Share

7. Walaupun Miskin Tidak Pernah Meminta

Bab 7. 

"Pengangguran macam dia mana ada cerita yang bisa dibanggakan." sindir Bapak pada suamiku.

"Tidak boleh begitu Pak," tegur Kang Darman mencoba mengingatkan Bapak.

"Tidak boleh mengapa? Memang pada kenyataannya suami si Risma ini pengangguran kok!" sentak Bapak keras.

"Walaupun kami miskin dan kekurangan tapi aku dan Bang Riswan tidak pernah merepotkan saudara kok, Kang Darman. Apalagi sampai harus meminta-minta," ujarku menjelaskan. Tidak tahan juga untuk jika tidak ikut bicara.

"Belum lihat saja nanti jika anak-anak Teh Risma sakit. Pasti nanti saudara-saudara juga yang diuber-uber buat cari pinjaman," sindir Ela kepadaku. Bahkan ucapannya terdengar seperti sedang menyumpahi anak-anakku.

"Insya Allah tidak akan," jawab cepat Bang Riswan.

"Alahhh, sombong kau Riswan! Aku sumpahin biar anakmu sakit. Pengen tahu benar tidak nanti ucapanmu!" 

"Bapakk ...!" Sakit hatiku mendengar ucapan Bapak. Bahkan saking bencinya dia dengan Bang Riswan sampai tega menyumpahi cucu-cucunya sendiri. "Tega sekali Bapak menyumpahi cucu-cucu Bapak sendiri hanya karena benci dengan Bang Riswan!" Emosiku mulai kembali memuncak.

"Habisnya suamimu itu mulutnya sombong sampai bilang tidak akan." 

Bang Riswan sedikit menekan tanganku pelan mengingatkan aku agar jangan meladeni Bapak.

Linda dan Yuni, dua orang anak Kang Darman sedang asyik berbincang berdua tentang berita online yang mereka baca lewat kantor berita via handphone.

"Hei, ini orang berdua malah sibuk sendiri saja," sindir Kang Darman kepada anak-anaknya.

"Iniloh Ayah ... ada berita menarik tentang konglomerat negri ini," jelas Linda. Kami semua yang sudah berhenti sesaat dalam berbincang-bincang jadi fokus mendengarkan ucapan Linda.

"Konglomerat itu kenapa, Nda?" tanya kang Darman lagi.

"Sakit, Yah. Parah katanya. Dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit Omni di Jakarta.

"Konglomerat yang mana?" tanya Kang Darman lagi.

"Itu yah, Muchtar Kusumateja, pemilik grup Niskala Corporation. Orang terkaya nomor lima di negeri ini." 

Kang Darman, Bapak, Kang Amran yang memang terkadang berbisnis pasti kenal dengan nama Muchtar Kusumateja, pemilik banyak usaha besar. Bidang usahanya bergerak di segala sektor. Dari hotel, jasa ekspedisi, pabrik, sampai pencaharian hasil bumi semacam batu bara, minyak, dan masih banyak lagi bidang usaha miliknya.

"Perusahaan pengolahan daun teh tempat kami bekerja juga masih milik Pak Muchtar Kusumateja," jelas Tohir, suami Ela.

"Perumahan mewah Paradise Garden yang di kota kabupaten pun masih punya Pak Muchtar," sahut Gufron menimpali.

"Bila orang terkaya nomor lima di negeri ini jika uang seratus ribuan miliknya di barisin dari sini, mungkin bisa sampai Jakarta," canda Kang Darman sembari tertawa terbahak.

"Neng, abang pulang ke rumah dulu ya, nitip Yuli sama Neti," ucap Bang Riswan agak berbisik. Aku hanya mengangguk.

"Mau bawa nasi yang sudah dibungkusin Emak tidak, Bang? Abang 'kan belum makan?" menawari suamiku makanan untuk dibawa pulang, berbisik juga di telinga lelakiku.

"Tidak usahlah Neng."

"Emak, Kang Darman, Teh Uni, Yuli, Linda, saya permisi pulang dulu." Pamit Bang Riswan, namun tidak pada Bapak, Kang Amran, Ela, Samsiah, dan suami-suami mereka. Seolah-olah Bang Riswan menganggap mereka tidak pernah ada di depan matanya. Langsung saja suamiku itu berbalik pergi untuk pulang.

"Dasar mantu tidak punya otak! Tidak punya adab! Kurang ajar!" maki Bapak merasa tidak dianggap. Bapak benar-benar terlihat marah besar.

"Miskin aja belagu!"

Sudah menjadi kebiasaan jika Kang Darman pulang kampung di luar waktu Lebaran Idul Fitri, kakakku itu dan keluarganya akan menginap semalam di rumah keluarga besar ini. Karena yang mengisi rumah ini hanya Bapak dan Emak sehari-harinya.

