Share

Bab 6 - Muak.

Apa dia sedang bercanda?

 

Aku disuruh mengurus gundik suamiku? Yang benar saja.

 

"Kalau, Mamih yakin dia sedang mengandung cucumu. Kenapa tidak, Mamih sendiri saja yang pelihara. Bukankah rumah ini cukup luas?" balasku dengan senyum sinis.

 

"Berani kamu membantah, Mamih!!" sengit Mamih. Netranya membesar seakan mau keluar dari tempatnya.

 

Aku balas dengan tatapan dingin, sedingin hatiku. Kini.

 

"Sekali lagi berani menyahut, kau tidak aku anggap menantu lagi!" sambungnya tidak main-main.

 

Aku mendecih dengan senyum hambar, lalu berjalan mendekatinya. Kutatap Mamih dan Anitta bergantian.

 

"Dengar baik-baik ..." ucapku sambil mengusap pundak mertuaku, seakan membersihkan sesuatu.

 

"Saat kau bilang akan menikahi anakmu dengan gundik ini. Aku sudah tidak menganggapmu mertua lagi." ucapku dingin, sambil menatap lekat netra, Mamih.

 

"Rumahku bukan tempat penampungan. Enak aja!" sambungku penuh emosi.

 

Muka Mamih merah redam, bisa kudengar suara gemeletuk dari giginya. Dengan cepat tangannya melayang diudara, bersiap mendarat di pipiku.

 

Namun sebelum semua itu terjadi dengan sigap aku menahan dan mencengkram erat tangannya. Lalu menghempas kuat hingga tubuhnya hampir jatuh, kalau saja Anitta tidak menahannya.

 

Aku harus segera pergi dari sini, sebelum tongkat baseball sayanganku kembali melayang.

 

Hanya demi gundik itu, Mamih yang selalu bersikap baik padaku. Kini berubah seratus delapan puluh derajat. Sulit dimengerti!

 

Berjalan meneruskan langkah, tanpa peduli tatapan sinis dari semua orang.

 

"Daniel ... mau kemana ka--" teriak Mamih saat Mas Daniel mengikutiku.

 

"Sudah Mih, aku pusing!" selanya sambil berlari kecil ke dalam mobilnya.

 

Kulihat dari dalam mobil, Anitta nampak merajuk dan kembali menangis.

 

Ckckck, dasar manusia tidak waras!

 

Aku mau tau, sepicik apa rencana Anitta selanjutnya.

 

Mobil berhenti di dealer milikku. Berjalan tergesa dan menganggukan kepala saat melewati beberapa pegawai.

 

Dengan gusar aku menduduki kursi kerjaku. Lalu menyenderkan tubuh. Memijat pelipis yang berdeyut sakit mengingat kejadian tadi.

 

Mengapa jadi serumit ini, seharusnya Anitta bersyukur. Aku tidak mengganggunya. Pikirku dia akan jera saat, Paman ikut campur dalam masalah ini.

 

Hah ... gundik itu, pasti mengiginkan lebih dari sekedar uang dua puluh juta. Dengan menggunakan ke hamilannya, dia ingin memiliki Mas Daniel dan hidup berkecukupan. Pastinya.

 

Apa aku harus melepas, Mas Daniel?

 

Ah ... menurutku itu terlalu mudah. Dia akan hidup bahagia dengan gundiknya, sementara aku? Tersiksa dengan perasaan, meratapi luka di hati.

 

Sekelebat bayangan masa lalu menari-nari di kepala. Membuat denyut semakin parah. Menarik nafas dalam-dalam, perlahan membuangnya. Berharap terbuang pula sesak di dalam dada.

 

Aku pandangi gambar pada bingkai kecil. Di dalamnya terlihat aku sedang menyenderkan kepala di bahu, Ayah dengan senyum yang merekah.

 

Tak terasa cairan hangat membasahi pipi. Mataku terpejam perih seiring dengan degup jantung yang tidak beraturan.

 

Aku ... kembali terisak.

