Part. 8
Pembicaraanku dengan Kang Darman masih saja terus berlanjut. Suasana malam yang hening dengan udaranya yang dingin dan suara jangkrik yang masih sesekali terdengar.
"Mungkin setiap orang kepinginnya seperti itu Kang, tetapi jika seandainya suamiku hanya sanggup memenuhi kebutuhan utama sesuai standar tanggung jawab seorang suami, aku tidak bisa memaksa untuk meminta lebih." Kupegang tangan Kang Darman, saudara yang paling sayang kepadaku.
"Aku percaya suamiku pria yang bertanggung jawab, Kang. Dia akan penuhi setiap kebutuhan dasar kami, termasuk jika nanti anak-anakku besar dan butuh biaya yang lebih tinggi. Sekarang ini Bang Riswan hanya sanggup memenuhi kebutuhan sesuai standar hidup, dan itu sudah sesuai dengan tuntunan agama kita, Kang?
"Aku tidak mengeluh karena dianggap miskin, tetapi aku tidak terima jika orang miskin dianggap tidak punya harga diri." Tidak terasa air mataku mengembang dan luruh perlahan. Kang Darman merengkuh bahuku, mendekap erat ke dalam pelukannya sembari berucap pelan.
"Adikku ini memang perempuan baik yang tidak terlalu banyak menuntut."
Suara jangkrik malah semakin terdengar ramai, dengan sesekali diiringi suara kodok mengiringi kunang-kunang menari. Malam ini memang terasa hening dan cuaca teramat dingin sekali.
"Oh, iya, Ris, ini buat kamu," ucap Kang Darman, sembari meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu dipangkuanku.
"I-ini buat apa, Kang, uang sebanyak ini?" tanyaku.
"Buat kamu beli permen," bisiknya, lalu tertawa lepas, dan aku pun jadi ikut-ikutan tertawa. Sedari aku kecil dulu, saat Kang Darman belum menikah dan masih tinggal di rumah ini, beliau memang selalu memberikan aku uang jajan. Kang Darman memang kakak terbaik buatku.
Abangku ini adalah seorang pekerja keras. Pergi ke kota besar hanya bermodalkan tekad kuat dan keinginan untuk merubah penghidupan. Sekarang beliau sudah mampu menundukkan kerasnya persaingan hidup di kota besar Jakarta.
"Kang?"
"Kenapa, Ris."
"Jika uang sebanyak ini kubelikan permen, gigiku bisa keropos semua Kang?"
Kembali dia tertawa bahkan jauh lebih keras, aku pun begitu. Bahagia rasanya bisa sedekat ini dengan saudara seikatan darah. Seandainya saja saudara-saudaraku yang lainnya bisa bersikap seperti Kang Darman.÷÷÷÷÷÷÷
Empat hari sudah semenjak kepulangan Kang Darman. Bang Riswan pun belum pulang juga. Aku bingung, di mana suamiku sekarang? Harus mencarinya kemana? Bagaimana cara menghubunginya? Sedangkan handphone pun Bang Riswan tidak punya.
Semua pakaiannya di lemari masih utuh. Tidak ada satu pun yang Bang Riswan bawa. Anak-anakku, Yuli dan Neti, selalu menanyakan keberadaan ayahnya. Aku hanya bisa memberikan pengertian jika Ayah mereka sedang bekerja ke kota. Beruntungnya di usia sekecil itu mereka bisa mengerti, walaupun aku tahu putri-putriku ini pasti sangat rindu dengan ayahnya.
"Assalamualaikum." Suara salam mengagetkan lamunanku, bergegas membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang.
"Waalaikum salam," jawabku, sembari membuka pintu. Terlihat beberapa orang pegawai perkebunan berseragam berdiri di depan rumah dengan banyak tumpukan barang-barang berbagai macam. Seperti sembako lengkap, dengan beberapa dus susu formula. Juga beragam jajanan anak dengan harga mahal menurut ukuranku, yang hanya ada di mini market."
"Maaf Teteh, permisi sebentar. Benar di sini rumah Ibu Risma Wulandari?" tanya salah seorang pegawai perkebunan itu.
"Benar Kang, saya sendiri," jawabku, sedikit heran. "Ada perlu apa ya, Kang?"
"Oh, ini, Teh. Kami diperintahkan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan ini kerumah Teteh," jawabnya. Terlihat, masih ada tiga orang pegawai lagi yang sedang mengangkat barang yang serupa menuju rumahku.
