***Sementara di rumah Anita, Citra berkali-kali mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Mendengar ketukan yang mulai tidak beraturan, Haryati panik dan takut jika ada orang jahat yang mencoba menganggu mereka lagi."Kemana kamu, Nit?" gumam Haryati gelisah. Dia ingin berjalan menuju ruang tamu, tapi kakinya sedikit merasa kesulitan untuk berjalan lebih jauh. Dia berhenti di ambang pintu kamar, kakinya terasa kebas dan terpaksa wanita tua itu kembali ke ranjangnya dengan menahan rasa nyeri yang sangat luar biasa."Anita!" teriak Citra sembari terus menggedor pintu."Citra?" Haryati bermonolog. "Untuk apa lagi dia kesini? Ck, keturunan Guntur memang tidak punya sopan santun!"Haryati mengatur debaran napasnya dengan kembali berbaring. Mendengar suara Citra membuat wanita tua itu sedikit merasa lebih tenang. Setidaknya bukan orang asing yang datang, atau orang-orang menakutkan suruhan Cahyo.Melihat sosok Citra bersandar di pintu rumahnya, Anita segera keluar dari dalam taksi setelah memba
***Haryati mengusap sudut matanya yang berair ketika melihat Anita yang tengah menangis di depan pintu yang tertutup."Sejak kapan Nenek berdiri di sini? Ayo istirahat, maaf kalau Anita sering keluar akhir-akhir ini, Nek." Anita mengamit lengan Haryati dan membawa wanita tua itu untuk duduk di ruang tamu. Dia sedikit paham, mungkin neneknya merasa jenuh berada di dalam kamar seharian tanpa beraktifitas apapun."Mau Nita buatkan teh hangat?""Tidak perlu, duduklah! Ada yang ingin Nenek bicarakan," pinta Haryati lembut. "Di depan ada Citra?"Anita mengangguk. Dia menundukkan kepala tanpa berani menatap Haryati. Entah mengapa, melihat satu-satunya keluarga yang dia punya justru membuat hati Anita ingin menjerit."Sudah kuusir, Nek. Nenek tenang saja," sahut Anita lemah. "Setelah rumah ini terjual, aku pastikan kita hidup tenang, Nek."Haryati menggenggam jemari Anita dengan sedikit gemetar. Usianya yang menjelang senja membuat tubuhnya terasa sangat lemah."Tidak perlu menjual rumah ini
***"Ak ... aku, kenapa Ayah begitu membela Anita? Bukankah wanita itu pantas mendapatkan semua ini? Dia sudah merebut Mas Bagas, Yah ... dia ... dia yang sudah membuat hatiku sakit!" Gagap Sea mencoba menjawa semua ucapan Tomi. "Dia hanyalah orang baru di hidup kita, tapi Ayah bertindak seakan-akan Anita adalah putri kalian. Tidakkah ada yang memahami sebesar apa perasaanku pada Mas Bagas, hah?"Kedua tangan Tomi mengepal kuat. Tatapan tajam tidak beralih sedikitpun dari wajah Sea yang nampak kesulitan bernapas karena berbicara tanpa jeda. Pandu hanya mempu menggelengkan kepala dan menarik tangan Gina agar sedikit menjauh dari sisi Sea."Masuklah ke kamar, Bu. Biar aku dan Ayah yang mengurus semuanya," bisik Pandu. "Jangan perlihatkan rasa kasihan, Sea memang bersalah dan tidak seharusnya kita mendukung kesalahan bukan?"Gina mengangguk dengan lemah. Dia melangkah menjauhi ruang keluarga dan melesat masuk ke dalam kamar dimana menantu dan cucunya tengah berada. Melihat Sang Mertua be
***"Begitu ceritanya, Gas. Pakde benar-benar terima kasih pada Anita, karena hatinya yang begitu luas mau memaafkan Sea."Mendengar cerita yang keluar dari mulut Tomi, Halimah sontak memeluk Anita dengan erat dan berkali-kali mengucapkan rasa terima kasih."Kenapa kamu lakukan ini, Nit? Kamu tau kan kalau aku bisa melawan siapa saja yang mau menggagalkan laporanku pada Sea?" Suara Bagas mendominasi ruang tamu, dia memicingkan mata ke arah Anita yang masih saja sibuk membalas pelukan Halimah."Anita! Jawab aku!"Anita terkikik, dia melepaskan pelukan dan menatap mata Bagas dengan begitu lembut. "Setiap orang pantas mendapatkan kesempatan kedua bukan, Mas?""Tapi tidak untuk Sea! Kamu ingat kan kalau kemarin dia hampir saja membuatmu malu! Jangan terlalu lemah, dia bisa saja menusukmu lagi suatu hari nanti!" Bagas berbicara dengan napas tersengal. Mati-matian dia mencoba melindungi Anita dari Sea, tapi wanitanya justru melepaskan Sea begitu saja dengan alasan