"Kamu udah enakan, Sonya?" tanya Lidya sembari menyodorkan teh hangat ke tangan Sonya yang bergetar.
"Aku mau mati, Lid ... aku nggak kuat, aku nggak sanggup," bisik Sonya dengan tatapan hampa dan kosong menatap dinding putih di hadapannya.
Entah bagaimana caranya Sonya bisa menjalankan mobilnya dan selamat sampi di rumah Lidya dalam keadaan histeris dan menangis di sepanjang jalan. Mungkin semesta masih menginginkan Sonya hidup dan menyiksanya lebih berat lagi, Sonya tidak tahu padahal Sonya sangat menginginkan dirinya kecelakaan dan mati, dia benar-benar sudah lelah dengan hidupnya ini.
"Sonya ... jangan ngomong gitu," bisik Lidya sembari merangkul sahabatnya itu dan menahan tangisnya, hatinya terenyuh melihat penderitaan Sonya yang disia-siakan suaminya.
"Aku udah nggak sanggup, Lidya, ke mana suami aku yang dulu sayang dan cinta sama aku? Ke mana laki-laki yang selalu menghargai aku dan mendukung aku meraih semua mimpi aku? Ke mana dia?" tanya Sonya sembari menggaruk pinggir gelas yang ia pegang menggunakan telunjuknya.
"Aku nggak tau, Sonya, tapi yang aku tahu sekarang ini kamu harus tinggalin dia. Dia udah nggak berkomitmen lagi, Sonya," bisik Lidya memberikan saran yang menurutnya paling benar, Lidya benar-benar sudah tidak habis pikir dengan kelakuan Emir yang menurutnya sangat tidak wajar lagi.
"Aku nggak bisa, Lidya ... kamu tahu aku nggak bisa bikin ibu sakit, ibu itu jantungnya sudah di ring 3, kamu sadar apa yang terjadi kalau ibu kambuh?" tanya Sonya sembari menatap Lidya dengan tatapan gusar.
"Kamu nggak mau lepasin Emir karena ibu mertua kamu atau karena kamu takut reputasi kamu yang tanpa cela ini hancur?" tanya Lidya yang benar-benar ingin sahabatnya ini bercerai.
"Aku ... aku ...." Sonya kembali mengalihkan pandangannya dan menatap satu titik kecil di dinding, menatapnya dengan hampa dan kebingungan karena tidak mampu menjawab kata-kata Lidya.
"Sonya, tolong ... aku ini sahabat kamu dan aku tahu penderitaan kamu. Aku mohon sama kamu, keluar dari hubungan toxic kamu ini," pinta Lidya.
Sonya hanya diam dan menggerakkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, entah kenapa dia merasa sangat nyaman melakukan gerakkan itu. Sedangkan mulutnya terus bergumam, "Aku nggak tau ... aku nggak tau."
"Sonya ... Sonya, Sonya sadar ...," bisik Lidya pelan sembari memeluk Sonya berusaha untuk menyadarkan sahabatnya yang benar-benar hancur berantakan.
Mungkin orang-orang tidak akan sadar kalau sahabatnya ini sudah hancur berkeping-keping dan sangat membutuhkan pertolongan. Sonya benar-benar pintar bersandiwara di hadapan semua orang, menunjukkan kalai dirinya kuat dan tegar juga memiliki kehidupan yang sangat sempurna, padahal di dalam diri Sonya ia menjerit dan hancur.
"Aku nggak tau."
"Sonya ... Sonya, Sonya sadar!?" teriak Lidya yang mulai ketakutan kalau sahabatnya ini berubah menjadi kurang waras. "Sonya ... sadar!?"
"Aku nggak tau, hah ... hah ... aku nggak tau, aku nggak mengerti aku nggak paham. Aku harus gimana, Lidya?" Sonya menjerit keras hingga menunjukkan urat-urat lehernya, matanya menatap Lidya dengan liar dan kebingungan.
Prang ....
Gelas yang ada di tangan Sonya terjatuh, kesepuluh jemari Sonya menekuk kaku dan mengeras. Tubuh Sonya bergetar dengan hebatnya, air mata Sonya mengalir deras seolah tidak dapat dibendung sama sekali. Matanya membulat dan bibirnya bergerak entah menggumamkan apa.
Jemari Sonya menggaruk kedua pipinya dan menggaruknya dengan keras hingga memberikan luka di pipinya, "Ah!?" Sonya berteriak sekencang mungkin, matanya menatap Lidya liar.
