***"Anita bantu ya, Bu?"Halimah menoleh. Dia tersenyum melihat menantunya yang sudah bangun sepagi ini. "Boleh," sahut Halimah singkat. "Nenek tidur di kamar tamu, kamu belum melihatnya sejak tadi malam."Anita tiba-tiba merasa bersalah karena sempat melupakan Haryati. "Ibu paham kalau kalian berdua terlalu lelah, makanya tadi malam Ibu tidur sama Nenek Haryati."Kedua mata Anita berkaca-kaca mendengar betapa lembutnya hati Halimah bahkan pada Haryati sekalipun. "Terima kasih, Bu. Saya dan Nenek sangat beruntung dipertemukan dengan keluarga yang hangat dan sangat baik seperti kalian.Halimah mengusap pucuk kepala Anita dan menyunggingkan senyum tipis. Dulu, Sea adalah satu-satunya wanita yang menjadi kesayangan dua keluarga. Bahkan Vano dan Halimah menganggap Sea adalah putrinya. Tapi sekarang, posisi itu sudah digeser oleh Anita, menantu barunya. "Semua yang terjadi saat ini sudah sesuai garis Tuhan, Anita. Semoga kamu dan Bagas bisa terikat dalam hubungan rumah tangga sampai maut
***"Kosongkan jadwalku untuk satu minggu ke depan, Mam. Aku ada urusan sebentar, kalau ada pelanggan yang datang katakan aku akan memberikan service dobel setelah urusanku selesai.""Mau kemana kamu, Nay?""Urusan mendadak. Aku harus menyadarkan orang lain jika milikku tidak boleh disentuh!"Wanita yang dipanggil Mami itu mengangguk mengerti. "Pastikan hanya satu minggu, lebih dari itu Mami akan potong bayaran kamu selanjutnya."Nayna mencebik. Wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi germo itu seakan tidak memiliki belas kasihan, pada Nayna sekalipun. Padahal selama Nayna bergabung dalam dunia perselangkangan, bisnis open BO wanita paruh baya itu seketika melejit."Terserah! Aku hanya butuh satu minggu untuk membuat wanita itu hancur!"Sorot mata Nayna memancarkan kemarahan. Jari-jarinya memucat ketika kedua tangan putih itu mengepal kuat. Bayangan wajah Tirta yang menunjukkan ketidak tertarikan membuat hati Nayna hancur. Dia terluka, meskipun pada kenyataannya Nayna yang lebih dulu
***Lelaki dengan perawakan tinggi itu berjalan mendekati Anita. Dia bersimpuh di depan wanita yang baru sehari menjadi istrinya tapi teror bahkan sudah mulai bertebaran. Digenggamnya jemari Anita yang terasa begitu dingin. Perlahan-lahan Anita mengangkat kepala menatap kedua mata Bagas yang terlihat sayu. "Kamu tidak akan percaya pesan murahan itu kan, Mas?"Bagas mengulas senyum tipis sambil mengusap-usap punggung tangan Anita. Rasa percaya untuk istrinya memang terisi penuh, tapi tetap saja mendapat teror di hari pertama dia menjalani peran sebagai suami membuat otak Bagas sedikit tidak bisa menahan emosi."Apa aku terlihat meragukan kamu, Sayang?"Anita bergeming sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Bahkan jika pesan misterius itu benar sekalipun, bukankah itu hanyalah sebagian dari masa lalu kamu?"Luruh sudah air mata Anita di depan suami dan semua keluarganya. Entah mengapa, ucapan Bagas seolah memberikan rasa per
***Sea menggelengkan kepalanya samar mendengar tuduhan yang keluar dari mulut Bagas. Halimah gegas menarik lengan putranya dan ....Plak ....Satu tamparan mendarat sempurna hingga mencetak bekas kemerahan. Dada Bagas naik turun menahan emosi karena sikap Halimah yang terkesan tengah membela Sea saat ini. Sementara Anita menutup mulutnya menyembunyikan teriakan karena terkejut."Ibu tidak pernah mendidik kamu menjadi pria yang kurang ajar, Bagas!" Suara Halimah mendominasi di ruangan. Haryati dan Leha selaku wanita paling tua di rumah ini hanya bisa menatap nanar keributan yang terjadi. Fisik mereka yang ringkih membuat emosi mudah sekali terkuras. "Apa kamu punya bukti jika Sea adalah pelaku teror ini, hah?""Ibu membela dia?""Tidak ada yang Ibu bela disini!" sahut Halimah sedikit berteriak. "Kamu punya bukti jika Sea adalah pelakunya? Punya, Nak?"Bagas membuang muka. Mendapat teror yang tiba-tiba membuat pikirannya menjadi kacau. "Jika ingin menyerang seseorang, minimal cari bukt
***"Kamu sudah bawa yang