Share

Kedatangan Ibu Mertua

Suara ketukan di depan pintu terdengar begitu nyaring seiring dengan waktu yang terus bergerak maju, tak mendapatkan tanda-tanda kehidupan didalam rumah tersebut yang akan membuka pintu yang sedang diketuknya sampai buku-buku tangannya terasa perih.

Hal itu pula juga membuat ekspresi yang begitu kesal memuncak, wajahnya berubah merah padam. Tidak ada keramahan yang tersisa untuk bisa ditampilkan.

Sementara orang yang berada didalam rumah tersebut masih tampak termangu dalam kesedihan yang mendalam sehingga tak mendengar ada yang mengetuk pintu rumahnya disiang hari yang cukup panas, ah benar. Ia tidak tahu sudah berlama dia menangis hingga matanya memerah dan bengkak serta bagian pipi wajah yang terasa sakit.

Bahkan ketika waktu makin menanjak naik, sang suami belum menampakkan batang hidungnya. Oh, Kiran yang malang. Air mata yang tumpah tampak tak berarti apa-apa.

Ternyata seseorang yang masih berdiri diluar pintu masih belum menyerah untuk mengetuk pintu, itu membuat Karin sadar dan segera mengusap wajah basahnya kasar menggunakan punggung tangannya lalu bergegas berjalan ke arah pintu.

Kiran sedikit merapikan rambut dan bajunya yang agak kusut agar terlihat lebih baik sebelum tangannya menekan gagang pintu, ia hanya tidak ingin orang luar tahu bahwa dia sedang berada dalam fase terburuk dalam hidupnya.

Tak lupa sedikit mengatur napasnya agar kembali normal, ketika sudah merasa siap dia pun menekan gagang pintu yang menghubungkan ke dunia luar.

“Kiran, dasar menantu kurang ajar! Saya sudah berdiri dan mengetuk pintu ini setengah jam lalu, tidak ada yang membukakan pintu. Apakah kamu tuli? Sampai membuat Ibu mertuamu ini berkeringat banyak dan kesemutan karena lama menunggu?” Cerca sang Ibu mertua sambil menunjuk-nunjuk Kiran dengan wajah merah padamnya ketika pintu yang diketuk sedari tadi akhirnya terbuka lebar.

Kiran disambut oleh sang Ibu mertua yang langsung mengomel padanya, ia pun menundukkan krpalanya karena merasa bersalah. Tidak berani untuk menatap ataupun menegakkan tubuhnya.

“Maaf, Bu. Tadi Kiran ketiduran makanya tidak mendengar ada yang mengetuk pintu.” Jawab Kiran berbohong, mana mungkin ia berani menjelaskan semuanya pada seorang wanita yang telah melahirkan sosok suaminya tersebut.

“Halah, kamu itu memang menantu yang tidak kompeten sama sekali. Pantas saja matamu merah dan wajahmu itu bengkak karena terlalu banyak tidur, dasar tukang molor. Minggir saya mau lewat.” Omel Ibu mertua sambil mendorong bahu menantunya dengan jari telunjuknya sampai termundur ke belakang.

Kiran tidak berani membantah, ia pun menggeser tubuhnya sehingga Ibu mertuanya bisa leluasa masuk ke dalam rumah.

Bukan sekali dua kali, Kiran diperlakukan seperti ini oleh Ibu mertuanya bahkan ia sudah kehilangan hitungan. Dari masa pacaran hingga sah dimata agama dan negara, sikap Ibu mertuanya tidak pernah baik. Beliau selalu memandang Kiran dengan mata penuh kebencian, entah karena apa penyebabnya. Ia pun tidak pernah tahu.

Jika bukan karena cinta yang Kiran miliki begitu besar untuk Pahing serta Pahing sendiri yang selalu menguatkan Kiran untuk bertahan dengannya, ia tidak akan pernah sampai pada saat tahap ini.

Pahing selalu menenangkannya dengan satu kalimat ‘Suatu hari, Ibu pasti bisa menerima Kiran yang manis ini.’ Begitulah kira-kira, kalimat yang selalu berdengung ditelinga Karin jika Ibu mertuanya sudah mulai membuka mulutnya.

Tidak pernah ada gula yang terkandung disetiap rentetan kata yang keluar dari mulut beliau, melainkan mengandung banyak anak panah beracun untuk menantu yang tak pernah diinginkan.

“Kemana Pahing? Bukankah hari ini adalah hari liburnya?” Tanya Ibu mertua sembari menyimpan tas jinjing tangan berwarna gold di atas meja.

“Ah.. I-itu Bu...” Kiran kelimpungan ditanya keberadaan Pahing oleh Ibu mertuanya, kedua bola matanya berputar ke kanan dan kiri. Dirinya tergagap, tidak bisa mencari alasan yang masuk akal. Otaknya belum bisa bekerja dengan habis setelah habis diperas oleh air mata.

Biasanya, jika hari libur Pahing memang tidak pernah keluar rumah karena dia tahu bahwa Ibunya akan berkunjung kemari. Entah itu seminggu sekali atau dua minggu sekali, beliau tidak pernah absen untuk berkujung kemari.

