***Sehari setelah kedatangan Tomi ke rumah Anita ....|Bisa kita bertemu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu! Sea|Anita mengela napas kasar. Dia mengurut keningnya seraya berpikir darimana Sea bisa mendapatkan nomor ponsel miliknya padahal selama ini keduanya tidak terlalu dekat.|Aku sibuk!| Balas Anita sekenanya. Dia merasa enggan bertatap muka dengan wanita yang sudah jelas-jelas mengibarkan bendera perang.|Aku tidak akan berbuat macam-macam, hanya ingin meminta maaf secara baik-baik di depanmu. Itu saja|Anita berpikir sejenak, setelah apa yang dia katakan pada Tomi kemarin, tidak mungkin jika Sea masih berani bertindak konyol.|Baiklah. Katakan dimana kita akan bertemu||Cafe Andalussie, pukul 11 siang aku menunggumu|Anita meletakkan ponselnya tanpa berniat membalas lagi pesan Sea. Sejak beberapa hari terakhir Bagas tidak lagi berkunjung ke rumahnya. Anita mencoba memahami karena ked
***"Apa Pakde mengancam kamu agar mau memaafkan Sea, Nit? Cepat katakan! Aku tidak akan memaafkan orang-orang yang sudah berbuat dzolim padamu!"Kilat kebencian terpancar di kedua mata Bagas. Laki-laki menatap luruh ke arah Anita sambil sesekali mengepalkan kedua tangannya."Sebegitu inginnya kah keluargamu melindungi Sea atas semua yang sudah ia lakukan terhadapku, Mas?"Lidah Bagas kelu. Menjelaskan semua pada Anita sama saja dengan menggores pisau tajam di hati wanitanya itu. Teringat bagaimana saat Vano begitu membela Sea, berharap Anita dengan hatinya yang lapang mau memaafkan Sea dan tidak memperkarakan semua yang sudah terjadi. Atau bagaimana sikap yang Halimah tunjukkan, seolah-olah Sea adalah orang asing yang belum benar-benar pantas mendapat perlakuan khusus dari Bagas, putranya."Aku memahami posisiku dengan baik, Mas. Sea adalah keponakan Ayah dan Ibu, apalagi Pakde Tomi juga sering sekali ikut andil dalam menyelesa
*** Sea melirik tajam ke arah dimana Anita yang terlihat duduk dengan begitu tenang. Satu kakinya bertumpu di paha yang lain membuat sikap Anita begitu menyebalkan di mata Sea. Bukan lagi Anita penakut yang dulu ada, tapi sosok Anita dengan segala kepalsuan karena mencoba mengelabui lawan dengan memperlihatkan dirinya yang tegar dan tidak terkalahkan. "Mau minum apa? Biar aku yang traktir kali ini," sahut Sea seolah tidak peduli dengan ucapan Anita barusan. Dia melambaikan tangan memanggil salah satu pelayan Cafe dan memesan dua gelas jus alpukat dengan beberapa camilan ringan untuk menemani obrolan keduanya. Anita tetap bungkam, bahkan untuk mengatur semua pesanan mereka adalah Sea. Dia memutar bola mata malas melihat sikap Sea yang sok akrab setelah berhasil membuat Anita malu bukan kepalang. "Bukankah itu wanita yang ada di video viral? Astaga, padahal dia cantik, tapi murahan!" "Benarkah? Coba ambil fotonya dan posting di akun sosial media kamu!" "Coba lihat, dia sama sekali
***Sementara di rumah Anita, Citra berkali-kali mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Mendengar ketukan yang mulai tidak beraturan, Haryati panik dan takut jika ada orang jahat yang mencoba menganggu mereka lagi."Kemana kamu, Nit?" gumam Haryati gelisah. Dia ingin berjalan menuju ruang tamu, tapi kakinya sedikit merasa kesulitan untuk berjalan lebih jauh. Dia berhenti di ambang pintu kamar, kakinya terasa kebas dan terpaksa wanita tua itu kembali ke ranjangnya dengan menahan rasa nyeri yang sangat luar biasa."Anita!" teriak Citra sembari terus menggedor pintu."Citra?" Haryati bermonolog. "Untuk apa lagi dia kesini? Ck, keturunan Guntur memang tidak punya sopan santun!"Haryati mengatur debaran napasnya dengan kembali berbaring. Mendengar suara Citra membuat wanita tua itu sedikit merasa lebih tenang. Setidaknya bukan orang asing yang datang, atau orang-orang menakutkan suruhan Cahyo.Melihat sosok Citra bersandar di pintu rumahnya, Anita segera keluar dari dalam taksi setelah memba
***Haryati mengusap sudut