Share

Rahasia dan Kebohongan

 

 

Bapak tertatih menghampiri kami yang sudah duduk di atas kursi tua di rumah mereka. Mas Vano dengan sigap membantu Bapak berjalan dan didudukkannya tubuh Bapak tepat di sebelahku. Aku mencium punggung tangan Bapak takzim. Setiap ingin berbicara dengan Bapak ataupun Ibu saat melakukan panggilan video dengan Mas Tomi, kakak lelakiku itu selalu menolak dengan alasan sedang sibuk di bengkel motor miliknya. Ya, Mas Tomi bekerja di sebuah bengkel motor yang terletak di depan rumahnya. Kebetulan rumah Mas Tomi dan Mbak Astri, istrinya, terletak tepat di samping jalan raya. Membuat usaha mereka terbilang cukup maju, setidaknya itu yang kudengar dari mulut Mas Tomi.

 

 

 

"Bapak sakit?" tanyaku hati-hati, melihat raut sedih di wajah Bapak membuat hatiku terasa lebih nyeri daripada cibiran para tetangga.

 

 

"Sudah dua tahun ini Bapak kamu selalu mengeluh kakinya sakit saat dibuat berjalan, Hal," sahut Ibu yang berjalan menghampiri kami dengan membawa dua gelas teh hangat di atas nampan.

 

 

 

"Kenapa Mas Tomi nggak bilang ke Halimah, Bu?" 

 

 

 

"Ibu yang melarang, Tomi bilang kamu sedang kesusahan karena habis kecelakaan."

 

 

Mas Vano melihat ke arahku, aku tau, dia sama bingungnya dengan apa yang kurasakan. Kami baik-baik saja, bahkan usaha Cafe Mas Vano berjalan lancar. Dua hari lalu kita baru membuka cabang di kota ini. Dan mungkin rencananya, kami akan merenovasi rumah Ibu untuk hunian kami mengingat baru sekarang aku dan Mas Vano bisa mengunjungi Ibu dan Bapak di kampung.

 

 

 

"Mas Tomi bilang begitu, Bu?" selidik Mas Vano.

 

 

Ibu mengangguk mantap, "Itu sebabnya Ibu tidak ingin kamu terbebani dengan penyakit Bapak, Hal. Alhamdulillah, uang tabungan Ibu dan Bapak selama menggarap sawah cukup untuk membawa Bapak kamu berobat."

 

 

 

Penuturan Ibu barusan menjelma tamparan keras di pipiku. Bukankah sudah kukatakan pada Mbak Astri, jika Ibu dan Bapak kularang pergi lagi ke sawah, mengingat uang kiriman dari Mas Vano terbilang cukup besar, lima juta rupiah untuk sebulan. Tapi kenapa justru ucapan Ibu berbanding terbalik dengan apa yang Mas Tomi katakan padaku. 

 

 

 

Dia selalu meminta uang jatah Bapak dan Ibu sebelum waktunya dengan alasan Ibu dan Bapak selalu minta makan yang enak-enak. Minta beli inilah, itulah. Dan bodohnya, aku percaya saja dengan ucapan kakak lelakiku. Aku akan mengirim berapa saja yang Mas Tomi minta dengan dalih Bapak dan Ibu, itu kelemahanku.

 

 

 

"Ibu dan Bapak masih menggarap sawah tetangga?" tanya Mas Vano lembut. 

 

 

Ibu mengangguk, dia mengusap pipiku lembut hingga air matanya mengalir deras, "Ibu senang sekali kamu pulang, Nak. Ibu rindu, setiap kali meminta Tomi untuk menghubungimu, dia selalu menolak dengan mengatakan jika kamu sibuk. Apa kamu juga bekerja? Orang-orang bilang Vano bekerja di Cafe? Iya?" cecar Ibu dengan menatap sendu ke arahku. "Ibu tidak mempermasalahkan apa pekerjaan suamimu, selagi itu halal, kamu wajib menghargainya."

 

 

 

Aku memeluk tubuh Ibu yang terlihat semakin kurus. Lingkaran matanya semakin cekung sementara pipinya sudah semakin tirus. Ah, apa yang sudah Mas Tomi sembunyikan dariku?

 

 

 

"Biarkan mereka makan dulu, Bu. Kasihan perjalanan jauh," ujar Bapak. Aku melepaskan pelukan Ibu, kami berjalan beriringan menuju dapur.

 

 

Kubuka tudung saji di atas meja. Betapa terkejutnya aku mendapati satu bakul nasi yang sudah dingin dengan sayur daun katuk yang kuperkirakan hasil petikan ibu di depan rumah. Di sebelah panci yang berisi sayur, terdapat satu piring berisi irisan tempe yang sangat tipis. Hatiku terasa diremas, remuk, sakit. Di kota, aku bisa makan makanan enak, tapi disini, aku bahkan tidak tau kepedihan hidup Bapak dan Ibu sepeninggalku.

 

 

 

Mas Vano menggenggam tanganku dan mengangguk pelan. Dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan tenang. Senyuman tergambar di wajah Ibu saat kami begitu lahap memakan masakannya. Bahkan Mas Vano berkali-kali melayangkan pujian atas kenikmatan masakan Ibu. Mataku sudah berembun, kubuang muka untuk mengusap air mata yang mulai mengalir.

 

 

 

Selesai makan, Bapak dan Mas Vano berbincang-bincang di ruang tamu. Sementara aku dan Ibu berada di kamar. Kupijat kaki Ibu lembut, "Jangan bilang pada Mas Tomi jika kita berada disini, Bu. Aku ingin membuat kejutan untuknya," ucapku hati-hati. Takut jika Ibu curiga dengan apa yang akan kulakukan. Bagaimanapun, aku tidak ingin ibu terbebani dengan pikiran tentang uang kiriman yang selama ini aku berikan. Aku takut Ibu terluka dan kecewa.

 

 

"Baiklah, sekarang kamu ajak suamimu istirahat. Kalian pasti lelah."

 

 

Aku mengangguk dan meninggalkan ibu di dalam kamar sendirian. Kulihat Bapak sudah dibantu Mas Vano untuk berdiri, mungkin ingin rebahan di kamar. Benar saja, setelah masuk ke dalam kamar Bapak, Mas Vano keluar dan duduk bersamaku di ruang tamu.

 

 

 

"Besok kita ke rumah Mas Tomi, Dek."

 

 

Aku mengangguk, wajah Mas Vano berubah padam saat menyebut nama Mas Tomi. Aku tau, suamiku pasti sangat marah karena merasa dibodohi selama ini.

 

 

 

 

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Wanda Natasya
lanjutkan bksssssssssssssssss
goodnovel comment avatar
Vermie Hans
mungkin karena ujuk2an istrinya di Tomi itu makanya uangnya di korupsi..
goodnovel comment avatar
Anna Rprincess
sedihnya, dalam fikiran selama berpergian kira ibubapa baik baik saja ternyata keluarga kandung sendiri khianat, harapkan pagar. pagar makan padi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status