Share

Menemui Tomi

 

 

 

"Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" 

 

 

Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor.

 

 

"Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!"

 

 

"Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!" 

 

 

Setelah mengatakan demikian, aku berpamitan pada ibu-ibu yang lain untuk pulang lebih dulu karena bahan belanjaan untuk sarapan pagi ini sudah lengkap.

 

 

"Halunya kebangetan! Gitu tuh kalau udah lama merantau ke kota tapi nggak kaya-kaya, suka nggak jelas kalau ngomong!" seloroh Bu Eni. Telingaku samar-samar menangkap cibriannya sekalipun langkahku sudah semakin menjauh.

 

 

Kuhela nafas panjang, menghadapi orang seperti Bu Eni memang harus dengan kesabaran yang penuh. Jika tidak, tidak jarang adu mulut akan sering terjadi. 

 

 

Setelah menyiapkan sarapan, aku dan Mas Vano berencana pergi ke rumah Mas Tomi. Ternyata Mas Tomi dan Mbak Astri hampir tidak pernah kesini, bahkan seharian kemarin mereka tidak mengunjungi rumah Bapak dan Ibu, padahal mereka bilang, setiap pagi Mbak Astri selalu datang untuk mengantarkan sarapan pagi. Nyatanya, Ibu memasak sendiri dengan bantuanku hari ini, tidak ada batang hidung Mbak Astri padahal hari sudah beranjak pukul tujuh pagi.

 

 

"Ibu sama Bapak ikut aja, sekalian kita jalan-jalan ya," ajakku.

 

 

Bapak dan Ibu saling berpandangan, kutangkap netra Bapak berembun mendengar ajakanku. Ibu menganggukkan kepalanya tanda setuju, kemudian disusul anggukan kepala Bapak dengan satu tangan mengusap sudut matanya. Ah, banyak sekali hal yang harus kucari tau sepertinya.

 

 

"Tapi ... apa kalian nggak malu ngajak Bapak dan Ibu jalan-jalan, Nak?" tanya Bapak pada Mas Vano. 

 

 

Suamiku tersenyum tipis dan merangkul pundak Bapak sambil berucap, "Kenapa harus malu, Pak? Bapak dan Ibu adalah orang tua kami, tanpa kalian, saya tidak akan memiliki istri sebaik Halimah," tutur Mas Vano. 

 

 

Bapak memeluk tubuh Mas Vano dengan bahu yang bergetar. Ibu sudah menangis sesenggukan di belakang mereka. Sementara aku, hatiku semakin nyeri mendengar pertanyaan Bapak. 

 

 

"Kenapa Bapak bilang begitu? Halimah tidak pernah malu pergi keluar bersama Bapak dan Ibu."

 

 

"Bukan begitu, Hal. Bapak dan Ibu takut kamu malu, Astri selalu menolak jika Tomi ingin mengajak Bapak dan Ibu jalan-jalan. Dia bilang malu pergi membawa kami yang kampungan ini."

 

 

Rasa nyeri kembali menjalar di ulu hati. Sebegitu tega Mbak Astri mengatakan hal demikian di depan Bapak dan Ibu. Padahal dulu, saat Mbak Astri masih tinggal satu atap dengan Ibu, Ibu selalu memperlakukan wanita itu dengan baik. Sangat baik malah. Aku saksinya.

 

 

"Ya sudah, nanti kita ajak sekalian Mbak Astri sama Mas Tomi. Kita jalan-jalan bersama. Bapak mau ganti baju dulu atau pakai ini aja?" tanyaku.

 

 

"Ah, tunggu, Pak. Vano hampir lupa sama oleh-oleh buat Bapak dan Ibu." Mas Vano berlalu menuju kamar, dan kembali dengan membawa dua kantong plastik berisi entah.

 

 

Bapak menerima pemberian Mas Vano dan membukanya saat itu juga. Sebuah kemeja dan celana hitam kini berada di genggaman Bapak. Sama halnya dengan Ibu, sebuah gamis sederhana namun harganya bukan kaleng-kaleng, sudah beralih ke tangan Ibu. Ah, aku bahkan tidak memikirkan oleh-oleh untuk kedua orang tuaku saking bahagianya hendak pulang hingga lupa pada yang namanya oleh-oleh. 

 

 

"Yuk, Bapak sama Ibu ganti baju dulu. Kita tunggu di depan ya."

 

 

Aku berterima kasih pada Mas Vano, suamiku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. 

 

 

"Masya Allah, cantik sekali, Bu," pujiku, membuat Ibu tersipu. Begitupun Bapak, lelaki paruh baya itu nampak kekar memakai kemeja warna abu.

 

 

Mas Vano mengeluarkan mobil dari halaman. Kulihat Bu Eni sudah duduk di depan rumah Mbak Gina, bersama Bu Diah.

