Share

Bab 4 - Pengorbanan.

Mas Daniel masih bersimpuh, di sertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.

 

Rusak sudah semua cintaku, Mas.

 

"Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon ..." ucapnya terbata-bata.

 

Siapa disini yang lebih tersiksa?

 

Bukankah aku? Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti.

 

"Aku akan melakukan apa pun. Kumohon ..." sambungnya lagi.

 

"Sudah kah?" tanyaku dengan suara datar.

 

Mas Daniel mendongkkan kepala, dengan mata penuh penyesalan.

 

"Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun." ucapku sambil menatap dalam matanya.

 

Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.

 

Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menyedihkan. Tapi ini belum seberapa dengan sakit hati yang kau toreh.

 

"Kalau merasa tak nyaman dengan sikapku. Kamu bisa pergi dari rumah ini," aku tersenyum sinis, sambil melangkah menaiki tangga. Meninggalkan, Mas Daniel dalam kehampaan.

 

Inginku akhiri semua ini, namun hatiku menahannya. Aku ... tak ingin menyesal seperti Ayah. Biarlah, semua mengalir seiring berjalannya waktu. Walau aku sendiri tak tahu, mau dibawa kemana hubungan ini.

 

Sebulan ini Mas Daniel menunjukan perhatian secara berlebihan, dia akan mengantarku berangkat ke kantor dan menjemputku pulang. Walau kami dalam mobil yang berbeda.

 

Segala cara dia lakukan untuk merebut hatiku kembali. Namun hatiku seolah membeku walau sekedar bicara dengannya.

 

Drett ... drett!

 

Gawaiku berbunyi saat aku hendak menyantap sarapan. Kuambil benda pipih di dalam tas, lalu menjawab panggilan masuk.

 

"Ya, Mam?" ucapku sambil menempelkan benda pipih di telinga.

 

"Fi ... kerumah, Mamih sekarang." ucap tegas suara perempuan diujung telpon.

 

"Ada perlu apa?" tanyaku sambil meneguk susu putih yang ada di depanku.

 

"Sudah datang saja, ajak Daniel juga. Mamih tunggu," panggilan langsung terputus, tanpa menunggu jawabanku.

 

Cih ... Mamih dan anak sama saja, selalu sesuka hati dan tak punya etika.

 

"Siapa?" tanya Mas Daniel yang baru keluar dari kamarnya, tangannya sibuk memakai jam tangan.

 

"Mamih," jawabku singkat.

 

Mas Daniel bergeming dengan raut wajah pias, namun dia cepat menguasai diri. Sedikit mengulas senyum lalu menarik kursi dan duduk didepanku.

 

"Ada apa?" tanyanya ragu-ragu.

 

"Kita disuruh kerumah sekarang," balasku sambil menaruh pisau dan garpu di atas piring.

 

"Oh yah, kalau kamu sibuk tidak usah datang." ucapnya dengan suara tenang.

 

Tingkahnya membuatku curiga, aku tau sesuatu yang tidak benar jelas terjadi. Melihat tangannya terus mengepal, seperti itulah saat dia sedang menahan ketegangan.

 

"Aku akan datang. Habiskan sarapanmu," titahku membuatnya terkejut.

 

"Oh ... baiklah," balasnya dengan senyum kaku.

 

Mas Daniel memulai sarapan dengan sangat lambat, seolah ingin mengulur waktu.

 

"Pakai mobilku saja," ucapnya sambil membuka pintu mobil, berharap aku masuk ke dalamnya.

 

"Tidak perlu. Aku masih banyak kerjaan, tempat kerja kita berbeda." ucapku tegas dan melewatinya menuju mobilku.

 

Mas Daniel tersenyum getir kearahku, dengan gerakan pelan dia kembali menutup pintu.

 

Mobil berhenti di rumah dua lantai bercat putih gading. Bunga warna-warni bermekaran di taman, rumput hijau tertata rapih dengan air mancur menari-nari di kolam ikan. Membuat sejuk siapapun yang memandang.

 

Aku melangkah memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar. Mataku terpaku, melihat gundik suamiku bercucuran air mata sambil memeluk kaki, Mamih mertuaku.

 

Dasar gundik, tak punya malu. 

 

"Ayo masuk sayang," ucap Mas Daniel sambil menarik lembut tanganku.

 

Aku masih bergeming melihat, Anitta yang menoleh ke arahku dengan senyum kemenangan.

 

Mata Mas Daniel mengikuti pandanganku. Jelas sekali dia sangat terkejut dengan apa yang dia lihat.

 

"Daniel, Fiona. Masuklah," suara Mamih memecahkan lamunanku.

 

Memasuki rumah dengan hati yang berdebar. Entah apa yang direncanakan, Anitta. Pandanganku beralih pada sosok perempuan setengah baya yang duduk di sofa samping Mamih, tangannya sibuk mengusap air mata dengan tatapan menyedihkan ke arah, Mas Daniel.

 

Waw ... sepertinya akan terjadi drama yang sangat dramatis. Dengan aktris berpengalaman, aku sangat mengenal sosok perempuan setengah baya itu. Mata duitan dan selalu mengagungkan uang.

 

Di sudut ruangan terlihat, Papih mertua sedang mengepulkan asap dari mulutnya. Dan Arina, Kakak iparku duduk agak jauh dengan Mamih.