Lidya menahan tangisnya, hatinya miris melihat Sonya yang terlihat tidak karu-karuan. Sonya sahabatnya yang cantik, menawan dan memiliki tubuh bak model saat ini terlihat seperti orang gila dengan rambut acak-acak kan dan wajah yang memprihatinkan.
"Sonya ... sadar, Sonya," isak Lidya sembari mencoba memeluk tubuh Sonya yang sekeras batu.
"Aku mau mati!? Aku mau mati!?" jerit Sonya sembari berdiri dari duduknya.
"Sonya, tenang." Lidya tersentak saat Sonya tiba-tiba berdiri dari duduknya.
Saat berdiri detik itu juga Sonya mendapatkan hantaman rasa sakit di kepalanya, pandangannya berkabut dan ruangannya yang ia lihat tiba-tiba berputar membuat kepalanya pusing dan lututnya seolah tidak bertulang hingga menyebabkan tubuhnya jatuh dan menghantam lantai dingin.
Sonya masih sadar saat kepalanya menghantam lantai dan mendengar teriakkan Lidya yang terdengar panik, namun, setelahnya Sonya sama sekali tidak sadar pandangannya gelap. Sonya pingsan.
••
Hidung Sonya mencium wangi yang sangat ia kenal sepanjang hidupnya, wangi rumah sakit. Sonya berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya, berjuang untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tubuhnya sangat lemas, punggung tangannya sakit dan sumpah demi apa pun bagian bawah perutnya sakit bukan main, karena sakit itu menjalar ke bagian punggungnya.
"Sonya ... Sonya bangun, Sayang, ini Ibu."
Sayup-sayup terdengar suara ibu mertuanya memanggil dirinya di telinga kanannya, sedangkan lengannya tiba-tiba merasakan sentuhan mertuanya itu. Sonya dengan cepat mencoba membuka kedua kelopak matanya agar tidak membuat mertuanya itu khawatir.
"Bu ...," panggil Sonya pelan.
"Sonya, kamu sudah bangun Sayang, Ibu panggilkan dokter dulu, sebentar," pekik Parwati dan berlari keluar kamar dengan terburu-buru, Parwati lupa kalau dirinya bisa memanggil Dokter dan perawat menggunakan alat panggil di kamar itu.
Sonya berjuang untuk beradaptasi dengan ruangan sekelilingnya, Sonya berjuang untuk mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Sonya ingat kalau dirinya terkena serangan panik hingga membuat sekujur tubuhnya kaku dan dia pingsan.
"Saya cek, dulu, yah."
Sonya mendapati salah satu rekan kerjanya Dokter Ismi seorang dokter ginekologi (Dokter yang berfokus pada organ reproduksi wanita), sebentar kenapa harus Ismi yang memeriksanya.
"Kenapa?" bisik Sonya pelan, tenaganya benar-benar belum pulih sama sekali.
"Sebentar, Dokter Sonya," bisik Ismi sembari mengecek tubuhnya, Ismi yang secara kebetulan akan melakukan visit pada Sonya saat Sonya sadar dengan cepat melakukan pemeriksaan pada Sonya secara menyeluruh.
"Mi ... aku kenapa?" bisik Sonya pelan, rasa sakit ini benar-benar berbeda. Sonya tahu rasa sakit yang saat ini ia derita di punggungnya adalah rasa sakit karena efek obat anestesi yang sudah habis. Tapi, untuk apa dia menggunakan obat anestesi!?
"Tenang Sonya," bisik Ismi seolah tidak ingin mengungkapkan apa yang terjadi pada Sonya.
"Mi ... aku kenapa? Mi ... aku kenapa?" tanya Sonya pelan dan dengan suara lelah juga menahan rasa sakit yang berpusat pada perut bagian bawahnya kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Sonya, tenang, yah, Nak," isak Parwati yang tidak sanggup melihat keadaan menantunya.
Mendengar mertuanya terisak, detik itu juga Sonya tahu ada yang tidak beres dengan dirinya dan dia harus mengetahuinya.
"Aku kenapa!?"