kuminta, Fred?"Fredi mengangguk ketika Bagas menanyakan sesuatu yang harus dia beli. "Ada di dalam mobil, Pak. Lebih baik kita bicarakan ini di dalam rumah. Pelaku teror bisa dari orang-orang terdekat sekalipun," kata Fredi sambil melirik keadaan sekitar rumah Bagas. Bagas mengangguk. Dia mempersilakan Fredi duduk di ruang tamu bergabung bersama dia dan Anita. "Teror seperti apa yang Bapak dapatkan?"Bagas menyerahkan kotak berisi lingerie berdarah ke hadapan Fredi. Lelaki itu membuka tutup kotak dan betapa terkejut melihat lendir berwarna merah yang mewarnai baju tipis ala pengantin baru itu."Apa maksutnya, Pak?"Bagas menggeleng bingung. "Entah. Yang jelas dalam kotak itu ada sepucuk surat yang mengatakan hal buruk tentang Anita."Fredi memungut selembar kertas yang Bagas maksut. Lagi-lagi lelaki yang sudah menjadi orang kepercayaan Bagas itu membelalak. "Bu Anita punya mantan?""Ya. Jauh sebelum berhubungan dengan Mas Bagas, Fred," aku Anita. "Tapi dia
***"Menginap saja di sini, Se. Lagipula Tirta belum ada tanda-tanda akan pulang."Sea nampak berpikir hingga kemudian dia bersuara. "Lain kali saja, Ma. Tadi belum sempat pamit Ibu kalau mau kesini. Ya?"Astri mengangguk kalah. Dia tidak punya hak penuh untuk menahan Sea tinggal bersamanya barang sehari. Tentu saja Gina dan Tomi tidak mengijinkan mengingat Sea adalah putri satu-satunya yang begitu dilindungi."Minimal temani Mama sampai nanti malam, Mama bosan sendirian di rumah.""Baiklah," sahut Sea tidak masalah. Toh di rumah pun dia tidak ada kesibukan lain, yang ada justru bayangan wajah Tirta berkelebatan di matanya. "Sebelum jam 20.00 malam aku harus pulang. Mama tidak masalah?""Tentu, Nak. Nanti Mama antar, tidak boleh menolak!"Sea terkekeh. Dia terpaksa mengangguk untuk yang kesekian kalinya terhadap paksaan Astri. Keduanya terlihat seperti Ibu dan anak kandung, padahal tidak ada hubungan darah sedikitpun diantara mereka.Menjelang sore hari, Sea membersihkan diri setelah
***|Pengendara berhenti tepat di depan rumah Bu Diah. Sikapnya mencurigakan, tapi belum ada tanda-tanda ....|Ucapan Fredi terhenti saat kedua matanya menatap sesosok pria dengan jaket dan helm hitam melekat di tubuhnya itu mulai mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. |Fokus kalian semua!| ucap Bagas menegang. Vano tiba-tiba ikut duduk di sebelah putranya seraya menatap layar laptop yang sejak tadi terlihat memantau pergerakan orang di luar sana.|Target semakin mendekat. Ada kotak berwarna hitam di tangannya, Pak. Apa kita keluar sekarang?||Lakukan sesuai rencana, Fred. Aku mau kalian menangkap dia hidup-hidup agar kita tau siapa dalang di balik ini semua|Percakapan mereka terhenti. Lelaki berperawakan tinggi dengan otot kekar yang disembunyikan di balik jaketnya terlihat celingukan memantau keadaan sekitar. Ada beberapa pengendara yang lain namun tidak mencurigakan bagi mereka. Kini fokus anak buah Bagas hanyalah pada sosok yang ternyata ....|Brengsek! Dia ke rumah Bu Diah. Bukan
***"Bawa kotak yang sempat dilemparkan ke depan rumah. Bawa kesini secepatnya," pinta Vano pada salah satu anak buah sewaannya."Baik, Pak!" Lelaki bernama Riki itu berlari menuju rumah Vano, tepat di halaman rumah teronggok sebuah kotak dengan ukuran yang lumayan besar. Melihat ada orang lain yang menginjakkan kaki di depan rumah, Anita sontak keluar dan bertanya. "Apa itu juga salah satu bentuk teror mereka?"Riki mengangguk. "Sepertinya begitu, Bu. Saya diperintahkan Pak Vano untuk membawa kotak ini kesana." Dia menunjuk rumah Diah, dimana di sana sedang berdiri beberapa lelaki dan juga Bu Diah yang terlihat gemetaran takut. Saat Anita hendak melangkah keluar, Halimah mencekal pergelangan tangan menantunya dan menggeleng samar. Menurut, Anita berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. Jika Halimah melarang, maka tentu wanita paruh baya itu memiliki alasan yang kuat."Ibu tidak ingin tau siapa yang sudah memberikan teror kepada kami?"Halimah duduk di sebelah Haryati sementara Leh