 

 

"Dih, mobil rentalan aja bangga, dasar banyak gaya!" sindir Bu Eni. Ibu menundukkan kepalanya dan masuk ke dalam mobil dengan mata yang berkaca-kaca. Kulihat ke arah Bu Eni, wanita paruh baya itu malah membuang muka dan mengipas-ngipaskan jilbab ke wajahnya.

 

 

_______________________

 

 

"Wah, lagi renovasi rumah ya, Mas?" Mas Tomi yang hendak membuka bengkel terkejut mendengar suaraku.

 

 

"Ha ... Halimah?" ujar Mas Tomi gugup.

 

 

Entah mengapa, aku merasa ada yang tidak beres saat gembok penutup bengkel terjatuh dari tangan Mas Tomi. Kakak lelakiku yang dulu begitu mencintaiku terlihat menggaruk kepala belakangnya dengan gelisah. Aku tau gestur tubuhnya mengatakan sedang ada sesuatu yang dia takutkan ketika kedatanganku.

 

 

"Mas?" Aku menepuk pundak Mas Tomi, lelaki itu sedikit berjingkat dan mengusap wajahnya kasar. Lalu membuka pagar rumahnya yang kebetulan terletak tepat di samping kios bengkel miliknya.

 

 

"Sama siapa? Vano doang?" tanya Mas Tomi celingukan ketika mobil Mas Vano masuk ke dalam halaman rumahnya.

 

 

"Enggak, sama Bapak dan Ibu."

 

 

Langkah kaki Mas Tomi tiba-tiba terhenti. Dia menatap ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan kali ini. Aku bergegas membuka pintu mobil dan membantu Bapak kemudian Ibu untuk keluar dari sana. Mas Tomi hanya mematung, sejenak kulihat dia mengusap matanya ketika mendapati jika Bapak dan Ibu begitu rapi pagi ini. Entah apa yang ada dalam pikiran Mas Tomi.

 

 

Mas Tomi mencium punggung tangan Bapak dan Ibu bergantian. Lalu menjabat tangan Mas Vano dan memeluk tubuhku lembut, pelukan yang sama seperti ketika aku berusia lima tahun. Pelukan penuh cinta dari seorang kakak. 

 

 

 

"Nggak disuruh masuk nih?" godaku.

 

 

 

Mas Tomi tertawa kecil, "Ayo kita masuk, aku yakin pasti Astri terkejut dengan kedatangan kalian." Aku menangkap kejujuran pada suara Mas Vano. Mbak Astri pasti terkejut dengan kedatangan kami kesini.

 

 

 

Ceklek.

 

 

"Loh, kenapa balik lagi, Mas? Inget ya, kamu nggak boleh malas-malasan di rumah, jagain tuh bengkel, lagipula uang dari adik kamu ...."

 

 

 

Mulut Mbak Astri seketika mengatup saat melihatku berjalan di belakang suaminya. Disusul Mas Vano dan juga Bapak serta Ibu.

 

 

"Uang dariku kenapa, Mbak? Kurang ya selama ini untuk kebutuhan Ibu dan Bapak? Kenapa Mbak Astri nggak bilang?" cecarku berpura-pura tidak tau apa yang sedang terjadi. Nyatanya, aku tau jika uang itu tidak pernah sampai pada kedua orang tuaku.

 

 

"Hal ... Halimah? Kapan kamu pulang, kok nggak ngasih kabar dulu sih?" ujar Mbak Astri kaget. Dia memelukku sebentar, kemudian beralih mencium punggung tangan Bapak dan Ibu.

 

 

"Sengaja, biar jadi kejutan. Gimana, terkejut nggak?" sindirku dengan senyuman tipis, berusaha meredam emosi di dalam jiwa, melihat kepura-puraan yang Mbak Astri berikan. 

 

 

"Terkejut dong, yuk, silahkan duduk!"

 

 

Aku mengamati seisi rumah Mas Tomi. Rumah yang dulunya sangat kecil kini bisa berubah menjadi rumah yang lebih indah. Aku bahagia Mas Tomi bisa membangun rumah untuk keluarganya, meskipun aku belum tau, uang siapa yang Mas Tomi gunakan untuk renovasi rumahnya. Rasanya mustahil sekali jika hanya mengandalkan hasil dari bengkel.

 

 

"Wah, gamis Ibu bagus sekali. Tapi ini sangat nggak cocok sama Ibu, mending buatku saja ya, Bu. Ini harganya mahal loh, ya nggak Hal, ini cocoknya di badan aku kan? Secara, Ibu itu sudah tua!" ujar Mbak Astri kepadaku. Jika dulu, aku menganggap ucapannya adalah hal yang wajar mengingat Mbak Astri memang suka ceplas-ceplos, tapi entah, mengapa kini aku begitu terluka dengan ucapannya.

 

 

"Enggak kok, gamis itu cocok untuk Ibu."

 

 

Kulihat Mbak Astri mencebik dan membuang muka. Mas Tomi menepuk lengan istrinya dan meminta Mbak Astri untuk membuatkan kami minuman.

 

 

"Kapan kamu datang, Dek?" Mas Tomi melihat ke arah suamiku.

