***"Halo, ya ... kami datang sekarang juga, Bang. Oke ... Oke!""Siapa, Gas?" tanya Vano, "Nando?" Bagas mengangguk. Dia mengatakan jika Nando mengabarkan bahwa Seila sudah mendapat surat panggilan untuk datang ke kantor polisi."Kalau begitu ayo kesana!"Vano terlihat antusias. Dia ingin memastikan bagaimana sosok Seila yang dengan berani-beraninya ingin menghancurkan rumah tangga putranya."Aku ikut, Mas!""Yakin?" tanya Bagas ragu. "Kamu bisa mengendalikan diri kalau nanti Seila menyerang dengan lidah tajamnya?"Anita mengangguk mantap. Bibirnya yang tipis mengulas senyum yang begitu tenang."Bagaimana, Yah?""Boleh. Kesaksian Anita juga dibutuhkan nanti. Ayo!"Selain Anita, Tomi juga menawarkan diri untuk datang ke kantor polisi memenuhi undangan kesaksian untuk Bagas dan Anita. Pria paruh baya itu ingin memastikan pula jika masalah yang menimpa keponakannya benar-benar usai da
*** "Omong kosong apalagi ini, Nay?" Suara Tirta melemah. Hatinya begitu lelah menghadapi tingkah Nayna yang di luar pemikirannya. "Kita sudah lama tidak ... argh! Aku bahkan ingat sekali terakhir kali kita melakukan itu adalah beberapa bulan yang lalu!" Nayna mengusap air matanya yang mengalir membasahi pipi. "Kamu yakin?" "Ya!" sahut Tirta tegas. "Aku ingat sekali, Nay. Jangan mengada-ada dengan mengatakan kalau kamu tengah hamil anakku. Itu mustahil!" Nayna yang awalnya terlihat sendu dengan air mata yang menghiasi wajahnya. Kini justru memamerkan tawanya dengan lantang. "Dua bulan sebelum kamu datang kembali ke kota, kita melakukan hal itu lagi, Tir ... kamu ingat ... setelah kita pulang dari club' malam-malam? Kamu ... apa harus aku jelaskan bagaimana panasnya kita bergumul malam itu?" Tirta memejamkan matanya sembari mengumpat dalam hati. Nayna benar! Sebulan sebelum dia memutuskan untuk mengurus Cafe Astri, pria itu datang menawarkan penawaran untuk yang terakhir kalinya p
***"Sayang ....?"Anita melangkah mendekat. Ia datang bersama Sea setelah mendapatkan ijin dari Halimah dan Gina, tentu saja dengan sedikit banyak rengekan agar dua wanita paruh baya itu menyetujui."Kami tidak akan pernah mencabut laporan ini, maaf ... tapi tindakan anak Bapak dan Ibu bukan tindakan yang mudah dimaafkan."Bagas merengkuh bahu Anita dan mengusap-usap lengan istrinya dengan lembut. Ia tahu jika napas wanita di sampingnya saat ini sedang memburu, bagaimana tidak ...? Di depannya ada dua orang tua yang mati-matian membela putrinya dengan memanfaatkan jabatan yang mereka miliki."Siapa kamu?" tanya Umi Piah sinis. "Pantas saja Bagas menjadi pria yang bar-bar sekarang, lihat, Bah ... istrinya sangat tidak sopan berbicara dengan orang tua!"Anita membuang muka. Setelah menghela napas kasar, wanita itu kembali menatap sepasang suami istri di depannya. "Pandai mengoreksi orang lain, tapi susah melihat kesalahan
***"Wow, kebetulan sekali kamu datang, Jalang! Ada angin apa sampai rela menginjakkan kaki di tempat yang kotor ini?"Sea menahan geram. Tuduhan jalang tidak lagi menyakitkan untuk dirinya karena melihat wajah segar Nayna sudah cukup membuatnya terluka. 'Kenapa dia terlihat senang sekali, apa Jangan-jangan karena Mas Tirta yang sudah menjenguknya lebih dulu?' batin Sea."Se!" Anita mengguncang tubuh Sea lembut. Wanita cantik itu segera menyadarkan dirinya dan kembali menatap Nayna dengan sinis.Nayna duduk di kursi kunjungan sementara Anita dan Sea duduk bersebelahan di depan tahanan. Tidak ada banding karena Nayna memang tidak punya siapa-siapa untuk dimintai tolong. Dan ... ada rencana lain yang sedang wanita licik itu siapkan. Dia yakin pasti bisa keluar dari penjara dengan caranya sendiri. Cara yang tidak akan bisa dilupakan oleh Sea dan keluarganya."Aku suka sekali melihat wajahmu yang lebam," cibir Nayna terkekeh. "Harusnya kemarin kubuat saja wajahmu hancur jika pada akhirny
***"Lagipula belum tentu apa yang Nayna katakan itu benar. Sekarang tenanglah! Kita pulang," ajak