Share

9. Paket Sembako Untuk Emak

Part 9

Jalan utama kampung yang dekat dari rumah Emak terlihat ramai sekali, tidak seperti biasanya, karena ujung jalan ini ada di atas bukit milik perkebunan swasta yang tidak ada apa pun di sana. Terlihat mobil-mobil truck berukuran besar lalu lalang melewati jalan dengan membawa barang-barang material, seperti hendak membuat sebuah bangunan besar.

Bukit di ujung jalan desa ini mempunyai pemandangan yang sangat indah. Berhadapan langsung dengan gunung, hamparan bukit teh, dan lembah hijau di bawahnya. Dari rumah Emak pun bukit itu terlihat sangat jelas, dengan banyak orang terlihat kecil dan kendaraan beragam macam. Entah, sedang dibangun apa di sana, berniat menanyakan nanti dengan Emak. 

Aku datang bersamaan dengan kedatangan dua orang pembawa sembako suruhanku. Emak terlihat terkejut dengan apa yang kubawa. Ini memang boleh dibilang pertama kalinya aku bisa memberikan sesuatu buat beliau. Seandainya saja hidupku lebih mampu, pasti aku akan sering-sering memberikan apa pun buat Emak.

"Assalamualaikum, Mak." Sembari mencium tangan Emak, dan menurunkan si bungsu Neti di lantai teras rumah untuk bermain bersama Yuli kakaknya, dengan masing-masing membawa Sebungkus Chiki ukuran besar.

"Waalaikum salam ... Ya Allah, ini apa, Ris? Banyak sekali, kamu dapat dari mana?" tanya Emak, sambil melihat-lihat kebutuhan pokok apa saja yang aku berikan. Aku lantas menceritakan tentang kedatangan orang-orang kantor ke rumahku sembari mengantarkan sembako.

"Ini beneran, Ris, orang-orang kantor yang berseragam itu yang datang dan memberikan?"

"Beneran, Mak. Risma saja sampai bingung," jawabku, sembari membuka sebungkus snack kentang dan memakannya bersama Emak.

"Ini sembako sebanyak ini. Ada beras, minyak sayur, kecap, mie instan, buat keluargamu ada tidak?" tanya Emak lagi sembari memperlihatkan barang-barang pemberianku satu-persatu.

"Alhamdulillah, sudah lebih dari cukup, Mak." Sambil menyodorkan sebungkus snack sama Emak. 

"Mereka salah kasih nggak, Ris?"

"Itulah, Mak, saat Risma tanyakan kepada orang-orang kantor itu, mereka bilang memang untuk Risma." 

"Aneh juga ya, Ris. Padahal kamu, 'kan nggak ada yang kenal dengan orang kantor. Suami Ela dan Samsiah pun hanya mandor lapangan tidak berseragam," ujar Emak, masih menerka-nerka.

"Mak, itu mobil-mobil besar bolak-balik bawa bahan bangunan ke ujung bukit buat apa, Mak?" tanyaku, mencoba mencari tahu.

"Nggak tahu juga, Ris, bangun pabrik kali, sudah dari dua hari kemarin. Malah yang emak dengar pekerjaannya dibuat 24 jam." 

"Ngomong-ngomong, Bapak kemana, Mak?" 

"Nggak tahu, Ris, semalam pun tidak pulang."

"Emak, nggak nanya?" Emak hanya menggeleng saja.

"Ada yang ingin Risma ceritakan sama Emak," ucapku pelan.

"Cerita apa, Ris?"

"Tetapi Emak jangan cerita sama Bapak, ya, Mak?" Beliau hanya mengangguk.

"Bang Riswan, dari semenjak pamit pulang saat ada Kang Darman, sampai sekarang nggak pulang ke rumah, Mak," jelasku.

"Ya, Allah ... itu, 'kan sekitar empat hari yang lalu, Ris?" Aku mengangguk.

"Risma bingung, Mak, juga khawatir. Takut kenapa-kenapa dengan suami Risma. Apalagi semua pakaiannya tidak ada yang dibawa," jelasku, mataku mulai mengembang.

"Sudah nyoba nyari, Ris?"

"Mau nyari ke mana, Mak. Risma sama sekali tidak tahu teman-teman Bang Riswan," keluhku pada Emak.

"Risma harus bagaimana, ya, Mak?" Aku benar-benar kebingungan, tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

"Nggak tahu, Ris, emak juga ikut bing--"

"Wihh, ini sembako banyak amat," celetuk Samsiah, entah dari mana datangnya, memotong pembicaraan Emak. Samsiah lalu seperti mengetik sesuatu pada handphone-nya, kemudian tanpa malu-malu membuka-buka isi kantong kresek berukuran besar berisi kebutuhan dapur yang sengaja kuberikan untuk Emak.

"Ada minyak sayur nih. Kebetulan di rumah sudah habis, aku minta ya, Mak," ucapnya enteng saja.

"Aku minta gula pasirnya!" Ela, adiku satunya lagi tiba-tiba datang. Sepertinya Samsiah tadi yang mengirimkan pesan buatnya. Dia pun langsung mencari apa yang dia mau.

"Mie instannya minta juga ya, Mak, buat anak," ujar Ela, sembari menarik lakban perekat kardus mie tersebut. Samsiah pun ikut sibuk mengambil beberapa bungkus mie.

