Share

5. Kedatangan Keluarga Kang Darman

Bab 5.

Aku sengaja masuk ke rumah Emak lewat pintu belakang yang langsung menuju dapur. Menghindari saudara-saudaraku yang masih berkumpul di ruang tamu.

Kulihat hanya Emak sendiri yang sedang sibuk memasak di dapur. Kasihan melihatnya, pekerjaan sebanyak ini harus Emak kerjakan sendirian. Dua orang adik perempuanku itu memang seperti tidak punya hati dan akal, tega membiarkan Emak memasak sendirian. Namun anehnya bapak selalu menyanjung mereka. Sedangkan aku yang selalu diandalkan Emak saat sedang sibuk atau ada acara besar di rumah, justru malah selalu dinyinyiri dengan kata-kata yang pedas, apalagi jika bukan tentang suamiku, Bang Riswan.

Di bawah dekat pintu dapur terdapat dua ayam kampung yang sudah disembelih hanya belum dicabuti bulu-bulunya.

"Mak." panggilku pelan dari depan pintu. 

Emak yang sedang sibuk memasak bumbu rendang menoleh sekilas ke arahku. "Tolongin emak pesiangin ayam, yah, Ris."

"Iya, Mak." Aku langsung masuk dan memasak air untuk merendam ayam-ayam yang sudah disembelih agar mudah saat dicabuti bulu-bulunya. Sembari menunggu air masak aku duduk di sebelah Emak, mengambil sebuah bangku pendek terbuat dari papan yang hanya setinggi mata kaki. "Jojodok" adalah nama yang warga kampung kami bilang untuk menyebut bangku pendek tersebut.

"Ris..." panggil Emak sembari tangannya terus mengaduk-aduk bumbu rendang di penggorengan.

"Apa Mak?"

"Maafkan emak, ya," ucapnya pelan.

"Maaf buat apa, Mak?" tanyaku sambil memotong-motong kentang yang sudah dikupas menjadi empat bagian buat campuran rendang.

"Karena tidak bisa membelamu saat dihina Bapak dan saudara-saudaramu yang lain dan hanya meminta kamu untuk selalu mengalah," jawab Emak pelan sembari memasukkan potongan-potongan daging ke dalam penggorengan. Matanya kulihat berkaca-kaca.

"Iya, Mak, tidak apa-apa. Risma mengerti keadaan Emak," ujarku pelan masih terus melanjutkan memotong kentang.

Emak memang tipikal perempuan desa kuno yang selalu mengalah dan hanya menuruti apa kata Bapak. Selama aku tinggal di rumah ini, Emak memang selalu begitu, berusaha menghindari keributan dalam rumah tangga antara beliau dan Bapak.

Bapak yang selalu merasa benar dan ingin menang sendiri dalam segala hal. Berbanding terbalik dengan Emak yang hanya diam dan banyak mengalah.

Aku sangat tahu jika Emak memendam batin selama ini atas sifat egois Bapak. Termasuk saat Bapak pernah menikah lagi dengan seorang janda anak dua yang tak lain masih tetangga kampung yang tidak jauh dari perbatasan desa.

Walaupun itu tidak berjalan lama, hanya sekitar dua tahun saat akhirnya Bapak meninggalkan perempuan itu begitu saja karena banyak permintaannya.

Saat itu aku masih SMP kelas 2. Emak yang mendengar kabar pernikahan siri Bapak, hanya diam saja, tidak menegur atau pun marah-marah dengan Bapak. Tapi sering aku melihatnya menangis terdiam di dapur ini sembari memasak buat Bapak dan anak-anaknya. Ruangan dapur ini adalah saksi Emak mengekspresikan rasa sakit dan luka hatinya.

Emakku ini memang sama persis memiliki sifat seperti Bang Riswan, lebih baik diam dan mengalah. Makanya aku sering kasihan sama Emak dalam menghadapi sifat Bapak yang angkuh. Bapak saat mudanya dulu seorang makelar tanah dan persawahan. Sering memegang uang dalam jumlah banyak jika tanah atau sawah yang diperantarakan laku terjual. Makanya sifatnya sangat arogan karena sering memegang banyak uang dan sering dipanggil orang dan warga dengan panggilan juragan.

"Risma!" Teguran sedikit keras Emak mengagetkan aku.

"Eh, iya, apa Mak?" jawabku sedikit gelagapan.

"Itu air yang kamu masak sudah ngegolak-golak ( mendidih ) sedari tadi," tukasnya. 

Aku tertawa kecil dan langsung bangun untuk segera mengangkat air kemudian membawanya ke dekat pintu dapur. Lalu mulai mencelupkan kedua ayam yang sudah disembelih tadi.

"Ris." panggil Emak lagi saat aku sedang mencabuti satu persatu bulu-bulu ayam.

"Apa Mak?"