Rumah bersama ini memang berukuran cukup luas. Banyak ruang kosong karena tidak terlalu banyak perabotan. Kursi ruang tamu pun tidak ada. Semua hanya beralaskan karpet. Jika ada tamu pun mereka semua duduk-duduk dibawah.

Seharian tadi keluarga Kang Darman hanya menghabiskan waktu dengan kami semua keluarga adik-adiknya. Memetik kelapa, atau mengambil buah-buahan langsung dari pohonnya, karena memang desa ini masih terlihat sangat alami dan segar udaranya.

Semenjak ijin pulang ke rumah tadi suamiku itu tidak nampak lagi terlihat kembali ke rumah Bapak. Mungkin Bang Riswan memutuskan untuk menunggu di rumah saja.

Dua putriku baru saja tertidur sehabis dikeloni tadi. Sementara aku terduduk sendiri di depan teras rumah. Ditemani suara jangkrik dan kelap-kelip cahaya kunang-kunang. Cuaca malam ini dingin menusuk melebihi malam-malam biasanya. 

Suamiku sedang apa? Sudah makan atau belum? Sedangkan sedari Subuh aku sudah sibuk di rumah Emak tidak sempat masak di rumah. Saat siang tadi pun Bang Riswan tidak mau makan di sini. Hatiku jadi gelisah.

"Sedang apa Ris? Kok belum tidur?" Sedikit terkejut karena tiba-tiba Kang Darman sudah ada di sebelahku. 

"Belum ngantuk Kang." jawabku kembali mengalihkan pandangan ke arah kegelapan pepohonan.

"Perlakuan mereka terhadapmu ternyata belum juga berubah yah, Ris?" 

Aku tersenyum seraya menoleh ke arah kakak pertamaku yang duduk di sampingku. "Begitulah, Kang. Sepertinya jika aku masih bersama Bang Riswan perlakuan mereka tetap akan selalu begitu."

"Kamu bahagia tidak, Ris?" tanya Kang Darman. 

Aku terdiam sesaat, diiringi hening dan suara nyanyian jangkrik. "Ukuran kebahagiaan itu apa, Kang? Harta kah?" 

"Menurutmu?" 

"Entahlah, Kang. Jika harta sebagai ukuran sebuah kebahagiaan, maka aku tidak bahagia. Karena memang aku tidak punya."

"Lalu apa ukurannya, Ris?" 

"Bang Riswan memang tidak kaya Kang. Tetapi dia sayang dengan Risma dan anak-anak. Tidak pernah bersikap atau pun berkata kasar. Bang Riswan pengertian juga sabar. Walaupun kesabarannya terkadang membuatku kesal," jelasku pada Kang Darman.

"Jika ukurannya bukan harta benda, maka aku bahagia Kang."

"Kamu tidak ingin punya kehidupan yang lebih baik buat anak-anakmu Ris?"

"Kehidupan yang lebih baik Kang?" tanyaku memperjelas.

"Iya, kehidupan yang lebih baik. Misalnya dalam hal kemapanan, pemenuhan kebutuhan atau pun memiliki banyak uang."

"Jika kehidupan yang lebih baik tujuannya karena banyak harta. Mungkin Qorun sudah diangkat menjadi Nabi, Kang." 

Kang Darman tertawa mendengar guyonanku. "Ris, yang kudengar sekarang Bapak memaksamu untuk bercerai dengan Riswan. Apa benar?" 

Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan.

"Terus kamunya sendiri bagaimana?"

"Aku harus meminta cerai pada suamiku alasannya apa Kang?"

"Karena dipaksa Bapak, misalnya."

"Yah tidak bisa, Kang. Seumpama orang tua memaksa tetapi tidak ada unsur keburukan yang dilakukan suami. Risma tidak akan mau jika seperti itu. Selama suami Risma mampu memenuhi kebutuhan keluarga, sayang Risma dan anak. Walaupun tidak kaya sepertinya tidak pantas Kang jika Risma meminta cerai hanya karena hidup susah." kataku sambil menghembuskan nafas perlahan, mengurangi rasa sesak yang menggumpal.

"Bang Riswan sudah memenuhi semua syarat kewajiban seorang suami, Kang. Walaupun kecil dan sederhana, kami punya rumah. Untuk makan setiap hari walaupun seadanya, kami mampu. Dengan keluarga, Bang Riswan sayang. Lalu aku harus menuntut apa lagi Kang, jka kebutuhan dasar sudah dipenuhi."

"Kamu tidak ingin seperti orang-orang lain, Ris? Punya perhiasan, perabotan mahal, dan rumah bagus.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Nurul Laeli
tambah penasaran nih
goodnovel comment avatar
Atiman Burhan
kasian lanjut thoor
goodnovel comment avatar
Bang Dedi
kelewatan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status