," bisik Lidya pelan sembari memeluk Sonya berusaha untuk menyadarkan sahabatnya yang benar-benar hancur berantakan.

Mungkin orang-orang tidak akan sadar kalau sahabatnya ini sudah hancur berkeping-keping dan sangat membutuhkan pertolongan. Sonya benar-benar pintar bersandiwara di hadapan semua orang, menunjukkan kalai dirinya kuat dan tegar juga memiliki kehidupan yang sangat sempurna, padahal di dalam diri Sonya ia menjerit dan hancur.

"Aku nggak tau."

"Sonya ... Sonya, Sonya sadar!?" teriak Lidya yang mulai ketakutan kalau sahabatnya ini berubah menjadi kurang waras. "Sonya ... sadar!?"

"Aku nggak tau, hah ... hah ... aku nggak tau, aku nggak mengerti aku nggak paham. Aku harus gimana, Lidya?" Sonya menjerit keras hingga menunjukkan urat-urat lehernya, matanya menatap Lidya dengan liar dan kebingungan.

Prang ....

Gelas yang ada di tangan Sonya terjatuh, kesepuluh jemari Sonya menekuk kaku dan mengeras. Tubuh Sonya bergetar dengan hebatnya, air mata Sonya mengalir deras seolah tidak dapat dibendung sama sekali. Matanya membulat dan bibirnya bergerak entah menggumamkan apa.

Jemari Sonya menggaruk kedua pipinya dan menggaruknya dengan keras hingga memberikan luka di pipinya, "Ah!?" Sonya berteriak sekencang mungkin, matanya menatap Lidya liar.

Lidya menahan tangisnya, hatinya miris melihat Sonya yang terlihat tidak karu-karuan. Sonya sahabatnya yang cantik, menawan dan memiliki tubuh bak model saat ini terlihat seperti orang gila dengan rambut acak-acak kan dan wajah yang memprihatinkan.

"Sonya ... sadar, Sonya," isak Lidya sembari mencoba memeluk tubuh Sonya yang sekeras batu.

"Aku mau mati!? Aku mau mati!?" jerit Sonya sembari berdiri dari duduknya.

"Sonya, tenang." Lidya tersentak saat Sonya tiba-tiba berdiri dari duduknya.

Saat berdiri detik itu juga Sonya mendapatkan hantaman rasa sakit di kepalanya, pandangannya berkabut dan ruangannya yang ia lihat tiba-tiba berputar membuat kepalanya pusing dan lututnya seolah tidak bertulang hingga menyebabkan tubuhnya jatuh dan menghantam lantai dingin.

Sonya masih sadar saat kepalanya menghantam lantai dan mendengar teriakkan Lidya yang terdengar panik, namun, setelahnya Sonya sama sekali tidak sadar pandangannya gelap. Sonya pingsan.

••

Hidung Sonya mencium wangi yang sangat ia kenal sepanjang hidupnya, wangi rumah sakit. Sonya berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya, berjuang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tubuhnya sangat lemas, punggung tangannya sakit dan sumpah demi apa pun bagian bawah perutnya sakit bukan main, karena sakit itu menjalar ke bagian punggungnya.

"Sonya ... Sonya bangun, Sayang, ini Ibu."

Sayup-sayup terdengar suara ibu mertuanya memanggil dirinya di telinga kanannya, sedangkan lengannya tiba-tiba merasakan sentuhan mertuanya itu. Sonya dengan cepat mencoba membuka kedua kelopak matanya agar tidak membuat mertuanya itu khawatir.

"Bu ...," panggil Sonya pelan.

"Sonya, kamu sudah bangun Sayang, Ibu panggilkan dokter dulu, sebentar," pekik Parwati dan berlari keluar kamar dengan terburu-buru, Parwati lupa kalau dirinya bisa memanggil Dokter dan perawat menggunakan alat panggil di kamar itu.

Sonya berjuang untuk beradaptasi dengan ruangan sekelilingnya, Sonya berjuang untuk mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Sonya ingat kalau dirinya terkena serangan panik hingga membuat sekujur tubuhnya kaku dan dia pingsan.

"Saya cek, dulu, yah."

Sonya mendapati salah satu rekan kerjanya Dokter Ismi seorang dokter ginekologi (Dokter yang berfokus pada organ reproduksi wanita), sebentar kenapa harus Ismi  yang memeriksanya.

"Kenapa?" bisik Sonya pelan, tenaganya benar-benar belum pulih sama sekali.

"Sebentar, Dokter Sonya," bisik Ismi sembari mengecek tubuhnya, Ismi yang secara kebetulan akan melakukan visit pada Sonya saat Sonya sadar dengan cepat melakukan pemeriksaan pada  Sonya secara menyeluruh.

"Mi ... aku kenapa?" bisik Sonya pelan, rasa sakit ini benar-benar berbeda. Sonya tahu rasa sakit yang saat ini ia derita di punggungnya adalah rasa sakit karena efek obat anestesi yang sudah habis. Tapi, untuk apa dia menggunakan obat anestesi!?

"Tenang Sonya," bisik Ismi seolah tidak ingin mengungkapkan apa yang terjadi pada Sonya.

"Mi ... aku kenapa? Mi ... aku kenapa?" tanya Sonya pelan dan dengan suara lelah juga menahan rasa sakit yang berpusat pada perut bagian bawahnya kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Sonya, tenang, yah, Nak," isak Parwati yang tidak sanggup melihat keadaan menantunya.

Mendengar mertuanya terisak, detik itu juga Sonya tahu ada yang tidak beres dengan dirinya dan dia harus mengetahuinya.

"Aku kenapa!?"

••

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Nietha
q suka gaya tulisannya tertata, tpi pemeran utama cewe malah bikin ambyar, huufff
goodnovel comment avatar
Indarini Rini
fix suami brengse*
goodnovel comment avatar
Wiek Soen
yah.dokter Sonya sakit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status