••
"Kenapa aku nggak mati aja, sih, Bu?" tanya Sonya dengan tatapan kosong. "Nak, nggak boleh ngomong gitu," Parwati yang sedang menyuapi Sonya menahan tangisnya saat mendengar perkataan Sonya, hatinya benar-benar sakit saat mendengar perkataan menantu kesayangannya itu. "Kadang aku ngerasa kalau semua kesakitan di hidupku, nggak ada habisnya," ungkap Sonya pelan. "Sonya Tuhan tidak akan mungkin memberikan cobaan pada umatnya bila umatnya tidak sanggup melaluinya, Sonya," bisik Parwati mencoba menyemangati Sonya sembari menyuapkan makan siang ke mulut Sonya. Dengan malas Sonya membuka mulutnya dan berjuang mendorong makanan yang mertuanya itu suapkan. "Tapi, Sonya udah nggak sanggup, Bu. Sonya nggak sanggup, Sonya mau mati aja, Bu," isak Sonya. "Sonya ... Sonya maafkan Ibu, tapi, Ibu harus menandatangani surat persetujuan tindakan medisnya, mereka bilang kamu harus secepatnya dioperasi kalau tidak nyawa kamu tidak tertolong," isak Parwati sembari
"Gimana?" tanya Sonya santai sama sekali tidak terpancing emosinya sama sekali."Maksudnya apa? Kenapa kamu tiba-tiba menjalani operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku!? Kamu gila atau apa? Kamu nggak mau punya anak lagi, hah!?" tanya Emir yang marah karena mengetahui kalau istrinya saat ini sudah tidak memiliki rahim lagi dan tidak mungkin bagi mereka berdua mendapatkan kembali anak. Padahal, Emir sangat menginginkan Sonya untuk hamil kembali."Kamu dari mana aja?" Sonya sama sekali tidak menjawab pertanyaan Emir.Emir menatap manik mata Sonya tidak percaya karena istrinya ini malah bertanya balik dan bukan menjawab pertanyaannya sama sekali. Dengan kesal Emir menutup pintu kamar rumah sakit, "Sonya, aku tanya sama kamu. Kenapa kamu melakukan prosedur operasi pengangkatan rahim tanpa persetujuan aku?"
1 tahun kemudian ...."Sonya udah," bisik Lidya yang kaget melihat Sonya mencabik-cabik tisu seperti orang kurang waras."Kenapa ibu maksa bangat bikin acara kaya gini, sih?" tanya Sonya semaput karena Parwati tiba-tiba meminta dirinya untuk mengadakan acara ulang tahun perkawinan dirinya dengan Emir."Ya ... mungkin dia ingin liat kamu sama Emir bahagia?" canda Lidya sembari mengambil gumpalan tisu yang sudah Sonya cabik-cabik."Wow ... bahagia banget hidup aku sama Emir, saking bahagianya aku senang banget dia nggak pernah pulang ke rumah," jawab Sonya sembari membawa gelas berisikan champagne dan menegaknya hingga habis."Dia beneran nggak pulang?" tanya Lidya yang mulai khawatir dengan kehidupan pernikahan Sonya yang benar-
15 menit sebelumnya ...."Kamu kenapa?" tanya Miska bingung saat melihat Emir yang menekuk wajahnya selama mereka berduaan di pojokkan rumah Sonya, bersembunyi dari para tamu undangan.Miska sudah tau status dirinya yang hanya dijadikan selingkuhan oleh Emir, Miska sama sekali tidak berkeberatan karena dia tahu kalau hubungan Emir dan Sonya sama sekali tidak bisa diselamatkan lagi tapi, mereka masih bersama demi kesehatan ibu kandung Emir."Kamu kenapa, Emir? Kamu sakit?" tanya Miska sembari menyapukan jemarinya di rambut Emir yang tebal.Emir yang merasakan sentuhan di kepalanya langsung menepis tangan Miska, dia sedang tidak mood untuk disentuh oleh selingkuhannya ini. Hatinya benar-benar panas saat mendengar perkataan Sonya yang mengatakan kalau selama ini tidak pernah terpuaskan olehnya. Ingin rasanya Emir sobek mulut Sonya saat mendengar hal tersebut, apakah dirinya semenyedihkan itu sampai tidak bisa membuat Sonya orgasme?"Mir, kamu kenapa?"
