Mas Daniel masih bersimpuh, di sertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.Rusak sudah semua cintaku, Mas."Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon ..." ucapnya terbata-bata.Siapa disini yang lebih tersiksa?Bukankah aku? Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti."Aku akan melakukan apa pun. Kumohon ..." sambungnya lagi."Sudah kah?" tanyaku dengan suara datar.Mas Daniel mendongkkan kepala, dengan mata penuh penyesalan."Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun." ucapku sambil menatap dalam matanya.Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menye
Ibu Anitta terpaku di tempatnya, air mata yang tadinya bercucuran. Kini terhenti seolah tersumbat oleh krikil."Kanapa diam?"Kupamerkan senyum semanis madu, Ibu Anitta nampak gelagapan saat wajahku sedikit maju."Buktikan pengorbananmu ..." suaraku berbisik."Kurang ajar! Berani sekali kau menghina Ibuku!" sembur Anitta dengan wajah garang. Tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya keluar."Keterlaluan kamu, Fiona!" suara Mamih menggelegar. Mata Mamih hampir keluar seakan ingin menerkamku."Aku tidak menghina Ibumu, aku hanya mengabulkan ucapannya." pandanganku beralih pada wanita setengah baya, yang masih berlutut di kakiku.Wajah Ibu Anitta nampak pias, keringat mulai membasahi keningnya. Pandangannya beralih pada Mamih, meminta pembelaan.Ay
Apa dia sedang bercanda?Aku disuruh mengurus gundik suamiku? Yang benar saja."Kalau, Mamih yakin dia sedang mengandung cucumu. Kenapa tidak, Mamih sendiri saja yang pelihara. Bukankah rumah ini cukup luas?" balasku dengan senyum sinis."Berani kamu membantah, Mamih!!" sengit Mamih. Netranyamembesar seakan mau keluar dari tempatnya.Aku balas dengan tatapan dingin, sedingin hatiku. Kini."Sekali lagi berani menyahut, kau tidak aku anggap menantu lagi!" sambungnya tidak main-main.Aku mendecih dengan senyum hambar, lalu berjalan mendekatinya. Kutatap Mamih dan Anitta bergantian."Dengar baik-baik ..." ucapku sambil mengusap pundak mertuaku, seakan membersihkan sesuatu."Saat kau bilang akan menikahi anakmu dengan gundik ini. Aku sudah tidak mengan
Meneguk kembali minuman kaleng yang tersisa sedikit. Dengan langkah gontai, aku menaiki tangga menuju kamarku. Meninggalkan Mas Daniel, yang tergolek lemah dimeja makan.Biarlah ... semoga ini yang terbaik. Semoga tidak ada yang mengganggu, jalan kema--tianmu, Mas!Menutup pintu dengan rapat lalu menguncinya. Berjalan menuju toilet, mengisi air dalam bathtub bersiap menenggelamkan tubuh lelahku didalamnya. Biasanya perasaanku menjadi lebih baik setelahnya.Membuka jendela kamar lebar-lebar. Seketika udara segar menyerang wajah dan indra penciuman. Melihat langit, banyak bintang yang berkelip indah dengan sang bulan disisinya.Lihatlah ... bahkan bulan selalu setia menemani bintang. Hah, hatiku kembali perih. Mengingat suamiku yang tidak setia.Pandanganku beralih pada pagar rumah yang terbuka setengah, tidak biasanya seperti itu. Apa Pama
"Mas, aku boleh minta tolong?" tanya Fiona saat aku keluar dari toilet. "Kenapa sayang?" jawabku sambil mengambil kemeja di dalam lemari, lalu memakainya. "Tolong setor uang ini ke bank yah .. hari ini aku sibuk banget," ucapnya sambil menunjuk amplop coklat besar. Semenjak pegawai terpercayanya, membawa lari uang penjualan mobil. Kini Fiona sendiri yang turun tangan mengurus semuanya. Dia bahkan lebih sibuk di banding aku. "Boleh ... apa sih yang enggak buat istri tercinta," sahutku sambil menerkam manja tubuhnya. Fiona tergelak melihat tingkahku, dengan gemas aku menciumi setiap inci wajahnya. Manatap dalam mata indah milik Fiona perlahan bibir kami berpagut dalam buaian syahdu. Walau pernikahan kami sudah memasuki usia lima tahun, rasa cinta tidak pernah ber
Terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku tersentak saat mendapati Anitta melingkari tangannya ditubuhku. "Apa yang terjadi!" teriakku panik, membuat Anitta menggeliat dari tidurnya. Anitta tersenyum dengan mata yang setengah terbuka. "Kau menjebakku!" seruku murka saat mendapati badanku hanya terlilit selimut yang sama dengannya. "Aku tidak menjebakmu, kau sendiri yang memohon untuk ini." ucapnya santai. "Arghh ... dasar brengsek!" Dengan sekali hentak, aku langsung bangkit mengambil kemeja dan celanaku yang tercecer di lantai. Dengan cepat ku pakai semua pakaianku lalu berjalan keluar kamar membanting pintu dengan keras. Memasuki mobil, tangan memukuli stir membabi buta. Merutuki
Sentuhan Anitta, kini bagai candu untukku. Sesuatu yang tidak bisa aku dapetkan dari Fiona. Anitta tau apa yang aku butuhkan, mengerti apa yang aku inginkan.Hubungan kami bahkan semakin lengket, hampir setiap hari bertemu. Memadu kasih.Tidak terasa hubungan terlarang ini memasuki bulan ke empat, dengan senyum genit Anitta menyodorkan alat tes kehamilan dengan garis dua."Selamat sayang, kamu akan jadi Ayah," ucapnya dengan suara mendesah."Ini.. beneran anak aku?" Tanyaku memastikan.Anitta memajukan bibir sensualnya. Mendekap dada dengan kedua tangannya, lalu memunggungiku"Fikirmu ini anak setan," ucapnya dengan suara ketus.Kurengkuh tubuh indah yang mampu membuatku berpaling. Lalu mencium tengkuk lehernya, membuat dia mendelik seketika.
Fiona menatapku dengan wajah dingin terkulum senyum, namun senyum itu terasa mengerikan. Membuat aku takut melihat wajahnya.Rasa aneh saat mata kami beradu tatap. Jelas mata itu mengisyaratkan kepedihan. Namun Fiona pandai menutupi itu semua.Apa yang harus aku lakukan. Fiona.. maafkan aku, aku benar-benar menyesal.Jeritan Anitta sangat jelas ditelinga, beberapa kali suara pukulan seirama dengan teriakannya. Rasa khawatir menyelisip dihati berharapa Anitta baik-baik saja, walau bagaimana pun kini dia telah mengandung anakku.Sebenarnya Fiona tidak mandul. Hanya sebelum meminangnya, Fiona mengajukan syarat. Dia mau menikah denganku, namun ia tidak mau memiliki anak. Saat kutanya alasannya dia menjawab."Aku tak ingin terbebani. Seorang anak, hanya akan menghambat masa depanku."Tegas sekali ucapannya kala itu