Share

3. Batas Kesabaran

Bab 3.

Sembari menangis terdiam. Aku lanjutkan memarut kelapa sementara mereka terus saja membicarakan kejelekan suamiku, sambung menyambung.

Dibilang tidak mau akur. Tidak mau bantu-bantu kerja. Padahal sedari pagi aku sibuk berdua dengan Emak. Tidak saudaraku, tidak juga pasangannya, hanya sibuk mengobrol saja dan menghabiskan jajanan pasar yang tadi aku beli di pasar bersama Emak.

"Assalamualaikum." Sayup-sayup dari dalam dapur aku mendengar suara ucapan salam dari arah depan rumah dan itu suara suamiku, Bang Riswan.

Dari dalam dapur aku dengar tidak ada satupun yang menjawab salam suamiku. Tidak dari orang-orang yang ada di ruang tamu, tidak juga dari saudara-saudaraku yang berdiri tidak jauh dari pintu dapur dan ruang tengah. Aku yang berada di pojok ruangan dekat kompor saja masih bisa mendengarkan.

Bapak dan ketiga saudara-saudaraku langsung menuju ke ruang tamu. Perasaanku gelisah. Pasti mereka akan terus menghina dan menyudutkan Bang Riswan. Bahkan jelas-jelas Bapak menunjukkan rasa ketidak sukaannya dengan suamiku. Memintaku untuk meminta cerai kepada Bang Riswan dan aku jelas-jelas menolak mengikuti keinginannya. Apalagi alasannya karena kami miskin.

Aku mengangkat baskom tempatku memarut kelapa ke depan pintu masuk dapur yang berbatasan dengan ruang tengah, lalu melanjutkan pekerjaan memarut di situ. Aku hanya ingin mencuri dengar apa saja yang akan mereka katakan terhadap Bang Riswan.

"Anak-anakmu dari rumah tidak disiapkan sarapan Wan? Datang-datang langsung nyomot makanan di piring. Macam anak-anak kurang jajan saja." kata abangku Amran memulai pembicaraan yang bagiku terdengar menyakitkan. Tidak terdengar jawaban dari suamiku.

"Memangnya kamu tidak pernah ajarkan adab sama anak-anakmu, Wan? Main comot-comot makanan saja," sindir Bapak.

'Ya Allah ... Bapak, anakku masih umur  lima dan empat tahun. Tadi saat aku ada di ruang tamu pun, kulihat ponakan-ponakan yang usianya jauh lebih besar bolak-balik mengambil jajanan pasar di piring tanpa izin, tapi Bapak diam saja' rintih batinku.

"Maaf, Pak," ucap Bang Riswan pelan. Dari pintu ruang tengah dan dapur tempatku memarut kelapa terlihat jika suamiku hanya duduk bersila di lantai dekat pintu masuk rumah. Suamiku itu hanya menunduk dengan putri bungsuku Neti berada di pangkuannya.

"Wan, nanti kau ambilkan pupuk dari koperasi kelurahan, tiga karung antarkan ke rumah," kata Bang Amran menyuruh. Kembali dalam hatiku beristighfar.

"Iya, Kang," jawab Bang Riswan. Aku langsung bangun berdiri, kutinggalkan parutan kelapa yang tinggal sedikit.

'Ini tidak bisa lagi dibiarkan!' teriak hatiku.

Mereka seenaknya menghina dan merendahkan suamiku tetapi selalu memanfaatkan tenaga suamiku secara gratisan. Sudah seringkali mereka memanfaatkan kebaikan Bang Riswan tetapi masih terus menghina dan merendahkannya. Saudara-saudaraku memang tidak tahu diri.

Mencarikan rumput buat ternak mereka, membeli pakan ternak, dan kali ini diminta untuk membawa pupuk tiga karung, tetapi tidak pernah mengizinkan suamiku memakai kendaraan motor milik mereka untuk mengangkutnya. Hingga suamiku harus bolak-balik mengangkat karung satu persatu bolak-balik dengan berjalan kaki. Jangankan untuk memberikan uang lelah, ucapan terima kasih pun tidak terlontar dari mulut mereka.