"Aw ... sakit, Bu Sonya."Sonya dengan sekuat tenaganya menarik rambut Miska dan menyeretnya untuk beranjak dari ranjangnya sambil sesekali tangannya menampar dan mencakar bagian mana pun dari tubuh Miska yang bisa Sonya kenai."Wanita kurang ajar!? Nggak cukup kamu bercinta di kantor suami aku, hah!? Sekarang kamu bercinta di kamar aku! Perempuan nggak punya otak!?" maki Sonya sembari terus memukuli Miska dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menjambak rambut Miska sekeras mungkin hingga membuat tubuh wanita itu terseret kemudian entah tenaga dari mana Sonya mampu membanting tubuh Miska ke lantai dengan keras."Sonya! Apa-apaan kamu!? Lepasi Miska, Sonya!" sentak Emir yang kaget dengan betapa besar tenaga istrinya itu, tubuh Sonya yang kecil ternyata mampu menyeret Miska hingga terpelanting ke lantai."Bu Sonya, lepas, Miska mohon lepas, sakit, Bu," pinta Miska sembari mencengkeram tangan Sonya berusaha untuk melepaskannya.
Sonya menampar pipi Emir sekeras mungkin dengan tangan yang sudah terlepas dari kuncian suaminya itu, tubuhnya bergetar menahan amarah dan sorot mata tajam Sonya tidak bergerak dari manik mata Emir.“Mau kamu apa, hah?!” sentak Emir yang kaget saat mendapati rasa sakit akibat tamparan Sonya yang sangat keras.Sonya menyusupkan kakinya di antara tubuhnya dan menendang tubuh Emir dengan keras hingga membuat tubuh suaminya itu terjengkang, Sonya hanya melihat sekilas pada Emir yang tubuhnya menabrak lemari baju.“Mau aku? Mau aku kamu nggak udah bawa lonte ini ke rumah aku, ke ranjang aku?!” sentak Sonya sembari mendekati Miska yang menatap ketakutan pada dirinya. Dengan cepat Sonya menarik selimut yang menutupi tubuh Miska hingga membuat wanita itu hanya mengenakan pakaian dalamnya saja.“Astaga ... kamu suka lonte kaya begitu? Bahkan pakaian dalamnya saja murahan!? Mirip kaya anak SMA?! Nafsu kamu sama yang kaya begitu?!&rdquo
“Sonya, Ibu pulang dulu, ya.” Parwati memeluk Sonya seerat mungkin saat pamit dari rumah Sonya.“Iya, Bu, hati-hati dan kamu juga Emir nyupir mobilnya hati-hati dan jangan lupa dipakai jaketnya, cuaca di luar nggak bagus.” Sonya mengenakan jaket ke badan Emir sembari berbisik pelan di kuping Emir, “Cuaca yang sangat bagus untuk seorang lonte berkeliaran hanya dengan mengenakan pakaian dalam murahan.”Emir menggemeretakkan giginya saat mendengar perkataan Sonya, ingin rasanya dia menampar mulut istrinya itu andai tidak ada ibunya di sana. “Mungkin dia lonte tapi, dia nggak mandul kaya kamu.”Sonya menelan ludahnya sendiri, dia sudah muak dan kenyang dengan hinaan Emir pada dirinya yang selalu menyebutkan kalau dirinya mandul. Sonya tahu kalau Emir tidak bisa menghina hal lain pada dirinya selain mandul, hanya itulah satu-satunya yang bisa mencabik harga diri Sonya. Sonya membencinya namun, tidak bisa melakukan apa p
“Eh ... ya ampun?!” Sonya dengan cepat berjongkok saat menyadari kalau tetangganya itu tahu kalau dirinya sedang memperhatikan tetangganya.Sonya dengan cepat menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya, rasa malu karena ketahuan sedang mengintip tetangganya langsung Sonya rasakan. “Ya ... ampun, Sonya, ngapain kamu ngintip, sih?” Sonya menjulurkan kepalanya untuk melihat kembali tetangga barunya itu dari balik jendela.Deg!Dengan cepat Sonya menyembunyikan kepalanya lagi saat melihat kalau tetangganya itu sedang tersenyum pada dirinya dan melambaikan tangan pada Sonya. “Ya ... ampun, Sonya.”Sonya memutar tubuhnya dan duduk di lantai sembari mengipasi wajahnya yang panas dan memerah karena merasa malu akibat ketahuan mengintip tetangga barunya itu. Sonya menggigit jempolnya untuk menenangkan dirinya.“Kamu, kenapa harus ngintip, sih, Sonya?” tanya Sonya pada dirinya sendiri yang bingung de