"I-ini semua buat saya?" tanyaku, dengan nada sedikit gemetar, karena kaget melihat sembako sebanyak ini. Cukup untuk membuka sebuah toko kelontong sederhana.
"Iya, Teh," jawabnya, sembari meminta kawan-kawannya untuk memasukkan semua barang kebutuhan itu ke dalam rumah, setelah sebelumnya meminta ijin kepadaku.
Terlihat beberapa tetangga berkumpul menyaksikan ini semua. Karena memang jarang sekali karyawan-karyawan pabrik datang ke desa ini. Paling-paling hanya buruh biasa yang tidak berseragam yang bekerja sebagai pemetik daun teh. Jika karyawan berseragam seperti ini di kampung kami disebutnya "orang kantor" dan ini sebuah peristiwa langka bagi mereka, melihat begitu banyak orang kantor datang ke rumah, bahkan mengangkut barang-barang.
"I-ini tidak salah alamat, 'kan?" tanyaku takut-takut. Sembari melihat karyawan kantor itu bolak-balik menaruh sembako ke dalam rumah.
"Teteh benar, 'kan, Risma Wulandari, dengan dua anak Yuli dan Neti?" tanyanya untuk lebih meyakini.
"Iya, benar," jawabku lagi.
"Berarti kami tidak salah alamat," jawabnya, lantas mengambil photoku buat bukti jika paket sembako itu sudah aku terima, juga memphoto semua barang-barang yang sudah dia antarkan.
"Maaf, Kang. Ini semua disuruh siapa?"
"Kami tidak tahu, Teh. Kami hanya mengikuti perintah saja," jawabnya, sembari pamit hendak balik ke tempat kerjanya.
"Eh, maaf Kang, mau tanya sekali lagi."
"Tanya apa, Teh?" jawab orang kantor tersebut, sopan sekali sikap orang-orang kantor ini terhadapku.
"Berita itu benar ya, kang. Jika Pak Muchtar Kusumateja, pemilik pabrik perkebunan sudah berpulang?" tanyaku, ingin memastikan desas-desus yang beredar di desa ini.
"Ohh, Big Boss, benar Teh, baru tiga hari kemarin meninggalnya. Pabrik dan perkebunan teh ini mah mungkin cuma usaha iseng dia saja Teh, karena usahanya yang lebih besar masih jauh lebih banyak," jawabnya sembari pamit meninggalkan rumah.
Aku kembali menutup pintu, sembari memandangi bertumpuk-tumpuk barang di ruang tamu. Rasa heran dan bingung berkecamuk di dalam pikiranku.
Siapa orang yang sudah memerintahkan memindahkan isi satu toko sembako ke rumahku?
Selepas Salat Ashar saat matahari sedari pagi bersembunyi di balik awan, langit pun terlihat redup, udara terasa menyentuh lembut. Aku dengan kedua putriku, Yuli dan Neti berniat main ke rumah Emak, dekat sisi jalan utama kampung. Terakhir mengunjungi Emak saat Kang Darman datang empat hari yang lalu.
Bukannya tidak ingin sering-sering berkunjung ke rumah orang tua. Namun terkadang omongan Bapak dan ketiga saudaraku yang tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah ini membuatku sedikit segan apabila sering-sering ke rumah besar ini.
Jujur saja, seandainya aku mau iri, bisa saja aku protes kepada Bapak, kenapa saudara-saudaraku yang lain beliau berikan tanah untuk membangun rumah. Sedangkan aku dari tanah beserta rumah, semua atas biaya suamiku sendiri yang mereka bilang miskin.
Beberapa kali aku bercerita tentang hal ini kepada Bang Riswan. Dia hanya bilang, "Biarkan saja, Neng ... dikasih ambil, tidak diberi tidak usah meminta-minta, toh kita sudah punya rumah sendiri." Aku hanya mengiyakan saja.
Dengan memberikan sedikit upah kepada dua orang pemuda dekat rumahku, meminta mereka membawakan beberapa sembako pemberian dari pabrik perkebunan yang berlebih untuk kuberikan kepada Emak.
Jujur saja, aku merasa bingung sendiri. Kenapa hanya aku yang mereka berikan sembako, susu anak, berkardus-kardus mie instan, serta snack-snack makanan yang tidak dijual di warung-warung dekat rumah, sehingga sebagian tetangga ada yang merasa iri karena menganggap pabrik perkebunan itu sudah bersikap tidak adil.