 

 

"Kemarin, Mas. Mas dan Mbak Astri apa kabar?"

 

 

 

"Alhamdulillah, kami baik."

 

 

Tidak lama kemudian Mbak Astri datang dengan membawa beberapa gelas berisi air teh di atas nampan. 

 

 

"Sudah lama proses renovasinya?" tanyaku basa-basi. Bapak dan Ibu sejak tadi hanya diam. Mereka bahkan seolah tidak leluasa di rumah anak lelakinya.

 

 

Mbak Astri dan Mas Tomi saling berpandangan, "Baru tiga tahun ini," jawab Mas Tomi.

 

 

"Baru setahun ini, Hal!" sahut Mbak Astri yang berbanding terbalik dengan ucapan Mas Tomi. Lagi, mereka saling berpandangan dan kemudian membuang muka masing-masing.

 

 

"Kenapa nggak kompak jawabnya, kalian gugup?"

 

 

Mas Tomi dan Mbak Astri saling menggeleng. 

 

 

"Kemana Tirta, Tom? Apa sudah berangkat sekolah?" Ibu bertanya tentang cucu satu-satunya dari keluarga kami.

 

 

"Su ... sudah, Bu. Tadi Tomi yang mengantar."

 

 

Lama, suasana mendadak hening tepat setelah Ibu bertanya tentang Tirta. Cucu pertama bagi Ibu dan Bapak. Betapa aku tahu mereka begitu mencintai Tirta meskipun bukan darah daging Mas Tomi. Mbak Astri adalah seorang janda dengan satu anak. Suaminya pergi karena menikah lagi. Dengan lapang dada Ibu menerima Mbak Astri sebagai menantu meskipun kalimat-kalimat sumbang keluar dari mulut para tetangga. Bagi orang kampung, entah mengapa menikahi janda seolah menjadi hal yang begitu buruk.

 

 

 

"Kedatangan kami kesini ingin meluruskan sesuatu, Mas," ujar Mas Vano memecah keheningan.

 

 

Dadaku berdetak sangat cepat, kulihat Mbak Astri duduk dengan gelisah, terbukti dari silangan kaki yang berubah-ubah.

 

 

 

"Maaf, jika harus mengatakan ini, tapi ... apa yang kiriman dari kami selama ini tidak pernah sampai pada Bapak dan Ibu?" tanya Mas Vano hati-hati. Aku menggigit bibir bawah tatkala netra Bapak dan Ibu menatap ke arah suamiku. Kening mereka saling bertaut, mungkin bingung dengan maksut ucapan menantunya itu.

 

 

"Apa maksudmu, Van, membahas uang di depan orang tua? Apa kamu ingin terlihat lebih hebat dari suamiku, hah?!" teriak Mbak Astri lantang. Kedua tangannya berkacak pinggang dengan menatap tajam ke arah kami.

 

 

"Bukan begitu maksut saya, Mbak ...."

 

 

"Halah, banyak bacot kamu! Aku tahu, kamu pasti ingin terlihat begitu dermawan kan di depan Bapak dan Ibu, sedangkan suamiku kamu injak-injak harga dirinya!"

 

 

"Jangan mentang-mentang kamu dari kota lalu aku takut padamu, salah besar! Lagipula, meskipun hidup di kota, Halimah juga tidak kunjung kaya, lihat kami, meskipun tidak merantau, kami berhasil merenovasi rumah. Lalu apa maksutmu mengatakan tentang uang kiriman?"

 

 

"Uang kiriman kalian selalu sampai ke tangan Bapak dan Ibu dengan berupa bahan pokok. Lalu uang mana yang kamu maksut? Jangan menuduh seolah-olah kami memakan hak mereka!" ujar Mbak Astri menggebu-gebu. Dia seolah tidak mengijinkan Mas Vano membuka mulut.

 

 

Tiba-tiba Mbak Astri menangis histeris, membuat Ibu memegang lengan Mas Vano, "Sudah, Nak. Ibu tidak suka kalian bertengkar hanya karena masalah uang. Lagipula apa yang Mbakmu katakan benar. Tiap bulan Ibu dapat kiriman sembako."

 

 

"Tapi, Bu ... mana mungkin uang lima juta hanya dapat sembako? Bahkan tempo hari Mbak Astri bilang Ibu minta kalung? Mana, kemarin saat Ibu lepas jilbab di kamar, Halimah tidak menemukan kalung di leher Ibu," seruku memendam emosi. Aku yakin, Mbak Astri berusaha playing victim dengan berpura-pura menangis.

 

 

 

"Li ... Lima juta? Kalung ...?

 

 

 

Komen (12)
goodnovel comment avatar
A Arman Ariyono
gemes bacanya
goodnovel comment avatar
Faizal Lampung
mantap ceritanya, menarik dan perlu dilanjutkan
goodnovel comment avatar
Titin Pangaribuan
kebiasaan dikampung suks gosip
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status