Selepas Andien masuk ke dalam rumah dengan menyimpan kesal, Maharani mulai ikut berbicara, "Semua butuh waktu, Tante. Mungkin karena Andien masih remaja, jadi lebih mementingkan ego dan emosinya." "Iya, Nak Rani. Mungkin dia sakit hati dengan masa kecilnya dulu.""Sakit hati kenapa, Bu?" Susan bertanya cepat. "Sering kali dulu saat TK dan SD, setiap pulang sekolah atau pun selesai bermain, Andien pulang dalam keadaan menangis.""Kenapa, Bu?" tanya Susan lagi. "Karena sering diejek kawan-kawannya tidak punya ayah.""Ya, Allah," ucap Susan. Mungkin karena saat perpisahan orang tuanya dulu dia besar, jadi tidak ada yang berani membullynya. Berbeda dengan masa kecilnya Andien. "Ditambah lagi, ayahnya tidak pernah datang untuk mengunjunginya. Padahal dia tau alamat tempat tinggal kami. Semakin membuat Andien membenci ayahnya." Terdiam Ratna, matanya berkaca-kaca, karena mengingat kesedihan dan kekecewaan yang dialami putri bungsunya. Perceraiannya dengan Dody, membuat ketiga putra-put
Maharani meminta ijin untuk sedikit menjauh dari Ratna dan Susan, karena ingin menelepon orang tuanya. Dari teras dia menuju ke halaman rumah, dekat tembok pagar pembatas Maharani berdiri di situ. Maharani kemudian mencoba menghubungi sang mami lewat aplikasi hijau. Dia merasa tidak enak hati telah menonaktifkan ponsel selama berhari-hari. Maharani baru ingat, jika kemarin adalah waktunya papih dan mamihnya pulang dari setelah selama ini bertugas di kantor kedutaan besar Indonesia di Swedia. Setelah hampir tiga tahun bertugas di sana. Semakin besar rasa bersalahnya kepada sang mamih. Maharani, yang biasanya selalu ikut kemanapun sang papih ditugaskan, kali ini menolak untuk ikut serta. Dia memilih untuk tetap tinggal di Jakarta. Selain karena ingin mandiri, dia pun sudah punya usaha di kota itu. Dan satu hal yang paling penting baginya, yaitu mencari keberadaan Riswan yang saat itu menghilang bagai ditelan bumi. Dan setelah bertemu, ternyata Riswan sudah punya kehidupannya sendiri,
217Terdengar suara kunci diputar dari dalam, tidak lama pintu kamar terbuka. "Masuk, Kak?"Susan tidak menjawab hanya mengangguk, melangkah masuk mengikuti adik bungsunya satu ibu tersebut dan duduk berdampingan di sisi tempat tidur Andien. Tidak langsung berbicara, Susan mengamati seisi kamar adiknya tersebut. Ada rasa haru menyeruak, setelah 15 tahun, akhirnya dia bisa kembali merasakan rasanya menjadi seorang kakak, dengan adik yang sudah menginjak usia remaja. Bahkan tinggi mereka pun sudah hampir sama. "Kamu rajin sayang, kamarmu terlihat rapih dan bersih," puji Susan memulai pembicaraan."Iya dong, Ka. Kan buat ditempatin sendiri.""Pinter, memang harus gitu sayang. Jika nyaman kan jadi bikin betah di kamar. Daripada pergi keluyuran nggak jelas," ujar Susan, mencoba menasehati. Terucap begitu saja dari mulutnya. "Kakak tinggal di Jakarta 'kan?""Iya.""Masa sih kakak belum pernah keluyuran selama di sana. Di Kota besar kan segala ada, Ka?"Susan langsung terdiam. Apa yang d
218Andien mengusap air matanya. Sejujurnya dia merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam pelukan Susan. Saudara sedarah yang terpisah lama, tetapi ikatan bathin tak akan bisa hilang karena berasal dari rahim yang sama. "Kakak jangan pergi lagi ya? Kita sama-sama tinggal di sini?" ucap Andien dekat telinga Susan. "Iya, adik sayang. Selepas urusan kakak di Jakarta selesai, kakak akan balik lagi ke sini. Semoga rencana kakak untuk menjual apartemen di sana cepat ketemu pembelinya. Jadi bisa buat beli tempat tinggal di sini?"Andien menarik wajahnya dari pelukan Susan. Berucap seperti ingin meyakinkan. "Masya Allah, berarti kakak kaya, ya, sampai punya apartemen segala. Kerjaan Kakak enak berarti di Jakarta. Memangnya kakak kerja apa di sana? Pasti gajinya besar?"Susan terdiam, menyesal dia sudah kelepasan bicara. Dan sekarang dia bingung harus menjawab apa. Apakah dia mesti berbohong?Di saat Susan sedang gamang, terdengar pintu kamar diketuk dari luar. "San, ini aku Rani."Susan
