Share

3. Cibiran dan Tagihan

Bab 3

Pagi itu Kirana sudah bangun lebih pagi dari biasanya hanya untuk menghentikan tukang sayur gerobak yang kerap melintas depan rumahnya. Dia hanya ingin membeli satu ikat sayur bayam yang masih bisa masuk di kantongnya. 

Kirana lalu memasak telur dadar dan sayur bayam untuk dirinya dan Bagas. Gadis itu hanya bisa memasak makanan yang sederhana. Dia lalu menyiapkan ke atas meja. 

"Tumben masak," kata Bagas seraya duduk di kursi makan.

Kirana hanya terdiam seraya menatap ke arah telur dadak yang dia acak-acak sedari tadi.

"Mana surat lamaran yang udah kamu buat? Daripada kamu jadi pengangguran di rumah. Enggak dapat duit juga, kan? Yang ada malah buang-buang duit!" ketus Bagas.

"Kak Bagas!" bentak Kirana tidak terima.

Tangannya mencengkeram sendok dengan geram. Kakaknya malah tertawa melihat kegeraman di wajah Kirana.

"Berapa kali aku harus bilang kalau adik kamu ini bukan pengangguran! Tapi artis! Bintang FTV! Sadar nggak, sih? Seharusnya mikirin juga harga diri aku yang sebagai artis!"

"Artis?" Bagas bangkit dari kursi dan mulai memberikan cibirannya yang khas.

"Kak Bagas malah lupa terakhir kali kamu syuting itu kapan. Coba kamu ingat ingat deh terakhir kali tandatanganin kontrak sinetron itu kapan. Terakhir kali nongol di televisi itu juga kapan?"

Kirana makin sakit hati mendengar sindiran adiknya. Tapi, rasa malu jauh lebih membuncah. Membuatnya dadanya terasa sesak. 

"Bisa nggak sih Kak Bagas ngehargain keputusan aku? Kenapa sih Kakak terus ngatain gini?"

"Kak Bagas cuma bicara fakta!"

Kirana merasa getir. Tapi ucapan kakaknya benar. Semua yang dikatakan kakaknya tadi memang kenyataan. Terakhir kali dirinya mendapat peran di salah satu sinetron memang sudah lama. Tepatnya sekitar delapan bulan yang lalu. Setelah itu dirinya sepi tawaran. Bahkan saat Kirana mencoba peruntungan untuk mengikuti kasting iklan, ia juga gagal. Karena itulah gadis itu jatuh bangkrut. Uang tabungannya tidak sebanding dengan biaya hidupnya.

"Kamu sadar nggak sih siapa kamu? Kamu tuh bukan artis sekelas Nikita Wilky, apalagi Dian Sastro. Kamu itu main di sinetron cuma jadi figuran! Kerjaan nggak punya, bisnis juga nggak ada. Mau sampai kapan kamu hidup kayak gini?" tanya Bagas. 

Kirana merasa mendapat serangan telak dari sang kakak yang membuat tubuhnya menegang. Gadis itu kehabisan kata kata untuk menjawab. Pipinya seperti ditampar bolak balik.  Kirana akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Rintik hujan  mulai membasahi bumi. 

"Lagian waktu itu kamu kan bisa kerja kantoran. Ya meskipun waktu itu ada orang dalam berkat koneksi! Coba kamu lihat persyaratan ngelamar kerja jadi staf atau bendahara di perusahaan besar. Minimal sarjana, kan? Tapi malah kamu buang gitu aja ijazah kamu demi jadi artis! Padahal nggak banyak orang yang bisa dapat keberuntungan kayak kamu waktu itu."

"Kak Bagas nggak bakalan ngerti," kata Kirana sambil menoleh pada kakaknya dengan tatapan tajam. 

Perkataan adiknya itu sangat menusuk jantung. Ia menarik napas dengan berat. "Kamu nggak bakalan paham, Kak."

"Justru Kak Bagas sangat paham sama gaya hidup kamu! Kamu cuma perempuan kelas bawah yang gengsinya setinggi langit! Padahal kalau dihitung-hitung semenjak kamu maksain diri jadi artis, keuangan kamu justru lebih besar pasak daripada tiang! Tapi kamu tetap maksain diri. Sampai-sampai rela utang sana sini cuma demi gengsi biar dilihat glamor sama teman-teman, ya kan?!"