Part 9Jalan utama kampung yang dekat dari rumah Emak terlihat ramai sekali, tidak seperti biasanya, karena ujung jalan ini ada di atas bukit milik perkebunan swasta yang tidak ada apa pun di sana. Terlihat mobil-mobil truck berukuran besar lalu lalang melewati jalan dengan membawa barang-barang material, seperti hendak membuat sebuah bangunan besar.Bukit di ujung jalan desa ini mempunyai pemandangan yang sangat indah. Berhadapan langsung dengan gunung, hamparan bukit teh, dan lembah hijau di bawahnya. Dari rumah Emak pun bukit itu terlihat sangat jelas, dengan banyak orang terlihat kecil dan kendaraan beragam macam. Entah, sedang dibangun apa di sana, berniat menanyakan nanti dengan Emak.Aku datang bersamaan dengan kedatangan dua orang pembawa sembako suruhanku. Emak terlihat terkejut dengan apa yang kubawa. Ini memang boleh dibilang pertama kalinya aku bisa memberikan sesuatu buat beliau. Seandainya saja hidupku lebih mampu, pasti aku akan sering-serin
PART 10Sudah hampir berjalan dua bulan, belum juga kuketahui keberadaan Bang Riswan. Segala doa kupanjatkan kepada Pemilik Kehidupan, untuk meminta perlindungan dan keselamatan di manapun suamiku berada. Menangis di sepertiga malam. Pagi dan petang, berharap semoga suamiku baik-baik saja di manapun dia berada.Sebenarnya, selama tidak ada Bang Riswan aku tidak ada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua bulan ini saja orang-orang kantor dari perkebunan sudah tiga kali datang membawa paket sembako dalam jumlah yang sama seperti saat pertama kali memberi. Dua kali dari orang kantor yang sama, memberikan uang tunai dalam amplop dengan jumlah yang cukup besar, yang aku sendiri belum pernah memegang uang dalam jumlah sebanyak itu.Aku berusaha untuk menolak pemberian uang tersebut dan tidak mau menerima, tetapi orang-orang kantor yg dikirim itu memohon-mohon agar aku mau mengambilnya, takut mereka dipecat jika aku menolaknya.Setiap kali kut
PART 11Kedua putriku Yuli dan Neti sudah terlihat cantik dan lucu. Memakai baju muslim dengan warna yang senada, hijab motif bunga-bunga macam princess muslimah.Gamis terusan berbahan halus berwarna coklat muda dengan ujung lengan melebar, juga hijab hijau tua dari kain yang ku-kreasikan sendiri menjadi pakaian yang kupilih untuk memenuhi undangan dari pabrik pengolahan teh tersebut.Dari dalam jendela rumah sudah terlihat para tetangga dengan pakaian rapih dan bagus mulai berangkat menuju tempat yang sama.Undangan pabrik besar tersebut menjadi bahan perbincangan yang hangat dalam dua hari terakhir, karena hal ini belum pernah terjadi selama pabrik mulai berdiri di desa ini.Tertulis juga di situ jika setiap kepala keluarga yang hadir akan menerima paket sembako lengkap dan uang akomodasi dari pihak perusahaan. Juga ada sedikit rasa penasaran dari warga yang ingin mengetahui seperti apa dalam pabrik tersebut."sudah siap buat jalan-ja
Part 12"Sebentar lagi ya, Neng," jawab Bang Riswan, saat aku ingin mengajaknya pulang."Tapi, Bang.""Sudah, Neng, abaikan saja."Lampu ruangan seluruh aula lantas dimatikan. Semua lampu lantas menyorot ke atas panggung megah tersebut. Beberapa pria berpakaian seragam safari hitam berbaris dari pintu samping aula hingga sampai ke atas panggung. Pembawa acara mempersilahkan semua undangan yang hadir untuk berdiri. Sepertinya tamu agung yang ditunggu-tunggu sudah hadir di tempat ini.Seperti sebuah pertunjukan besar, lampu utama hanya menyorot ke arah panggung. Sinar handphone yang dinyalakan oleh para tamu undangan macam cahaya ribuan kunang-kunang yang berterbangan.Aku dan Bang Riswan hanya terdiam menyaksikan, kedua anakku menoleh kesana-kemari dengan penuh kekaguman."Hanya orang penghuni hutan, di jaman sekarang yang tidak punya handphone."Walaupun gelap, aku tahu jika itu suara Ela."Kasihan deh, gue." Suara Samsiah
Part 13 "Abang rela kehilangan segalanya, asal abang jangan kehilangan Eneng." Senyum dan tatapan matanya penuh dengan kelembutan. Pria tertampan di muka bumi. "Juga anak-anak kita, kalian bertiga adalah harta abang yang paling berharga," ucapnya lagi, melanjutkan. Anak-anakku, kedua permata hati, hanya memandang sekeliling dengan penuh keheranan. Menyaksikan jika semua pasang mata menatap ke satu arah yang sama, orang yang paling mereka rindukan dan nantikan kehadirannya. Ayah mereka yang berpenampilan sederhana. Awalnya direndahkan dan dihinakan karena apa yang dikenakan, tetapi sekarang semua mata memandang dengan penuh penghormatan dan kekaguman. Bang Riswan kembali maju ke depan mikrofon. Tatapannya mengelilingi seluruh isi gedung aula. Semua diam, terasa hening, menantikan isi pidatonya lalu suamiku memulai bicara.