219Dody mendekati mereka berdua. Susan mulai terlihat panik, tidak menyangka bisa bertemu di tempat ini, walaupun memang tahu jika ayah akan datang. Namun pertemuan yang tidak disangka seperti ini tetap mengejutkannya, Dan sudah tidak mungkin lagi untuk menghindari. "Itu siapa, Ka? Kakak kenal?" tanya Andien sambil memperhatikan Dody yang sudah dekat. Susan bingung untuk menjawab, dia masih belum siap untuk memberitahu di tempat umum seperti ini. "Kamu sengaja ingin bertemu, San? Kok kemarin nggak bilang, untung bisa ketemu di sini."Dody langsung saja bicara, masih belum menyadari keberadaan Andien yang juga putrinya, karena memang dia tidak mengenalinya. Susan pun tidak menjawab pertanyaan sang ayah, dia benar-benar dalam keadaan dilema. "Kak, ditanya itu?" bisik Andien, sembari mencolek pinggang Susan."Eh, iya." Susan masih tetap rikuh, merasa serba salah. Dia takut akan terjadi di tempat-tempat seramai ini. jika di rumah nanti, hanya berbeda keluarganya yang tahu. kebencian
Bus berlogo maskapai penerbangan itu sampai terdengar berdecit karena melakukan pengereman mendadak, tetapi kecepatan laju kendaraan sulit untuk dihentikan secara cepat, kemunculan Andien yang tiba-tiba menyulitkan sang sopir untuk mengantisipasi.Semua orang yang ikut melihat dan menyaksikan berteriak panik dan ketakutan. Suara jerit terutama wanita terdengar membahana, tidak terkecuali juga Susan dan Andien. Entah dorongan dari mana, atau mungkin naluri seorang ayah, naluri untuk melindungi sudah muncul di dalam diri Dody, dia langsung berlari cepat ke arah Andien. Susan hanya berteriak tanpa mampu bergerak, saat bus maskapai itu akhirnya menabrak dengan menimbulkan suara yang sangat keras. Brraaakkk! "Andiennn!"Setelah jarak beberapa meter bus itu akhirnya berhenti, tetapi semua yang menyaksikan melihat, sesosok tubuh terpental jauh karena saking kerasnya benturan yang terjadi. Sesosok tubuh itu terlempar hingga menghantam aspal dan jatuh berguling-guling, dan langsung tak ber
Maharani masih di ruang tunggu pesawat, saat terjadinya kecelakaan yang terjadi pada Dody karena ingin menyelamatkan putrinya Andien. Ruangannya yang berada di dalam gedung bandara membuatnya tidak mengetahui peristiwa tersebut. Dia melihat jam tangannya, masih puluhan menit lagi pesawat yang akan membawanya kembali baru mulai take off. Maharani mencoba untuk beristirahat, menyandarkan diri pada soffa saat terdengar bunyi handphonenya. Sang Mamah ternyata yang menghubungi lewat Video call. Dia menerima, dan langsung terlihat wajah sang mamah, Tante Else. "Kamu di mana, Ran, sudah di bandara kan?"Langsung saja bicara inti tanpa basa-basi. "Iya, Mah, ini sedang di ruang tunggu. Beberapa menit lagi berangkat kok.""Coba Mamah lihat?""Lihat apa, Mah?""Iya lihat, mamah kepengen tau kamu benar tidak sedang di ruang tunggu?""Masya Allah, masa sih Rani bohong, Mah?""Mamah mau lihat pokoknya?""Iya, Mah, iya."Maharani segera mengedarkan layar handphone-nya ke sekeliling ruang tunggu
Maharani tiba di kamarnya. Dia tidak langsung mengikuti keinginan sang mamah untuk berganti baju. Maharani malah kembali merebahkan tubuhnya di ranjang tempat tidurnya dengan kedua kaki berjuntai ke bawah. Kelamaan tidur siang malah membuat tubuhnya terasa lemas, hal yang bukan menjadi kebiasaannya. Maharani kembali memejamkan matanya, seperti sedang menikmati relaksasi, mendadak teringat Susan dan dia langsung duduk kemudian bangun dari tempat tidurnya, menuju meja rias untuk mengambil handphone-nya.Dia melihat chat-nya siang tadi masih belum dibaca oleh Susan. Jujur saja, berita meninggalnya Dody di depan bandara karena kecelakaan membuatnya penasaran. Karena Susan hanya memberitahunya seperti itu, tidak menjelaskan secara terperinci. Maharani mulai mencoba menghubungi Susan via telpon, masih belum terhubung hingga panggilan berhenti. Lalu dia mencoba lagi, tidak tenang dirinya jika belum berbicara langsung dengan sahabatnya itu. Dan akhirnya Susan menerima panggilan itu. "Assal