"Hei! Dasar tidak punya malu! Bukannya ngasih orang tua, yang ada malah selalu ngambilin barang-barang milik Emak!" sentakku kesal, ditambah emak suka mengeluh jika Ela dan Samsiah sering sekali mengambil atau pun meminta keperluan dapur sama Emak.

"Teh Risma jika mau ikut minta, ya, minta aja. Nggak usah juga ikut larang-larang," sindir Samsiah.

"Ini sembako pemberian dari Risma untuk emak," jelas Emak.

"Hadehh, mana mungkin, Mak. Punya uang dari mana, Teh Risma," jawab Ela, merendahkan.

"Semua sembako ini memang punyaku untuk Emak, taruh lagi nggak!" sentakku lagi.

"Tapi, 'kan sudah dikasih buat Emak, jadi sudah milik Emak, dong," elak Samsiah, tidak punya malu. Seandainya saja mereka mau baik dan tidak memusuhiku, pasti mereka pun akan kukasih sedikit sarang sedikit. 

'persiapkan dirimu untuk berlaku tega nanti' Teringat kata-kata Bang Riswan yang dia bisikkan waktu itu.

"Iya, kalian tidak punya malu saja mengaku-ngaku kaya tetapi sering minta sama orang tua. Hanya pengemis yang suka minta-minta," sindirku pedas. Sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah. Sudah sedari lama mereka berdua ingin memulai peperangan. Selama ini aku hanya diam, dan masa-masa itu sudah harus berakhir.

"Teh Risma ngomong jangan sembarangan, ya," ucap Samsiah bernada mengancam. Ela pun melotot ke arahku.

"Jika aku sembarangan, kalian mau apa!" jawabku tegas, langsung berdiri dari bale. Aku tahu adik-adikku, mereka berdua itu penakut, tidak punya nyali, hanya berani jika ada Kang Amran dan Bapak saja.

"Sudah Risma, jangan." Emak sedikit menarik bajuku. Dua adikku itu mulai terlihat mengkerut. Mereka sangat mengenalku. Kakak yang selalu membela saat dulu selepas di-bully teman-temannya, atau kakak kelas mereka. Setiap kali Ela atau Samsiah mengadu sembari menangis, pasti saja orang yang membuat mereka bersedih dan ketakutan akan aku ajak berkelahi, bahkan pria sekalipun.

"Sudah ambil saja, Ela, Samsiah," ujar Emak, dan dengan tidak ada malunya, mereka benar-benar mengambil apa yang sudah kuberikan untuk Emak, sembari melangkah pulang tanpa pamit lagi, bahkan berterima kasih pun tidak.

"Jangan begitu ah, Risma, dengan adik-adikmu," tegur Emak.

"Tetapi mereka benar-benar sudah kelewatan, Mak," sanggahku dengan nada pelan.

"Walau bagaimanapun mereka tetap adik-adikmu, Ris."

"Mak ... sampai kapan pun mereka tetap adik-adik Risma, tetapi terkadang kita juga perlu tegas, Mak, agar mereka tidak lagi sembarangan," jelasku sama Emak. Ibu kandungku itu terdiam sebentar, lalu berbicara pelan.

"Mungkin karena emaknya yang lembek, dan tidak bisa bersikap tegas," keluhnya pada diri sendiri.

"Tidak lah Mak, mungkin karena Emak terlalu baik dan tulus, jadi mudah untuk dimanfaatkan," kataku, membesarkan hati Emak.

"Jika begitu, aku pamit pulang dulu, ya, Mak?" Aku Ingin mencari-cari petunjuk di lemari pakaian Bang Riswan. Siapa tahu aku bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan suamiku. 

Sesampainya di rumah yang luasnya tidak seberapa. Kucari-cari benda apa pun yang berhubungan dengan Bang Riswan. Semua pakaiannya di lemari baju kuturunkan dan kuperiksa satu-persatu. Bufet kecil, laci dipan tempat tidur, seluruh sudut ruangan, tetapi tidak aku temukan satu petunjuk pun.

Bang Riswan memang seperti sengaja menyembunyikan masa lalunya. Tidak pernah bercerita apa pun. Setiap kali kutanyakan atau meminta dia untuk menceritakan, suamiku selalu bilang, "Masa lalu bukan untuk dikenang ataupun di ingat-ingat kembali." Sembari tersenyum, walaupun aku tahu itu sebuah senyum keterpaksaan. 

Bang Riswan seperti menyimpan kepedihan, kisah pahit yang berhubungan dengan masa lalunya. 

"Mata itu ada di depan, Neng, bukan di belakang" Dia pun bilang seperti itu, dan entah apa maksudnya. Aku pun sebenarnya tidak mempermasalahkan mengapa suamiku ingin menyimpan masa lalunya. Karena terkadang, ada orang yang memang ingin menyimpan rahasia pribadinya tanpa ingin diketahui oleh siapa pun sampai akhir hayatnya, dan tentu saja setiap orang pasti punya alasan tersendiri untuk itu.

Terduduk dengan pandangan kosong ke arah hamparan kebun teh dari depan rumah. 

Kamu ada di mana, Bang? Anak-anak rindu, begitupun aku. Air mata khawatir dan kerinduan perlahan mulai membasahi pipi.

Komen (85)
goodnovel comment avatar
Sarmin Kamil (Sarmin)
seru bangett
goodnovel comment avatar
Hery Supriono
ceritanya menarik sekali
goodnovel comment avatar
sureiza.permata. sari12
cerita nya bagus. sayangnya harus buka kunci Mulu dan susah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status