yang tidak bisa diterima
***Ponsel Anita berkali-kali bergetar menandakan ada panggilan mendesak. Tidak ingin membuat suasana hangat di rumah Bagas terganggu, dia terpaksa pamit ke luar untuk menerima telepon."Ha ... Halo, Mbak Anita?"Suara asing!Anita tidak mengenal suara asing di seberang sana. Sejenak dia menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat siapa yang meneleponnya kali ini."Citra? Kenapa ponselnya dibawa orang lain?" gumamnya heran."Halo ... halo ....!"Menyadari di seberang sana suara wanita masih mendominasi, Anita memilih untuk bertanya secara langsung mengapa ponsel sepupunya bisa berada di tangan yang lain."Benar ini Mbak Anita? Saya ... saya Bu Haris, tetangga komplek yang rumahnya di ujung sendiri. Mbak Anita mengenal saya?"Anita mengangguk mengingat. "Ah, Bu Haris. Ya, maaf saya hampir cengo karena mendengar suara orang lain pada ponsel Citra. Ngomong-ngomong kenapa ponsel sepupu saya ada di tangan anda? A
***Flashback on ...."Aku tunggu malam ini di Cafe dekat jembatan fly over, Mas. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu."Telepon dimatikan sepihak oleh Citra tanpa menunggu jawaban dari Leo di seberang sana. Satu tangan menggenggam ponsel dengan erat hingga menampakkan otot-otot jemarinya yang mulai memucat, sementara satu tangan lainnya dia pakai untuk mengusap perut yang masih rata. Ada kehidupan di dalam sana yang tidak bisa dia jamin masa depannya.Air mata menggenang seiring dengan kelebat bayangan masa lalu. Citra menatap jalanan yang semakin padat merayap padahal jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 20.00 saat ini.Berdiri di pinggir jembatan fly over membuat mata Citra bisa menatap puas jalanan di bawah yang berisi mobil-mobil mewah saling berebut jalan. Sesekali dia mengusap air mata yang tetiba mengalir, menghempas sesak di dalam dada dengan hembusan napas kasar."Apa ini yang Anita rasakan saat Bapak dan Ibu masih belum dikurung di penjara?" Citra bermonolog
***"Semua bisa jadi kemungkinan besar jika Mbak mau mengusut kasus yang tengah menimpa korban. Kami dari pihak kepolisian hanya bisa mengikuti kemauan keluarga korban, Mbak.""Ada baiknya segera dimakamkan saja, Nit. Kasihan jenazah jika didiamkan terlalu lama," saran Halimah. "Mungkin memang ini sudah menjadi keputusan Citra. Jangan mencari kebenaran yang kamu sendiri merasa ragu untuk menguliknya. Bagaimana jika terbukti Citra memang bunuh diri, bukankah itu hanya akan menyakiti jenazah karena kita menahannya terlalu lama di dunia?"Anita termenung memikirkan ucapan Halimah yang memang ada benarnya. Apalagi selama ini beban yang Citra tumpu pada pundaknya cukup berat. Hamil dengan suami orang tanpa mendapat pertanggung jawaban adalah sebuah luka yang tidak bisa disembuhkan. "Tidak perlu ditindaklanjuti, Pak. Saya yang akan mengurus pemakaman jenazah korban."Keributan di sisi sungai mulai lengang. Anita dan para keluarga bergegas pulang dengan membawa jenazah Citra dibantu oleh pi
***Tetiba seluruh persendiannya terasa sangat lemas. Kedua kaki Ana bergetar hebat dengan kedua tangan yang mengepal kuat guna menyalurkan rasa takut yang baru saja menyerangnya. Bagaimana tidak?Lelaki yang menyandang gelar sebagai suami mengakui tentang sebuah kematian seseorang. Seorang wanita yang bahkan sudah berhasil memporak-porandakan hubungan rumah tangganya dengan mengakui kehamilannya di depan Ana dan Leo.Langkah Ana semakin mendekat. Air mata sudah sejak tadi menggenang di pelupuk mata dan bersiap meluncur detik ini juga. Kakinya yang terasa lemas sengaja dia seret dengan penuh ketegaran mendekati Leo yang meringkuk di sisi ranjang."Ana?" pekik Leo senang dan segera menghambur di pelukan Sang Istri. "Kupikir kamu pergi, An. Aku ... aku benar-benar takut kamu dan calon bayi kita meninggalkanku sendirian. Jangan pergi, kumohon maafkan semua kesalahanku, Ana."Tangis Leo terdengar begitu menyayat hati. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Ana mendengar suara tangis Leo yang