***Tok ... Tok ... Tok ....Bagas dan Anita dibuat terkejut dengan ketukan pintu di pagi hari. Keduanya sudah bersiap di meja makan bersama dengan Haryati yang sejak tadi sudah berkutat di dapur dibantu dengan cucu kesayangannya."Biar Nita yang buka, Nenek duduk saja."Haryati mengangguk dan kembali mendaratkan bokongnya di salah satu kursi yang berada di ruang makan. Sementara Bagas mengiringi kepergian istrinya dengan tatapan yang tidak pernah lepas sampai tubuh Anita menghilang di balik tembok pembatas antara ruang makan dan ruang keluarga.Merasa hatinya tidak tenang, Bagas menyusul Anita yang saat ini ternyata sedang dibuat terkejut oleh kedatangan dua tamu yang tidak diundang."Siapa, Nit? Kenapa tidak dipersilahkan ma ...." Suara Bagas terhenti saat kedua matanya menangkap dua sosok yang tidak asing sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Pun Anita, wanita cantik itu justru terpaku di tempat seolah lupa jika tamu
***Dua hari berlalu sejak Hamka meneleponnya siang itu. Hari ini adalah sabtu malam, hari dimana Hamka menjanjikan akan menjemput Sea di rumahnya. Sudah dua jam yang lalu Sea mengirim alamat rumahnya pada Hamka, tapi pria itu tidak kunjung memberikan balasan dan ... tidak kunjung datang.Sea yang sudah bersiap di ruang tamu kembali masuk ke dalam kamar. Gina dan Tomi menatap putrinya dengan pandangan sendu. Bagaimana tidak, sejam yang lalu Sea mengatakan akan ada temannya yang datang dan mengajaknya makan malam, tapi hingga dua jam berlalu, Sea masih duduk manis di rumah dengan ponsel yang tidak lepas dari genggaman."Harusnya aku tidak berharap lebih. Bukankah takdir memang suka sekali membuatku patah dan terluka?" gumam Sea sedih. "Lagipula apa yang aku harapkan dari pria yang baru kukenal? Astaga, Sea ... sebegitu ingin kah kamu melupakan Tirta dengan adanya pengganti?"Sea merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan ditemani bulir-bulir ai
***"Apa maksudnya, Mas?"Setelah menimpuk Nando dengan sebungkus rokok, kini Tomi beralih melayangkan bantal sofa tepat ke muka Nando."Kira-kira kalau mau buat kejutan!"Nando terkekeh. Dia menyingkirkan bantal sofa dan mulai menyeruput kopinya yang masih mengepulkan asap dari dalam cangkir kecil."Sejak kapan menaruh hati pada Sea?"Gina melotot. Ternyata arah pembicaraan dua pria di depannya adalah putrinya sendiri. Apa yang Nando katakan ternyata ...."Ini se-- serius? Kamu ... eh, Mas Nando suka ... anak kita?" tanya Gina terbata. Bagaimana tidak, usia mereka terpaut cukup jauh. "Tidak! Kalian bercandanya keterlaluan!"Tomi lagi-lagi mengedikkan bahu. "Emaknya enggak setuju, Bro!" sahutnya enteng. "Cari mangsa yang lain. Lagipula Sea terlalu cantik buatmu."Nando tertawa. Penolakan Tomi yang dibalut gurauan cukup membuatnya paham. Lagipula mana ada orang tua yang rela menikahkan putri mereka dengan bujang tua sepertinya?"Kalian ini!" bentak Gina kesal. "Sebenarnya ini bercanda
***Sea mengusap pucuk kepala Freya dengan lembut. Gadis kecil yang sedang berdiri di sampingnya itu dia rengkuh dan didudukkan di atas pahanya. "Besok main ke toko Tante ya, biar nggak kesepian," kata Sea. Berusaha keras wanita itu mengalihkan pembicaraan yang baru saja Freya singgung tentang menjadikannya seorang Ibu, Sea tidak mau Freya memiliki harapan yang lebih padanya, karena bahkan sampai saat ini hanya nama Tirta yang memenuhi relung hatinya. "Kalau Papa nggak mau nganter, Tante yang jemput kamu ke sini. Oke?""Oke, Tante!" sahut Freya senang. Dia turun dari pangkuan Sea dan berlari kecil menghampiri Hamka, lalu mengecup pipi Papanya itu dengan wajah berseri-seri. "Terima kasih, Papa. Freya senang ada Tante. Tante ... siapa nama Tante?""Sea, Sayang," jawab Sea sambil tersenyum. Freya mengangguk senang. Dia beralih menatap Hamka dan kembali berucap. "Freya senang ada Tante Sea. Tante Sea baik, Pa. Iya kan?"Hamka mengangguk. Dia mengecup puncak kepala Freya dan meminta gadis
***"Maaf karena baru mengembalikan Sea padahal sudah hampir larut malam, Pak."Tomi mengangguk sambil tersenyum tipis. Dia menepuk bahu pria di depannya seraya berkata. "Lain kali mampir ke rumah, gantian kami yang akan menjamu keluargamu untuk makan malam.""Tentu, dengan senang hati!"Hamka mencium punggung tangan Tomi dan menganggukkan kepala di depan Gina. "Saya permisi. Assalamualaikum!""Waalaikumsalam," sahut ketiganya berbarengan. Gina dan Tomi masih berada di luar, mereka mengiringi kepergian Hamka dengan mata telanjang. Saat Sea hendak masuk ke dalam rumah, betapa terkejut ketika dia mendapati sosok tidak asing sedang bermain dengan asap rokoknya. "Bang Nando?"Nando menoleh. Kedua alisnya terangkat seakan kedatangan Sea bukanlah hal yang patut membuatnya terkejut. "Apa?""Ke-- kenapa belum pulang?""Ngusir?"Sea menggeleng lemah. Dia berbalik dan mendapati Ibu serta Ayahnya sudah berdiri di belakangnya. "Ada yang ingin dia bicarakan, Se.""A-- apa?"Nando bangkit. Rokok
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf