***
Ponsel Anita berkali-kali bergetar menandakan ada panggilan mendesak. Tidak ingin membuat suasana hangat di rumah Bagas terganggu, dia terpaksa pamit ke luar untuk menerima telepon.
"Ha ... Halo, Mbak Anita?"
Suara asing!
Anita tidak mengenal suara asing di seberang sana. Sejenak dia menjauhkan ponsel dari telinga dan melihat siapa yang meneleponnya kali ini.
"Citra? Kenapa ponselnya dibawa orang lain?" gumamnya heran.
"Halo ... halo ....!"
Menyadari di seberang sana suara wanita masih mendominasi, Anita memilih untuk bertanya secara langsung mengapa ponsel sepupunya bisa berada di tangan yang lain.
"Benar ini Mbak Anita? Saya ... saya Bu Haris, tetangga komplek yang rumahnya di ujung sendiri. Mbak Anita mengenal saya?"
Anita mengangguk mengingat. "Ah, Bu Haris. Ya, maaf saya hampir cengo karena mendengar suara orang lain pada ponsel Citra. Ngomong-ngomong kenapa ponsel sepupu saya ada di tangan anda? A
***Flashback on ...."Aku tunggu malam ini di Cafe dekat jembatan fly over, Mas. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu."Telepon dimatikan sepihak oleh Citra tanpa menunggu jawaban dari Leo di seberang sana. Satu tangan menggenggam ponsel dengan erat hingga menampakkan otot-otot jemarinya yang mulai memucat, sementara satu tangan lainnya dia pakai untuk mengusap perut yang masih rata. Ada kehidupan di dalam sana yang tidak bisa dia jamin masa depannya.Air mata menggenang seiring dengan kelebat bayangan masa lalu. Citra menatap jalanan yang semakin padat merayap padahal jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 20.00 saat ini.Berdiri di pinggir jembatan fly over membuat mata Citra bisa menatap puas jalanan di bawah yang berisi mobil-mobil mewah saling berebut jalan. Sesekali dia mengusap air mata yang tetiba mengalir, menghempas sesak di dalam dada dengan hembusan napas kasar."Apa ini yang Anita rasakan saat Bapak dan Ibu masih belum dikurung di penjara?" Citra bermonolog
***"Semua bisa jadi kemungkinan besar jika Mbak mau mengusut kasus yang tengah menimpa korban. Kami dari pihak kepolisian hanya bisa mengikuti kemauan keluarga korban, Mbak.""Ada baiknya segera dimakamkan saja, Nit. Kasihan jenazah jika didiamkan terlalu lama," saran Halimah. "Mungkin memang ini sudah menjadi keputusan Citra. Jangan mencari kebenaran yang kamu sendiri merasa ragu untuk menguliknya. Bagaimana jika terbukti Citra memang bunuh diri, bukankah itu hanya akan menyakiti jenazah karena kita menahannya terlalu lama di dunia?"Anita termenung memikirkan ucapan Halimah yang memang ada benarnya. Apalagi selama ini beban yang Citra tumpu pada pundaknya cukup berat. Hamil dengan suami orang tanpa mendapat pertanggung jawaban adalah sebuah luka yang tidak bisa disembuhkan. "Tidak perlu ditindaklanjuti, Pak. Saya yang akan mengurus pemakaman jenazah korban."Keributan di sisi sungai mulai lengang. Anita dan para keluarga bergegas pulang dengan membawa jenazah Citra dibantu oleh pi
***Tetiba seluruh persendiannya terasa sangat lemas. Kedua kaki Ana bergetar hebat dengan kedua tangan yang mengepal kuat guna menyalurkan rasa takut yang baru saja menyerangnya. Bagaimana tidak?Lelaki yang menyandang gelar sebagai suami mengakui tentang sebuah kematian seseorang. Seorang wanita yang bahkan sudah berhasil memporak-porandakan hubungan rumah tangganya dengan mengakui kehamilannya di depan Ana dan Leo.Langkah Ana semakin mendekat. Air mata sudah sejak tadi menggenang di pelupuk mata dan bersiap meluncur detik ini juga. Kakinya yang terasa lemas sengaja dia seret dengan penuh ketegaran mendekati Leo yang meringkuk di sisi ranjang."Ana?" pekik Leo senang dan segera menghambur di pelukan Sang Istri. "Kupikir kamu pergi, An. Aku ... aku benar-benar takut kamu dan calon bayi kita meninggalkanku sendirian. Jangan pergi, kumohon maafkan semua kesalahanku, Ana."Tangis Leo terdengar begitu menyayat hati. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Ana mendengar suara tangis Leo yang
***Sorot mata Sea meredup. Kepalanya menunduk dalam seiring dengan banyaknya pasang mata yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.Sejauh dia mencoba membuat nama baik Anita hancur, sejauh ini pula ia merasa begitu kalut, takut jika keluarganya akan mengasingkan dirinya karena sudah bertindak cukup bodoh. Apalagi setelah kabar kematian Citra terdengar di telinganya, Sea merasa tersentak. Dia tidak menyangka jika wanita sebengis Citra akan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri."Tolong maafkan aku, Nit. Ayah, Ibu ... Paman dan Bibi, juga ... Mas Bagas. Maaf karena tindakan bodohku membuat kalian malu. Aku ... aku menyesal karena tidak bisa merawat perasaan yang kumiliki hingga menjelma belati dalam hatiku. Aku menyesal!"Sea menutup kertas di tangan. Bahunya berguncang karena menangis sementara Gina mulai merengkuh bahu putrinya dan berbisik. "Kamu wanita hebat karena mau mengakui kesalahan, Nak. Jangan lukai Ibu dengan kebodohan yang lain. Cukup! Oke?"Sea mengangguk semba
***Bagas membanting setir ke kanan saat melihat seorang pengendara di depannya dengan ugal-ugalan. Motornya meliuk-liuk ke kanan dan kiri seakan pengendara yang lain tidak membutuhkan jalanan.Brak ....Bagas menghentikan mobilnya mendadak saat motor di depannya menabrak gerobak penjual es cendol di bahu jalan.Beberapa pengendara lainnya berhenti. Beberapa lainnya pula hanya melirik tanpa berniat ikut campur atau sekedar membantu."Keluar, Mas! Kasihan Bapaknya, Masya Allah, itu kocar-kacir isi gerobaknya," pekik Anita menahan geram.Bagas segera menepikan mobil, dia bergegas keluar dengan tergesa kemudian membantu beberapa orang yang sedang mengangkat gerobak yang sudah tergeletak di jalanan."Bapak baik-baik saja?" tanya Anita simpati. "Duduk dulu, Pak. Sini!" Ia menggandeng lengan lelaki tua agar duduk di salah satu kursi plastik yang disediakan untuk para pembeli. Napas lelaki tua itu tidak beraturan, bahkan terlihat tangannya yang keriput sedikit bergetar."Ini diminum dulu, Pa
***"Mesum!" pekik Sea dengan wajahnya yang memerah. "Mas Tirta sengaja kan berdiri di belakangku seperti ini, Mas Tirta tau kalau aku hendak berbalik, dasar mesum!" teriak Sea kesal. Dia menggosok-gosok keningnya menggunakan telapak tangan. Bahkan kening putih itu sekarang berubah menjadi kemerahan karena gesekan telapak tangan Sea disana."Aku nggak mau kerja disini!"Tirta membasahi bibir dengan ludahnya sendiri. Rasa hangat yang dia dapatkan dari kening Sea masih terasa bahkan setelah berkali-kali dia menyapukan lidahnya pada bibir merah miliknya."Kenapa kamu malah marah-marah sama aku? Salah sendiri dong balik badan nggak kasih aba-aba," kilah Tirta berusaha tenang padahal jantungnya di dalam sana berdebar tidak karuan. "Asal kamu tau, bibirku ternodai oleh keningmu, Sea! Kamu merampas paksa ciuman pertamaku!"Sea dibuat melongo oleh pengakuan Tirta di hadapannya. Kepalanya menggeleng tidak percaya pada apa yang Tirta katakan. Sedetik kemudian, wanita dengan setelan berwarna nud
***"Kenapa wajah kamu murung begitu, Gas?"Vano yang tengah menyeruput kopi di ruang tamu dibuat heran oleh raut muka Bagas. Halimah yang sibuk menyuapi Leha pun turut menoleh. "Sepuluh hari lagi, Gas. Masa sih gitu aja kelamaan?" goda Halimah terkikik. Leha menepuk lengan putrinya dan menggeleng samar. "Bercanda, Bu. Lagipula itu anak kebiasaan suka cemberut. Untung aja ada Anita yang mau sama dia."Bagas mendaratkan bokongnya di sisi Vano sedangkan Anita mulai mencium punggung tangan Halimah dan Leha bergantian."Saya yang harusnya bersyukur karena mendapat laki-laki seperti Mas Bagas, Bu," kata Anita jujur. Halimah mengusap kepala wanita muda di depannya seraya berkata. "Ibu dulu mikirnya gitu waktu dapat Ayah, Nit. Mereka memang Bapak dan Anak yang sangat bertanggung jawab," pujinya tulus.Anita mengangguk setuju. Dia meminta ijin mengambil alih piring di tangan Halimah dan mulai menyuapi Leha dengan pelan."Ibu buatkan minum dulu ya.""Nggak perlu, Bu. Tadi sudah banyak minum di
***Sea keluar dari ruangan mengingat semua pekerjaannya selesai. Dia berencana melihat-lihat Cafe peninggalan Handoko pada Astri. Cafe yang cukup mewah, bahkan sebentar lagi mungkin akan berubah menjadi sebuah restoran besar jika Tirta mau merombaknya."Selamat siang, Bu Sea. Butuh sesuatu, atau saya siapkan makan siang sekarang?"Sea menggeleng samar. Wanita berusia muda di depannya terlihat begitu sopan dan ramah. "Siapa nama kamu?""Renata, Bu."Sea manggut-manggut. "Sudah lama kerja disini?"Renata mendongak, dia menatap wajah Sea yang terlihat begitu segar dengan make up tipis. "Baru dua tahun ini sejak lulus sekolah.""Ada yang bisa saya bantu, Bu?"Sea menggeleng lagi. "Aku cuma mau lihat-lihat sekalian ingin mengenal kalian semua, Re. Lanjutkan pekerjaan kamu!"Renata mengangguk. Dia berlalu meninggalkan Sea di depan dapur dan ikut berkutat bersama teman-temannya yang lain. Suasana Cafe yang ramai membuat hati Sea menghangat. Selama ini dunianya terlalu kaku berkutat dengan l