Aku lantas berdiri, bergegas melangkah ke ruang tamu yang hanya berjarak sekitar empat meter.

"Maaf, Kang Amran, aku tidak mengizinkan suamiku untuk mengangkut pupuk milikmu," ucapku tegas. Berdiri di samping suamiku yang masih duduk bersila. 

Bapak melotot ke arahku tajam. Sedangkan Kang Amran sedikit terperangah begitupun dengan Ela dan Samsiah.

"Kenapa kamu yang nolak? Riswannya sudah mau, kok," kilah Amran.

"Iya, suamiku bersedia karena dia tidak enak hati. Kalian ini sering memanfaatkan tenaga suamiku untuk kepentingan kalian sendiri tanpa ada jasa imbal baliknya. Yang ada kalian malah sering menghina Bang Riswan. Macam orang tidak punya malu!" sindirku telak.

"Risma! Kurang ajar kamu yah!"bentak Bapak.

Emak kulihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam dapur.

"Neng, sabar Neng," bujuk Bang Riswan berusaha menenangkan aku.

"Sabar! Sabar! Kurang sabar apa kita, Bang?!" Kini suamiku lah yang sekarang jadi sasaran kekesalanku. 

"Eneng tuh cape, Bang. Kehidupan kita selalu dihina. Abang selalu direndahkan tetapi tenaga Abang dimanfaatkan gratis oleh saudara-saudara eneng," ucapku sembari terisak.

"Sudah, Neng, sudah, yah," ujar Bang Riswan kembali menenangkan.

"Abang kenapa sih? Diam saja tidak mau melawan!" geramku pada Bang Riswan yang hanya diam menyaksikan aku marah seperti ini.

"Sudah Risma, malu banyak orang," ucap Emak menenangkan.

"Dasar si Risma nggak punya adab. Kamu memang tidak mengajarkan adab sama istrimu, Wan! Sudah susah miskin tata Krama," sindir Bapak.

"Dimata Bapak, keluarga Risma nggak pernah dianggap benar," keluhku pada Bapak. 

Aku langsung berbalik badan ke arah Bang Riswan. "Mungkin bagi Abang sabar nggak ada batasnya, tapi bagiku nggak bisa, Bang. Sakit hatiku, Bang. Mendengar Abang selalu direndahkan oleh saudara-saudara eneng," jelasku terisak-isak.

Aku langsung menggendong si bungsu Neti, berjalan cepat meninggalkan rumah Emak tanpa permisi lagi. Hatiku benar-benar terluka.

Terlihat suamiku Bang Riswan mengikuti dari belakang sembari menggendong putri pertama kami; Yuli, menjauhi rumah keluarga besarku.

Aku kesal dengan kesabaran suamiku.

"Neng, tunggu abang atuh, Neng," panggil Bang Riswan tak jauh di belakangku. Ku acuhkan saja suamiku karena hatiku masih kesal. Malah semakin kupercepat langkah.

Sebenarnya jarak rumah kami dan rumah keluarga besarku tidaklah terlalu jauh. Karena memang daerah yang kami tinggali berkontur perbukitan. Posisi rumahku sedikit lebih ke atas dari rumah Emak yang dekat dengan jalan utama kampung kami.

Kampung tempat kami tinggal memang ada di antara gunung dan perbukitan dengan udara yang sejuk. Dekat dengan perkebunan teh milik perusahaan swasta terkenal seluas ratusan hektar. Kedua orang suami adik-adikku juga bekerja di perkebunan ini sebagai mandor perkebunan. Mereka pun sama seperti istri-istrinya yang juga adik-adikku, tidak suka dengan Bang Riswan.

Saat ku utarakan kepada Bang Riswan tentang ketidaksukaan saudara dan ipar-iparku, enteng saja ucapnya, "Biar saja, Neng, asal jangan Allah yang benci dengan kita."

Sesantai itu Bang Riswan menanggapinya, sementara aku sendiri sudah cape hati.

___

Komen (13)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni M Karim
lanjut penasaran dengan ceritanya
goodnovel comment avatar
Wanda Natasya
lanjutkan bosssssssssssssssss
goodnovel comment avatar
Ahmad Syarifudin
bagsus ceritanya menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status