Alasan dibalik itu semua karena Pahing merupakan anak lelaki kesayangan beliau yang masih tak rela jika telah tidak tinggal satu rumah, terlebih tinggal satu atap dengan perempuan yang tak pernah beliau restui.

Merasa tak mendapatkan jawaban, Ibu mertua mendongkakkan kepalanya lalu menatap tajam pada Kiran yang masih sibuk mencari alasan dikepalanya itu.

“Heh, kalau saya tanya itu ya dijawab bukan diam saja. Memangnya kamu gagu? Sudah tuli, gagu pula. Dosa apa saya mendapatkan mantu modelan seperti kamu? Ck, jangan-jangan Pahing pun kamu peletkan. Saya sih sudah curiga dari dulu.” Ibu mertua mencebikkan bibirnya sebelum mengalihkan tatapan, menatap sinis Kiran.

Kiran disisi lain berusaha menulikan telinganya, sungguh ia sangat kesulitan untuk memenuhi rongga dadanya dengan oksigen bahkan dia menahan napasnya ketika Ibu mertuanya mengatai serta menuduhnya sangat lancar.

Kiran berusaha mati-matian untuk menahan cairan panas yang mendesak ingin meleleh ke pipinya, ia mencengkeram samping bajunya cukup kuat.

“Andai saja Pahing menikah dengan perempuan pilihan saya, pasti sekarang anak saya akan betah berada dirumahnya ketika sedang off kerja bukan malah betah diluar.”

Kiran semakin menundukkan kepalanya, tak bisa untuk diangkat seakan-akan telah dijatuhi oleh benda berat yang tak kasat mata. Hatinya kian teriris makin menipis, tak bisakah Ibu mertuanya itu berhenti berbicara? Semakin beliau melebarkan volume bibirnya, semakin pula kebocoran dalam diri Kiran kian menganga.

Tenggorokan Kiran terasa tercekat hingga bibirnya kelu tak bisa berucap, harga dirinya sudah terseret jauh compang-camping.

“Kamu itu memang tidak becus sebagai istri, suami kerja banting tulang tapi kamu malah enak-enakan tidur seharian. Bukannya beres-beres rumah, lihat meja ini. Penuh dengan debu, kamu sebagai istri tidak ada value-nya sama sekali. Rugi sekali Pahing telah menikahi perempuan pemalas seperti kamu, haduh.. Saya sudah gedek melihat wajahmu itu, rasanya mau muntah.” Rentetan kalimat lain dari Ibu mertua yang harus Kiran teguk sampai lambungnya membengkak.

“Kapan sih Pahing menceraikanmu?” Pertanyaan ini bukan untuk yang pertama ataupun kedua, ketiga melainkan setiap mereka bertemu tatap muka. Pertanyaan tersebut selalu menjadi tanda bahwa percakapan yang didominasi oleh Ibu mertua akan segera berakhir, sementara Kiran masih memilih membisu ditempat berdirinya.

“Sudahlah, saya pulang saja dan bilang ke Pahing bahwa saya kemari. Awas kamu kalau lupa, masa masih muda sudah pikun.” Ejek Ibu mertua sembari bangkit dari duduknya lalu menjingjing tas tangan dilengan kanannya.

Tanpa menunggu jawaban dari Kiran, Ibu mertua memilih melenggang pergi. Kiran pun berusaha untuk menggerakan tubuhnya, mengikuti beliau dari belakang.

“Hati-hati dijalan, Bu.” Cicit Kiran pelan, ia menahan rahangnya agar tetap tegak.

“Jangan panggil saya, Ibu. Saya tidak sudi dipanggil Ibu oleh kamu, dasar perempuan tidak tahu diri.”

Setelah itu mertua hilang dari pandangan Kiran, ia pun segera menutup pintu lalu tubuhnya luruh ke lantai karena sudah tidak bisa berpura-pura kuat untuk menopangnya lagi.

Rintik-rintik cairan panas yang sudah mati-matian dia tahan, langsung meluncur bebas membasahi wajahnya.

Baru setengah hari akan tetapi rasa mendung didalam hidupnya semakin mengukukuhkan diri, menduduki tahta tertinggi sebagai pemegang sejati.

Kiran menangis lagi tanpa suara yang sebetulnya juga dia sudah lelah, tapi serangan psikis yang dia terima dari Ibu mertuanya tidak bisa ia hindari.

Kiran menangis sambil memukul bagian dadanya cukup kencang, kepalanya pun tak luput dari sasaran sampai tak terasa kelopak matanya terasa makin berat dan tertutup rapat.

Ia tertidur dilantai dingin tanpa alas, dalam tidurnya sekalipun air mata tetap membasahi wajahnya.

Oh, Kiran yang malang. Apakah kamu akan tetap memilih untuk bertahan?

Atau memilih untuk mundur dari panggung yang tak sedikitpun tak mendapat penonton? Keluar dengan darah yang menetes sampai kering?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status