***Bagas membanting setir ke kanan saat melihat seorang pengendara di depannya dengan ugal-ugalan. Motornya meliuk-liuk ke kanan dan kiri seakan pengendara yang lain tidak membutuhkan jalanan.Brak ....Bagas menghentikan mobilnya mendadak saat motor di depannya menabrak gerobak penjual es cendol di bahu jalan.Beberapa pengendara lainnya berhenti. Beberapa lainnya pula hanya melirik tanpa berniat ikut campur atau sekedar membantu."Keluar, Mas! Kasihan Bapaknya, Masya Allah, itu kocar-kacir isi gerobaknya," pekik Anita menahan geram.Bagas segera menepikan mobil, dia bergegas keluar dengan tergesa kemudian membantu beberapa orang yang sedang mengangkat gerobak yang sudah tergeletak di jalanan."Bapak baik-baik saja?" tanya Anita simpati. "Duduk dulu, Pak. Sini!" Ia menggandeng lengan lelaki tua agar duduk di salah satu kursi plastik yang disediakan untuk para pembeli. Napas lelaki tua itu tidak beraturan, bahkan terlihat tangannya yang keriput sedikit bergetar."Ini diminum dulu, Pa
***"Mesum!" pekik Sea dengan wajahnya yang memerah. "Mas Tirta sengaja kan berdiri di belakangku seperti ini, Mas Tirta tau kalau aku hendak berbalik, dasar mesum!" teriak Sea kesal. Dia menggosok-gosok keningnya menggunakan telapak tangan. Bahkan kening putih itu sekarang berubah menjadi kemerahan karena gesekan telapak tangan Sea disana."Aku nggak mau kerja disini!"Tirta membasahi bibir dengan ludahnya sendiri. Rasa hangat yang dia dapatkan dari kening Sea masih terasa bahkan setelah berkali-kali dia menyapukan lidahnya pada bibir merah miliknya."Kenapa kamu malah marah-marah sama aku? Salah sendiri dong balik badan nggak kasih aba-aba," kilah Tirta berusaha tenang padahal jantungnya di dalam sana berdebar tidak karuan. "Asal kamu tau, bibirku ternodai oleh keningmu, Sea! Kamu merampas paksa ciuman pertamaku!"Sea dibuat melongo oleh pengakuan Tirta di hadapannya. Kepalanya menggeleng tidak percaya pada apa yang Tirta katakan. Sedetik kemudian, wanita dengan setelan berwarna nud
***"Kenapa wajah kamu murung begitu, Gas?"Vano yang tengah menyeruput kopi di ruang tamu dibuat heran oleh raut muka Bagas. Halimah yang sibuk menyuapi Leha pun turut menoleh. "Sepuluh hari lagi, Gas. Masa sih gitu aja kelamaan?" goda Halimah terkikik. Leha menepuk lengan putrinya dan menggeleng samar. "Bercanda, Bu. Lagipula itu anak kebiasaan suka cemberut. Untung aja ada Anita yang mau sama dia."Bagas mendaratkan bokongnya di sisi Vano sedangkan Anita mulai mencium punggung tangan Halimah dan Leha bergantian."Saya yang harusnya bersyukur karena mendapat laki-laki seperti Mas Bagas, Bu," kata Anita jujur. Halimah mengusap kepala wanita muda di depannya seraya berkata. "Ibu dulu mikirnya gitu waktu dapat Ayah, Nit. Mereka memang Bapak dan Anak yang sangat bertanggung jawab," pujinya tulus.Anita mengangguk setuju. Dia meminta ijin mengambil alih piring di tangan Halimah dan mulai menyuapi Leha dengan pelan."Ibu buatkan minum dulu ya.""Nggak perlu, Bu. Tadi sudah banyak minum di
***Sea keluar dari ruangan mengingat semua pekerjaannya selesai. Dia berencana melihat-lihat Cafe peninggalan Handoko pada Astri. Cafe yang cukup mewah, bahkan sebentar lagi mungkin akan berubah menjadi sebuah restoran besar jika Tirta mau merombaknya."Selamat siang, Bu Sea. Butuh sesuatu, atau saya siapkan makan siang sekarang?"Sea menggeleng samar. Wanita berusia muda di depannya terlihat begitu sopan dan ramah. "Siapa nama kamu?""Renata, Bu."Sea manggut-manggut. "Sudah lama kerja disini?"Renata mendongak, dia menatap wajah Sea yang terlihat begitu segar dengan make up tipis. "Baru dua tahun ini sejak lulus sekolah.""Ada yang bisa saya bantu, Bu?"Sea menggeleng lagi. "Aku cuma mau lihat-lihat sekalian ingin mengenal kalian semua, Re. Lanjutkan pekerjaan kamu!"Renata mengangguk. Dia berlalu meninggalkan Sea di depan dapur dan ikut berkutat bersama teman-temannya yang lain. Suasana Cafe yang ramai membuat hati Sea menghangat. Selama ini dunianya terlalu kaku