POV RISWANPart 14"Titip anak-anak, Bang. Aku harus segera membantu, Emak," ucap istriku Risma yang biasa kupanggil dengan sebutan Eneng sembari mengusap air matanya. Kemudian berbalik meninggalkan aku yang masih berdiri terdiam.Kesedihan terlihat jelas dari tatap matanya hanya karena membela aku, suami miskinnya.Apakah salah aku memilih diam? Apakah juga salah jika aku terus mengalah? Apakah itu menandakan jika aku sudah tidak lagi memiliki harga diri."Jika semuanya habis mereka injak-injak, apalagi yang harus eneng banggakan sama suami sendiri, Bang."Sembari menemani kedua putriku Yuli dan Neti, memetik cabai dan tomat di depan pekarangan rumah, ucapan istriku selalu terngiang-ngiang.Istriku memang tidak pernah mengeluh tentang kemiskinan kami, hampir selama enam tahun kami membina rumah tangga."Tidak apa-apa eneng dibilang miskin. Tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri!"Menemani kedua ana
Part 15Dengan menaiki ojek motor, aku langsung menuju ke pabrik pengolahan teh, berhenti tepat di depan gerbang pabrik tanpa sempat pulang terlebih dahulu untuk berganti baju. Kemeja pendek berwarna oranye pudar, celana bahan, dan sandal jepit, aku langsung menuju ke pos satpam yang terletak di balik pintu gerbang."Permisi Pak, selamat siang, saya ingin bertemu dengan Pak Julius?" tanyaku, kepada dua petugas security berseragam yang berjaga. Seseorang yang usianya sudah cukup umur, dan seorang pemuda yang sepertinya baru lulus sekolah dua atau tiga tahun sebelumnya. Bapak tua itu sepertinya sedang sibuk membuat laporan, dan security yang berusia lebih muda menanggapi pertanyaanku seperti acuh, setelah sebelumnya memperhatikan penampilanku dari wajah hingga sandal jepit yang kupakai."Buat apa?" Tidak menjawab pertanyaanku dan malah balik bertanya, tanpa memandang ke arahku sama sekali sembari asyik dengan handphone-nya."Ingin bertemu, Pak. Penting," ja
Part 16Tujuh Tahun Sebelumnya.Dering suara handphone yang kuletakkan di atas meja ruang meeting berbunyi, di saat aku sedang memimpin rapat dengan para petinggi di kantor pusat Niskala group, bilangan Sudirman Jakarta Selatan. Biasanya jika sedang rapat penting seperti ini aku tidak pernah ingin diganggu, tetapi melihat jika nomor berasal dari handphone Mamah, maka langsung kuterima.--Haloo, Mah?--Ris, ini Tante Else, Mamahmu kena serangan jantung di rumah Tante, sekarang sudah ada di rumah sakit.--Rumah sakit mana, Tan?--Siloam Semanggi--Baik Tante, saya langsung ke sana.Segera mematikan handphone."Rapat hari ini kita cukupkan dulu sampai di sini, saya harus segera ke rumah sakit," ucapku, tanpa meminta persetujuan dari peserta rapat, yang sebagian besar adalah pimpinan usaha di bawah group Niskala. langsung bergegas keluar dari ruangan pertemuan.Tony--sopir pribadi yang merangkap juga sebagai pengawal