"Tidak apa-apa, Ris. Emak hanya mau ingatkan kalau kita harus bisa bersikap sabar dan mengalah demi menghindari pertikaian dan perdebatan," kata Emak sambil memasukkan potongan kentang ke dalam penggorengan.

"Risma sudah terlalu lama mengalah, Mak. Bukannya mereka malah tersadar justru malah semakin menjadi-jadi," sanggahku pelan. 

"Tetapi tidak enak Ris, jika didengar tetangga. Sama saudara sendiri dan Bapak kok ribut terus."

"Risma juga sebenarnya tidak ingin ribut, Mak. Emak 'kan bisa lihat jika Risma selama ini selalu diam dan mengalah. Tapi Risma juga punya hati, Mak. Sakit atuh, Mak ... kalau setiap saat selalu dihina dan direndahkan terus," jelasku pelan.

Emak terdiam. Mungkin beliau sedang berpikir ke dirinya sendiri. Berpuluh-puluh tahun berumah tangga dengan Bapak, Emak selalu jadi pihak yang mengalah hanya untuk menghindari keributan dan pertikaian. Bahkan walaupun aku tahu jika itu Bapak yang salah, tapi tetap saja Emak yang mengalah.

'Kasihan Emak.' keluhku dalam hati.

Menjelang siang sekitar jam 11.00, rombongan keluarga Kang Darman tiba dari Jakarta dengan menggunakan dua mobil pribadi. Kakak tertuaku dan istrinya ini sepertinya ikut menumpang mobil anak-anaknya.

Kedua anak Kang Darman semuanya perempuan sama dengan aku. Baru mempunyai satu cucu dari anak pertama. Sementara anak keduanya baru saja menikah enam bulan yang lalu. Kami semua keluarganya di kampung ikut semua ke Jakarta saat itu.

Masakan yang sudah aku dan Emak persiapkan semenjak subuh tadi. Semua sudah tersaji di ruang tamu keluarga. Ruang tamu dan teras rumah yang cukup besar sanggup untuk menampung semua anggota keluarga besar.

"Suami dan anak-anakmu kemana Ris? Kok nggak kelihatan?" tanya Kang Darman saat kami akan memulai makan bersama.

"Teh Risma mah suaminya nggak mau akur sama keluarga, Kang. Selalu menghindar jika ada acara kumpul-kumpul macam gini," celetuk Ela menyambar ucapan Kang Darman. Tetapi tidak ditanggapi oleh kakak tertuaku itu.

"Ada di rumah Kang." jawabku pelan.

"Panggil atuh, Ris, biar makan bareng-bareng sini," ujar Kang Darman lagi.

"Biar saja Kang, paling-paling juga si Risma sudah bungkusin buat dibawa pulang," sindir Kang Amran. 

Dalam hati aku hanya bisa mengelus dada, menahan kesabaran.

"Ical, tolong kamu panggil Riswan ke mari. Bilang saja dipanggil uwa." Kang Darman menyuruh anak tertua Kang Amran, keponakanku untuk memanggil suamiku.

"Baik, W*," jawab Ical langsung berlari keluar rumah.

"Lagaknya macam Jendral saja sampai harus dipanggil-panggil," celetuk bapak.

"Sudah-sudah, kita makan lebih dulu saja. Buat apa nungguin makan hanya untuk orang yang tidak penting!" ketus Bapak lalu mengambil piring dan langsung menyendok nasi dari bakul bambu, diikuti oleh saudara-saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan. Kulihat Kang Darman seperti menghela nafas. Kakak pertamaku pun baru menyendok nasi di bakul yang berbeda, lalu diikuti oleh istri, anak, dan menantunya.

"Kamu kok nggak makan Risma?" tanya Teh Uni, kakak iparku, istri dari Kang Darman. Sembari ingin memasukkan sendok nasi ke dalam mulutnya.

"Nan--"

"Teh Risma mah sudah misahin duluan, Teh Uni. Buat suami sama anak-anaknya. Kita ini hanya makan sisanya saja," sindir Samsiah langsung nusuk ke hati, memotong ucapanku.

Ingin rasanya kujambak rambut adikku yang bermulut tajam itu karena segala ucapan fitnahnya. Dadaku mulai terasa panas, Emak yang duduk di sebelahku lantas mengusap-usap pelan pahaku, bermaksud menyabarkan. 

___

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Atiman Burhan
ini saudara atau apa yah kok tega...
goodnovel comment avatar
Yani Suryani
ceritanya bagus banget seperti menceritakan di daerahku tapi tida ada karakter seperti kang riswan yg sabar banget
goodnovel comment avatar
Moessaes Priyambono
ga Indonesia banget, harusnya Risma bangun Jambak itu adeknya injek batang lehernya, KK nya langsung lempar pake ulekan , emaknya juga ga ada otaknya ga ngomongin anaknya yg adeknya Risma,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status