 

Kuhempasakan bobot di sofa panjang, mencoba bersikap biasa saja dan setenang mungkin.

 

"Daniel duduk!" titah Mamih dengan suara tinggi.

 

Mas Daniel melihat Anitta dengan tatapan tak suka, lalu menghempaskan bobot di sampingku.

 

"Anitta tengah mengandung anak, Daniel. Mereka harus segera di nikahkan. Sebelum aib ini menyebar kemana-mana," ucap Mamih tanpa basa-basi, matanya tajam mengarahku.

 

"Mamih dengar kamu sudah tau. Bagaimana menurutmu, Fiona?" sambungnya lagi tanpa berkedip ke arahku.

 

"Kalau memang begitu, menikahlah. Aku tidak akan menghalangi," balasku dengan tatapan dingin.

 

"Namun sebelumnya, Daniel harus menceraikan aku." pandanganku beralih pada Mas Daniel.

 

Mas Daniel menggeleng mantap, tangannya langsung menggenggam kedua tanganku.

 

"Kemarin aku sudah memberi uang dua puluh juta padamu, dan kau setuju untuk mengguguran kandungan itu." mata Mas Daniel menatap murka pada, Anitta.

 

Anitta menggeleng kuat sambil memegangi kaki Mamih. Tangisnya mengeras dengan isakan menyayat hati. Ck, bikin muak!

 

"Gila kamu Daniel, ingin membunuh anakmu sendiri!" teriak Mamih dengan wajah garang.

 

"Mamih tidak akan mengizinkan, Anitta menggugurkan kandungannya. Mamih sudah lama ingin menimang cucu darimu," sambung Mamih dengan dada naik turun. Wajahnya merah padam menahan amarah.

 

"Maaf Mas, aku tidak bisa. Aku lebih memilih mempertahankan dia," Anitta mengelus perut yang mulai sedikit buncit.

 

"Akanku kembalikan uangmu, aku tak butuh itu semua." ucapnya sambil terisak.

 

"Memiliki dua istri tidak berdosa, Agama menghallal-kan. Mamih yakin kamu bisa berbuat adil," suara Mamih melemah, dia memandangiku dengan sorot meremehkan.

 

"Sudah lima tahun menikah, Fiona tak pernah menunjukan tanda-tanda kehamilan. Mamih harap Fiona bisa mengerti," ucapnya tanpa meraba perasaanku, membuat gemuruh di dalam dada meruak. Aku hanya tersenyum getir menanggapi ucapan, Mamih.

 

"Aku dan Mas Daniel saling mencintai, kamu tidak berhak menghalangi hubungan kami. Terlebih aku sedang mengandung buah hatinya," sahut Anitta dengan senyum mengejek.

 

"Sudah kubilang. Aku tidak pernah menghalangi, menikahlah ..." balasku dengan senyum manis yang kupunya. Aku malah bersyukur jika terlepas dari, Mas Daniel.

 

"Tidak ... lebih baik aku kehilangan anak itu, dari pada harus berpisah denganmu." ucap Mas Daniel tegas.

 

Mata Anitta memerah, jelas sekali dia merasa terhina oleh ucapan Mas Daniel.

 

Janin yang dia banggakan, kini tidak berarti apa-apa di mata suamiku.

 

"Daniel. Jaga ucapanmu!" teriak Mamih dengan wajah garang.

 

Tiba-tiba wanita paruh baya yang sejak tadi terisak berlutut di hadapanku, air matanya bercucuran membasahi pipi.

 

"Ibu mohon, Nak. Izinkan Anitta menikah dengan, Daniel. Kasihanilah kami ..." ucapnya sambil mengiba kepadaku.

 

"Ibu ... jangan merendah di hadapannya!" sembur Anitta sambil menarik tangan, Ibunya.

 

Namun si Ibu menepis tangan anaknya. Dia kembali meratap ke arahku.

 

"Seorang Ibu akan melakukan apa pun demi anaknya. Kamu akan mengerti nanti!" sergahnya.

 

"Apa aku harus mencium kakimu, agar kamu bisa menerima Anitta?" ucapnya sambil memohon dengan tatapan nanar.

 

"Ibu!!" sentak Anitta.

 

"Semua akan aku korbankan, demi kebahagiaan anakku. Tidak peduli jika harus merendahkan diri." sambungnya dengan isak tangis sambil menundukkan kepala. Terlihat sangat menyedihkan.

 

"Baiklah ..." ucapku sambil tersenyum, mataku menatap satu demi satu orang yang ada di ruangan ini.

 

"Ciumlah, kakiku ..." aku menyilangkan kaki di depan Ibu Anitta, sontak membuatnya mengangkat kepala. Dia menatapaku nanar seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.

 

Semua mata tertuju padaku, mata Mamih dan Anitta terbelalak kaget melihatku. Mereka tau aku tidak pernah main-main dengan apa yang aku ucapkan.

 

"Ciumlah ... tunjukan pengorbananmu," ucapku dengan suara lembut.

 

Aku menggerak-gerakan kaki, sambil mengangguk pasti. Agar Ibu Anitta segara menciumnya.

 

***Ofd.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Muhamad Seno Untoro
seru juga ka ceritanya
goodnovel comment avatar
Nur Fatimah
dasarr.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status