berkutat dengan l
***"Kalau kamu tertekan sama kelakuan Bagas, bilang sama Ayah, Nit."Bagas memamerkan barisan giginya sembari menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal."Ayah itu salah paham," elak Bagas. "Tadi aku lagi nolongin Anita gara-gara hampir jatuh ....""FTV sekali hidupmu, Gas," sindir Vano mencebik. "Jangan macam-macam sebelum halal, hargai calon istri kamu!"Bagas mengangguk lemah. Melawan Vano tidak akan menang pikirnya. Sementara Anita justru terkikik melihat wajah kesal Bagas."Makanya jangan centil," bisik Anita. Wanita itu berlalu meninggalkan Bagas yang tengah menatap punggungnya semakin menjauh. Senyum tipis seketika terbit di bibirnya, bayangan wajah cantik Anita menghiasi pikiran Bagas.Setelah urusan perbajuan selesai, mereka kembali ke rumah karena semua persiapan sudah selesai. Tidak ada adat pingit karena Anita tidak bisa menghandle semuanya sendiri apalagi dia hanya memiliki Haryati dalam hidupnya."Mau nikah kok sering keluar bareng, pamali," seru Diah ketika melihat
***"Setelah mengantar Nenek pulang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Nit."Anita menoleh. Sejenak dia melirik ke belakang tempat dimana Haryati sedang duduk. Mobil yang mereka tumpangi berjalan menuju ke rumah Anita setelah hampir seharian dia dan Neneknya berada di rumah Bagas membahas banyak persiapan untuk acara pernikahan.Haryati mengangguk ketika matanya bersiborok dengan mata Cucunya. Dia tahu jika Anita tengah meminta persetujuan melalui kontak mata."Baiklah, Mas."Bagas kembali diam, dia terjebak dengan segala macam prasangka tentang kematian Citra. Apalagi ketika Fredi mengatakan kalau Leo adalah satu-satunya saksi, besar kemungkinan jika Citra memang bunuh, tidak bunuh diri. Begitulah pikir Bagas.Sesampainya di halaman rumah, lelaki bertubuh tegap itu segera membantu Haryati untuk duduk di atas kursi roda. Kaki tuanya yang masih terasa lemah cukup sulit untuk berjalan meskipun dengan jarak yang tidak jauh."Pelan-pelan ya, Nek," kata Bagas lembut. "Nenek baik-baik
*** "Nggak bisa jawab kan? Sebegitu sulitnya kamu membuka hati setelah ada nama Bagas di dalam sana?" Tirta mengalihkan pandangannya kembali fokus pada jalanan di depannya. Sikap diam Sea sudah memberi jawaban jika tidak ada tempat untuk Tirta di dalam hatinya yang sudah lebih dulu Bagas tempati. "Aku bisa membahagiakan kamu, Se. Aku berjanji akan itu, tolong ... berhenti mengharapkan cinta Bagas karena yang kamu dapatkan hanyalah rasa sakit." Sea meremas sepuluh jemarinya cemas. Bukan karena pernyataan cinta Tirta, bukan! Tapi pada obrolan yang sempat Tirta dengarkan, dia gelisah dan takut jika Tirta akan membongkar pertemuannya dengan Haris malam ini. Dia tidak ingin mendapat tatapan benci dari Bagas meskipun dirinya sudah menolak permintaan tolong Haris untuk bekerja sama memisahkan Bagas dan Anita. "Aku janji nggak akan mau diajak ketemu sama Haris lagi, Mas," ujar Sea mencoba mengalihkan pembicaraan. "Lagipula aku sudah menolak tawarannya barusan. Kamu nggak bisa dong ngadui
***"Turun, Sayang!" pinta Bagas lembut. Panggilan sayang yang hanya dia lontarkan saat berduaan dengan Anita akhirnya lolos juga malam ini. "Nanti kamu akan tau semuanya dari mulut Leo."Dada Anita berdebar hebat. Dia bukan wanita bodoh, mendengar Bagas mengatakan "mendengar semuanya dari mulut Leo" membuat pikirannya melayang pada kejadian malam dimana Citra ditemukan mati bunuh diri."A-- apa Leo yang su-- sudah mem ....""Jangan menduga-duga, lebih baik kita masuk sekarang, Nit," sela Bagas cepat. Dia menarik tangan Anita untuk segera berjalan mendekati pintu rumah Leo.Rumah sederhana yang dulu terlihat begitu rapi dan terang ketika malam hari kini nampak sebaliknya. Bunga-bunga di dalam pot dibiarkan mengering dengan dedaunan yang tergeletak di halaman memberi kesan jika si empunya rumah sangatlah tidak pandai menjaga kebersihan.Dari luar nampak sekali jika rumah Leo seperti rumah kosong. Lampu terasnya mati dan menyisak