Anita setelah merasa tangisan Sea mulai mereda. Keduanya berdiri meninggalkan kursi yang terletak di depan ruang tunggu Kantor Polisi pusat kota. Bisa Anita lihat dengan jelas betapa hancur wanita di sebelahnya saat ini. Bahkan mungkin jauh lebih hancur daripada dulu ia ditolak berulang kali oleh Bagas. Anita hendak memesan uber, tapi tepukan tangan Bagas pada pudaknya membuat wanita cantik itu seketika menoleh dengan terkejut."Mas ...?" "Lagi mikirin apa, aku panggil-panggil dari tadi kalian berdua diam saja," kata Bagas curiga. "Kenapa, Sayang?"Anita menoleh ke sejenak ke arah Sea, tapi wanita itu masih saja tak acuh dengan kedatangan Bagas seakan-akan terjebak pada pikirannya saat ini adalah sesuatu hal yang begitu sulit ia kendalikan. Bagas mengikuti arah mata Anita. Ditatapnya wajah Sea yang sendu dengan bekas air mata yang mulai mengering. "Kalah sama Nayna?"Sea membuang muka
***"Aku tidak mengijinkan!" tolak Bagas tegas. "Kamu meragukan penghasilanku dengan meminta Anita bekerja bersamamu, Sea!"Anita dan Sea dibuat melongo dengan jawaban Bagas. Entah mengapa, Anita merasa jika Bagas sekarang menjadi pria yang ... ah entahlah! Mungkin beginilah jadinya jika pria menikah tanpa pernah punya kenangan di masa muda dengan wanita-wanita cantik. Bagas terlalu kaku, kadang juga manis. Seringnya memang begitu memanjakan Anita selama ini. Dan Anita suka tanpa bisa mengelak. Tapi hari ini ... apakah efek dari semalam tidak tidur bersama?"Aku hanya ingin meminta bantuan Nita, Mas! Bukan mengajaknya bekerja denganku. Kamu kenapa sih, rese dari tadi!"Tomi dan Vano diam. Dua pria paruh baya itu seolah sedang menikmati perseteruan yang sudah lama tidak mereka dengarkan. "Aku tidak bisa bergerak sendiri, lagipula Anita pasti bosan seharian berada di rumah. Iya kan, Nit?""Se ... dengarkan Ayah!"Sea cemberut sementara Bagas menarik ujung bibirnya merasa menang. "Dia i
***Semua mata menatap heran ke arah Sea yang saat ini sedang berdiri di depan semua orang. Ayah dan anak itu saling pandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Gina menggeleng samar sembari menipiskan bibirnya menahan tangis."Ayah tidak bisa, Se," tolak Tomi sambil membuang muka. "Jika kali ini kita biarkan wanita kurang ajar itu bebas, itu artinya Ayah memberikan kesempatan untuk dia bisa menyakiti kamu lagi. Ayah tidak bisa!"Sea berjalan mendekati Tirta yang saat ini sedang terduduk lemas dengan memegang rahangnya yang terasa nyeri. Satu uluran tangan dari Sea membuat Tirta semakin merasakan nyeri di hatinya. Bagaimana bisa pria brengsek itu menyakiti wanita sebaik Sea? Kurang apa dia sampai-sampai hidup Nayna terasa lebih berarti daripada kebahagiaan Sea?Tirta menerima uluran tangan Sea dengan ragu. Setelah wanita berwajah tenang itu mengangguk, barulah Tirta mengamit jemari lentik dan lembut itu untuk membantunya berdiri. "Katakan yang jelas pada Ayah, Mas.""A-- apa maksudm
***Setelah kepergian Tirta, Tomi membawa semua anggota keluarganya untuk kembali pulang. Terlalu lama menginap di rumah Halimah juga tidak baik mengingat ada Bagas dan Anita yang notabenenya masih pengantin baru."Aku masih ingin bersama Anita, Bu ....""Kamu sudah memberikan keputusan tentang hatimu, itu artinya saat ini sharusnya baik-baik saja bukan?"Pertanyaan Tomi membuat Sea mati kutu. Wanita itu menggigit bibirnya getir karena tidak bisa menyembunyikan kebohongan tentang perasaannya saat ini. "Pulang! Anita dan Bagas juga butuh ketenangan, jangan recoki mereka dengan urusan hatimu yang sudah selesai. Semua sudah selesai kan, Se?"Mau tidak mau Sea mengangguk. Ingin rasanya dia menangis dengan kencang saat ini karena Tomi ternyata tidak bisa ia tipu. Berulang kali wanita itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan berharap sesak di dalam dada berangsur berkurang. Tapi ternyata semakin ia meraup udara dengan rakus, semakin rongga dadanya terasa berdesakan. Sesakit ini mere