matanya yang berair ketika melihat Anita yang tengah menangis di depan pintu yang tertutup."Sejak kapan Nenek berdiri di sini? Ayo istirahat, maaf kalau Anita sering keluar akhir-akhir ini, Nek." Anita mengamit lengan Haryati dan membawa wanita tua itu untuk duduk di ruang tamu. Dia sedikit paham, mungkin neneknya merasa jenuh berada di dalam kamar seharian tanpa beraktifitas apapun."Mau Nita buatkan teh hangat?""Tidak perlu, duduklah! Ada yang ingin Nenek bicarakan," pinta Haryati lembut. "Di depan ada Citra?"Anita mengangguk. Dia menundukkan kepala tanpa berani menatap Haryati. Entah mengapa, melihat satu-satunya keluarga yang dia punya justru membuat hati Anita ingin menjerit."Sudah kuusir, Nek. Nenek tenang saja," sahut Anita lemah. "Setelah rumah ini terjual, aku pastikan kita hidup tenang, Nek."Haryati menggenggam jemari Anita dengan sedikit gemetar. Usianya yang menjelang senja membuat tubuhnya terasa sangat lemah."Tidak perlu menjual rumah ini
***"Ak ... aku, kenapa Ayah begitu membela Anita? Bukankah wanita itu pantas mendapatkan semua ini? Dia sudah merebut Mas Bagas, Yah ... dia ... dia yang sudah membuat hatiku sakit!" Gagap Sea mencoba menjawa semua ucapan Tomi. "Dia hanyalah orang baru di hidup kita, tapi Ayah bertindak seakan-akan Anita adalah putri kalian. Tidakkah ada yang memahami sebesar apa perasaanku pada Mas Bagas, hah?"Kedua tangan Tomi mengepal kuat. Tatapan tajam tidak beralih sedikitpun dari wajah Sea yang nampak kesulitan bernapas karena berbicara tanpa jeda. Pandu hanya mempu menggelengkan kepala dan menarik tangan Gina agar sedikit menjauh dari sisi Sea."Masuklah ke kamar, Bu. Biar aku dan Ayah yang mengurus semuanya," bisik Pandu. "Jangan perlihatkan rasa kasihan, Sea memang bersalah dan tidak seharusnya kita mendukung kesalahan bukan?"Gina mengangguk dengan lemah. Dia melangkah menjauhi ruang keluarga dan melesat masuk ke dalam kamar dimana menantu dan cucunya tengah berada. Melihat Sang Mertua be
***"Begitu ceritanya, Gas. Pakde benar-benar terima kasih pada Anita, karena hatinya yang begitu luas mau memaafkan Sea."Mendengar cerita yang keluar dari mulut Tomi, Halimah sontak memeluk Anita dengan erat dan berkali-kali mengucapkan rasa terima kasih."Kenapa kamu lakukan ini, Nit? Kamu tau kan kalau aku bisa melawan siapa saja yang mau menggagalkan laporanku pada Sea?" Suara Bagas mendominasi ruang tamu, dia memicingkan mata ke arah Anita yang masih saja sibuk membalas pelukan Halimah."Anita! Jawab aku!"Anita terkikik, dia melepaskan pelukan dan menatap mata Bagas dengan begitu lembut. "Setiap orang pantas mendapatkan kesempatan kedua bukan, Mas?""Tapi tidak untuk Sea! Kamu ingat kan kalau kemarin dia hampir saja membuatmu malu! Jangan terlalu lemah, dia bisa saja menusukmu lagi suatu hari nanti!" Bagas berbicara dengan napas tersengal. Mati-matian dia mencoba melindungi Anita dari Sea, tapi wanitanya justru melepaskan Sea begitu saja dengan alasan yang tidak bisa diterima
***Ponsel Anita berkali-kali bergetar menandakan ada panggilan mendesak. Tidak ingin membuat suasana hangat di rumah Bagas terganggu, dia terpaksa pamit ke luar untuk menerima telepon."Ha ... Halo, Mbak Anita?"Suara asing!Anita tidak mengenal suara asing di seberang sana. Sejenak dia menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat siapa yang meneleponnya kali ini."Citra? Kenapa ponselnya dibawa orang lain?" gumamnya heran."Halo ... halo ....!"Menyadari di seberang sana suara wanita masih mendominasi, Anita memilih untuk bertanya secara langsung mengapa ponsel sepupunya bisa berada di tangan yang lain."Benar ini Mbak Anita? Saya ... saya Bu Haris, tetangga komplek yang rumahnya di ujung sendiri. Mbak Anita mengenal saya?"Anita mengangguk mengingat. "Ah, Bu Haris. Ya, maaf saya hampir cengo karena mendengar suara orang lain pada ponsel Citra. Ngomong-ngomong kenapa ponsel sepupu saya ada di tangan anda? A