"Kak Bagas!"

Kirana mulai emosi sekarang. Dia sampai mengipasi wajahnya dengan telapak tangan. Meskipun hujan di luar membuat  kesejukan, tapi akibat penghakiman yang dilakukan kakaknya, hati dan wajahnya terasa panas. Namun, sang kakak kelihatannya belum lelah mengomel. Bagas menatap wajah adiknya dengan sorot tajam setajam silet.

Kirana menahan diri untuk tidak melempar kakaknya dengan sepasang sepatu hak tinggi yang ada di rak sepatu tepat di sebelahnya. Ia masih mencoba sabar.

"Kamu tahu, Na?" tanya Bagas sambil mengangkat kedua alisnya.

"Masih belum kelar juga ngomelnya? Udah sana pergi kerja!" sahut Kirana dengan wajah sebal.

Bagas tidak memedulikan sindiran adiknya.

"Aslinya kamu tuh nggak ada keren-kerennya bergaya di depan layar hape kamu itu! Cuma dunia palsu begitu. Udah tahu nggak ada duit, tapi masih maksain beli cuma buat upload foto minuman dan makanan mahal! Tiap bulan nekat beli tas branded! Dikit-dikit gesek, dikit-dikit upload! Apa sih yang kamu dapatin dari semua itu? Penghargaan dari orang lain? Nggak ada yang hargai kamu, kan? Paling kamu cuma dapat pujian itu pun cuma basa basi!" cibir Bagas.

"Kok, Kak Bagas ngomongnya begitu sih? Kenapa Kakak jadi menghina aku?" Kelopak mata Kirana terlihat bergetar berusaha membendung tangis. Untung saja ia tidak sampai pingsan.

"Kak Bagas lelah aja lihat gaya hidup kamu yang sok kelas atas itu! Kamu sadar nggak sih? Kamu bukan karyawan kantoran lagi! Kamu sekarang pengangguran! Tawaran sinetron atau jadi model iklan yang selalu kamu tunggu-tunggu itu nggak pernah dan nggak akan datang! Terus tagihan kartu kredit kamu gimana? Jangan bilang kalau ujung-ujungnya Kak Bagas juga yang disuruh bayarin tagihan yang hampir lima belas juta itu! Nggak akan mau Kakak bayarin tagihan kamu!"

Teriakan Bagas membuat Kirana terlonjak. Mata gadis itu terbelalak lebar.

"Hah? Li-lima belas juta?!" tanya Kirana tidak percaya. Suaranya sampai tergagap karena kaget.

"lya. Lima belas juta! Gila kamu!" dengus Bagas sampai membuang napas kasar lalu mengempaskan tubuhnya di sofa dengan bibir cemberut. Dia hendak pergi bekerja tetapi masih terhalang hujan karena jas hujan miliknya sudah sobek.

Bagas masih menatap Kirana dengan deru napas naik turun. Gadis itu memilih tidak memedulikan tatapan kakaknya. Dia bergegas meninggalkan sang kakak dan masuk ke kamarnya. Ada yang jauh lebih penting dari sekadar mendengar ocehan kakaknya yang terus membuat sakit di hatinya.

Dalam kamarnya yang dicat warna ungu muda, sepasang mata cokelat nan cantik itu sibuk mencari-cari benda yang dimaksud sang kakak tagi. Ya, Kirana mencari amplop berisi tagihan kartu kredit yang ternyata memang sudah datang. Tagihan yang dikirimkan salah satu bank swasta di Indonesia itu diletakan di atas kasurnya. Segelnya sudah terbuka. Kirana yakin kalau Bagas pasti sudah membukanya.

Kirana langsung gugup membuka amplop tersebut dengan tangan gemetar. Matanya bertambah besar saat melihat nominal tagihannya, Ternyata memang mendekati angka lima belas juta. Sepasang kaki ramping miliknya langsung terasa lemas. la duduk di tepian tempat tidur sambil terbata pelan.

"Astaga, lima belas juta."

Suara petir yang mengiringi hujan deras di luar rumah Kirana seolah menjadi backsong sempurna untuk harinya yang makin suram. Gadis itu sudah tak dapat lagi membendung air matanya. Dia menangis seraya menutupi wajahnya dengan bantal agar Bagas tidak mendengar suara tangisannya.

*****

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status