Share

Bab 3 - Lelah

Tiga kali tongkat ini mendarat kuat di punggung suamiku. Membuat tubuh, Mas Daniel ambruk mencium aspal.

 

Aku mendecih melihat kondisi tongkat baseball. Kurasa pukulan ini terlalu keras, hingga tongkat kesayanganku sedikit retak.

 

Lihatlah Mas, bahkan aku lebih khawatir dengan tongkat ini dibanding dirimu.

 

"Apa dia masih bernafas?"

 

Paman berjongkok membalik badan Mas Daniel, mendekatkan ujung jari di hidungnya.

 

"Masih, Non." ucapnya sambil mengangguk.

 

"Huh ... sayang sekali." aku mendecih kecewa.

 

"Urus dia Paman, aku masih ada pekerjaan lain."

 

Paman menggangguk tegas, sambil membangunkan tubuh Mas Daniel.

 

Aku berjalan menuju mobil, kulihat diujung gerbang security memandang tajam kearahku. Kubalas dengan anggukan serta senyum kecil lalu memasuki mobil.

 

Mobil melaju dengan ugal-ugalan, tak tentu arah. Perlahan air mata meluncur dengan deras, tanganku bergetar mengingat kejadian menjijikan itu.

 

Rentetan masa lalu terus berputar diotakku. Membuat kepala berdenyut kencang. 

 

"Shit!"

 

Dejavu ... dan rasanya sakit sekali.

 

"Ayah ... kini para penghianat mulai hadir di hidupku!!" aku menjerit pilu dengan badan bergetar hebat seirama isakan menguasai diri.

 

Sesak di dada merasuki jiwa, air mata seolah belum habis. Menerobos dengan bebas. Membuat pandangan menjadi buram.

 

Ciiiittt!

 

Menginjak pedal rem dalam-dalam. Hampir saja aku menabrak orang yang sedang menyebrang jalan.

 

Sepertinya aku harus kembali ke rumah. Dari pada membahayakan diri sendiri. Jika aku mati hari ini pasti si gundik dan suamiku akan berbahagia. Itu tak boleh terjadi!

 

Pagi hari takku dapati senyum manis dan kecup hangat di kening ini seperti biasanya. Mengelilingi sudut kamar, hatiku berdenyut ngilu.

 

Ah ... sangat menyebalkan, mengetahui hati ini masih memikirkan dia.

 

Berjalan menuju toilet, melepas satu demi satu pakaian yang melilit di tubuh, lalu menenggelamkan badan di dalam bath-up.

 

Hatiku kembali perih, sayatan di hati kembali basah. Mengingat di tempat ini kami selalu menghabiskan waktu berdua.

 

"Hhhh ...."

 

Kudapati Mas Daniel terduduk dimeja makan. Berat kaki ini untuk melangkah, namun harusku paksakan. Tak ingin terlihat rapuh di hadapannya.

 

"Hai, sudah bangun?" ucapnya seraya bangkit dari duduknya.

 

Aku menatapnya tajam, membuat Mas Daniel salah tingkah.

 

Sudut bibir dan hidungnya kulihat biru menghitam. Di keningnya terdapat perban yang tertempel perekat.

 

Tiba-tiba perasaan menyesal menyelusup hati.

 

Kenapa kamu terlihat baik-baik saja pagi ini?

 

Seharusnya kemarin aku membunuhmu Mas, pasti hatiku akan lega.

 

Aku menduduki kursi tepat di depannya. Seperti biasa, Mas Daniel menyodorkan sandwich telur favoritku. Seolah kejadian kemarin tidak pernah ada.

 

"Ayo dimakan, sayang." ucapnya dengan senyum kaku.

 

Beginikah permainanmu?

 

Selalu membodohiku?

 

"Bik ... buatkan aku sarapan," titahku pada Bik Inah yang mengelap sisa air di westafel.

 

Bik Inah menautkan alis, melihat aku dan sandwich bergantian.

 

"Sekarang!" ucapanku membuatnya tersentak. Tanpa banyak bicara dia mengerjakan apa yang kuperintahkan.

 

Seminggu pasca kejadian itu aku menutup diri dari, Mas Daniel. Selalu memasuki kamar dan menguncinya tanpa memberi dia kesempatan bicara sedikitpun.

 

Aku membereskan beberapa berkas laporan penjualan, lalu melangkah keluar kantor. Jam menunjukan pukul 21:00.

 

Aku melewati ruang tamu, saat mendapati Mas Daniel terduduk di atas sofa.

 

"Fi ... Mas mau bicara," ucapnya seraya bangkit dari duduknya.

 

Aku membalikan badan, dengan bibir tersungging tipis.

 

"Aku benar-benar tidak bisa kehilanganmu." ucapnya dengan wajah memelas.

 

Ucapannya membuatku muak. Ingin sekali memakinya. Namun, tubuhku teramat lelah. Malas bicara, lalu kembali arah meneruskan langkah.

 

Terdengar Mas Daniel berlari dan memelukku dari belakang, dengan tubuh yang bergetar.

 

"Aku rela melakukan apa saja, asal kau kembali." suaranya di sertai isakan, sangat meyayat hati.

 

Aku membeku, hatiku teriris. Dilema dengan hati ini.

 

Perlahan pelukan Mas Daniel melonggar, membalik tubuhku hingga kami berhadapan.

 

"Kamu boleh memukulku sesuka hati, asal jangan mendiamkan aku seperti ini." suaranya terdengar sendu.

 

Kedua tangannya memegangi wajahku. Memaksa aku untuk melihat air mata buayanya.

 

Aku memasang wajah datar tanpa expresi apapun.

 

Muak dengan keadaan. Aku menepis kasar kedua tangannya, hendak melangkah pergi. Namun dengan cepat tangan, Mas Daniel mencengkram lengan ini. Perlahan tubuhnya meluruh bersimpuh di kakiku.

 

***Ofd.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Carol Carolie
seru banget!
goodnovel comment avatar
Muhamad Seno
next kliat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status