Share

Suami Miskinku Ternyata Konglomerat
Suami Miskinku Ternyata Konglomerat
Penulis: Pena Asmara

1. Dihina Dan Direndahkan

Bab 1.

Dari selepas Salat Subuh setelah pulang dari pasar, aku sudah di rumah Emak. Siang ini kakakku yang tinggal di Jakarta bersama anak dan cucunya akan datang mengunjungi kami keluarga besarnya di Desa Cibungah. Aku berdua dengan Emak sudah sibuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan kami masak nanti.

"Dasar bodoh! Kalau si Riswan sayang, peduli, dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga itu baru pantas dipertahankan. Nah ini ... laki cuma bisa nyakitin, nggak bisa nyukupin. Kerja pun cuma berkebun, masih saja disayang-sayang. Kamu itu dulu disekolahkan orang tua bukan makin pintar, malah otakmu semakin tumpul!" sentak Bapak dengan penuh emosi.

"Bang Riswan sayang, Pak dengan Risma," jawabku. “Bang Riswan juga tidak pernah menyakiti hati Risma." Sembari terus memotong daun kangkung.

"Dengan hidup susah bersamanya itu sudah nyakitin, Risma!" bentak Bapak lagi. 

"Kamu lihat tuh hidup kedua kakak dan adik-adikmu. Mereka terlihat senang gak hidup susah macam kamu. Kamu memang nggak sakit hidup susah terus?" sindir Bapak. 

Aku tertunduk diam saja tidak lagi membantah. Kata-kata menyakitkan seperti ini sudah sering kali kudengar dan bukan hanya dari Bapak saja.

Kakak lelaki nomor dua, Amran, dua adik perempuanku; Ela dan Samsiah juga sering berkata menyakitkan seperti itu. Hanya Emak dan kakak lelakiku yang nomor satu; Kang Darman, beliau yang sekarang tinggal di Jakarta yang tidak pernah menghina kehidupan susah yang terjadi di dalam rumah tanggaku.

"Sudahlah, Pak, jangan mengomeli Risma terus. Dia pun tentunya tidak mau hidup susah. Mungkin sudah jalan hidupnya begini, Pak," jelas Emak sembari meminta daun kangkung yang baru selesai aku potong-potong.

"Makanya dari pada dia hidup susah terus lebih baik dia cerai saja sama si Riswan!" sentak Bapak. Sekali lagi aku hanya terdiam, sakit rasanya hatiku ini mendengar ucapan Bapak.

"Tidak boleh bicara seperti itu, Pak," sergah Emak. "Bapak memang kepingin cucu-cucu Bapak tinggal terpisah sama ayahnya?" 

"Aku lebih rela anak si Risma jadi yatim atau nggak punya Bapak sekalian dari pada punya Bapak nggak guna macam si Riswan itu!" sentaknya lagi. 

Aku langsung bangkit berdiri, meninggalkan ruang tamu untuk menuju dapur.

"Lihat itu si Risma, dinasehati yang benar malah pergi menghindar. Cuma dia itu yang punya mental susah makanya dia betah hidup blangsak terus."

"Sudah, Pak, sudah ...."

Aku menangis dalam diam, air mata mengalir perlahan di pipi, sesak rasanya dadaku ini setiap kali mendengar omelan Bapak.

"Ucapan bapakmu jangan diambil hati ya, Ris," ucap Emak lembut, sembari mengusap-usap bahuku.

"I-iya, Mak," jawabku sembari mengusap air mata. Emak seperti menarik napas dalam.

"Oh, iya, Ris, itu ikan guramenya sudah dibersihkan?" tanya Emak.

"Sudah, Mak, sudah Risma cuci juga," jawabku sambil terus memotong-motong cabai dan bawang.

"Selesai ini kamu ambil ayam dua ya di kandang, dipotong sekalian. Insya Allah sebelum kakakmu dan keluarganya datang semua sudah selesai.

"Iya Mak, nanti Risma yang potong ayamnya. Sebentar lagi juga rapih ini motong-motongnya." jawabku lagi lebih mempercepat pekerjaanku.

Hari ini memang kakakku yang paling tertua akan datang dengan keluarganya dari kota. Kang Darman seorang pengusaha yang sukses di Jakarta. Dua anak perempuan dan menantu-menantunya pun punya kehidupan yang enak di sana dan karier yang bagus.

Kami yang di kampung pasti akan sibuk jika mendapat kabar Kang Darman ingin pulang. Terutama aku yang selalu diandalkan Emak untuk membantunya di dapur dibanding kedua adik perempuanku.

Andai saja Emak tidak menyuruh aku untuk membantunya, aku pun sebenarnya segan karena selalu saja kata-kata hinaan yang akan sering kudengar.

"Mak, potong ayamnya nanti, yah? Risma mau marut kelapa dulu buat bikin santan." tanyaku pada Emak dan beliau hanya mengangguk.

"Kalau Kang Darman mau datang ke sini kesempatan ini buat anak Teh Risma. Yuli dan Neti, buat makan enak," sindir Ela, adik yang tepat di bawahku sembari mencomot tempe yang baru digoreng Emak dan langsung memakannya. 

Yuli dan Neti adalah dua anakku yang berusia lima dan empat tahun. Setelah enam tahun aku berumah tangga dengan Bang Riswan, kami memang selalu diperlakukan beda terutama oleh Bapak, kakeknya sendiri. Kedua anakku itu selalu diperlakukan tidak adil dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain.

"Nanti jika sudah selesai jangan semua-mua serba dibungkus buat dibawa pulang Teh Risma, macam orang kelaparan saja," nyinyirnya lagi.

'Ya, Allah' bisikku lirih dalam hati, selalu diam dan terus berusaha sabar. Selain diam dan sabar apalagi yang orang susah punya bisa lakukan? 

Suamiku yang saat menikah denganku adalah seorang perantauan di kampung ini, yang mengaku sebagai yatim piatu dan tidak punya saudara ini memang selalu menekankan tentang sabar dan diam dalam keikhlasan walaupun dihina orang.

"Dipuji tidak membuat derajat kita lebih tinggi dihina pun tidak membuat derajat kita lebih rendah di hadapan Tuhan." Begitu selalu ucap Bang Riswan. 

Jika aku mengeluh tentang sikap keluargaku, Bang Riswan selalu menguatkan aku dengan pelukan hangatnya.

"Sabar ya, Neng." Hanya itu yang selalu dia bisikkan.

___

Komen (16)
goodnovel comment avatar
Abdius Tiawan
satu bab satu lembar ya, enak dibaca .. lanjut
goodnovel comment avatar
Rudi Anto
Kayak nya bagus... coba d baca dh
goodnovel comment avatar
Atiman Burhan
kayaknya alur ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status