 

"Ayah ... apa yang harus aku lakukan?" bisikku perih

 

  ***ofd.

 

Mengejrapkan mata, saat terdengar suara ketukan dari luar. Terlalu lelah, aku sampai tertidur disini.

 

"Ya." sahutku dengan suara serak.

 

"Bu ... saya bawa nasi goreng kambing kesukaan, Ibu." ucap Dinda pegawaiku saat pintu terbuka.

 

Melirik arloji ditangan, mataku membulat di buatnya.

 

"Ya ampun, sudah jam tujuh malam?" ucapku tak percaya.

 

"Iya Bu, sudah malem ini," sahut Dinda sambil menaruh kotak makan di atas meja.

 

"Sudah dibayar belum, Din?" tanyaku saat membuka kotak itu.

 

"Belum, Bu." jawab Dinda malu-malu.

 

Aku mengambil tas kecil lalu mengeluarkan dompet, mengambil tiga lembar uang berwarna merah.

 

"Nih bayar ..." ucapku sambil menyodorkan uang.

 

"Ke banyakan Bu, harganya cuma dua puluh tiga ribu."

 

"Tidak apa-apa, beliin juga pegawai yang lain. Sisanya buat kamu," ucapku sambil menyuap nasi goreng kedalam mulut.

 

Oh tidak, aku sangat lapar. Mengingat hanya sarapan pagi tadi, pantas saja perutku terasa perih.

 

Mata Dinda berbinar seketika, dengan cepat dia menganggukan kepala lalu melangkah pergi.

 

Aku suka dengan kepeduliannya. Padahal aku tidak pesan, dia langsung berinisiatif membeli makan untukku.

 

Dengan cepat kuhabiskan makananku, lalu membersihkan diri.

 

"Saya duluan," pamitku pada, Dinda dan pegawai yang lain.

 

"Iya Bu, hati-hati." jawab mereka kompak.

 

Berjalan menuju parkiran, kulihat Mas Daniel sudah menyender di depan mobilku sambil memainkan gawai.

 

Menghidupkan alarm mobil, membuat dia langsung menengok kearahku.

 

"Fi ..." sapanya dengan senyum kaku.

 

Aku hanya melewatinya, tak peduli sapa'an dan wajah lesunya.

 

Langsung masuki mobil dan tancap gas, menuju rumah. Kulihat dari kaca spion, Mas Daniel mengikuti dari belakang.

 

"Fi ... kita perlu bicara," ucap Mas Daniel saat aku dengan tergesa memasuki rumah.

 

Aku meliriknya tajam lalu berjalan menuju dapur. Membuka kulkas, mengambil minuman kaleng lalu meneguknya cepat.

 

"Apa lagi yang harus di bicarakan?" ucapku sambil menaruh kasar minuman kaleng diatas meja makan. Menarik kursi lalu menghempaskan bobot diatasnya.

 

"Aku, tidak akan menikahinya." ucapnya sambil duduk di hadapanku.

 

Aku menatapnya lurus, dengan tatapan kosong. Entah omong kosong apa lagi, yang akan terlontar dari bibirnya.

 

"Bukankah kamu menginginkan bayi?" tanyaku kemudian.

 

"Sekarang tidak lagi," ucapnya tegas.

 

"Kau berjanji akan menikahinya," sahutku datar.

 

"Aku hanya main-main. Tidak lebih." Mas Daniel mencoba meyakinkan.

 

"Apa kita harus berpisah?"

 

"Fi ... kumohon, jangan dibahas lagi. Biar dia menjadi urusanku," jawabnya dengan wajah memelas.

 

Aku membuang nafas kasar. Kembali meneguk minumanku.

 

"Hubungan kita sudah membaik belakangan ini. Mari, kita mulai semuanya dari awal." pintanya dengan wajah memelas.

 

"Aku sudah tidak tertarik. Keluargamu membuatku muak." jawabku tak acuh.

 

"Akan kuperbaiki semuanya. Aku janji," ucapnya serius.

 

"Jangan berjanji, kau tidak akan bisa menepatinya." sahutku datar.

 

Dulu kamu selalu berjanji untuk membahagiakan aku. Tapi nyatanya, kau menusuk seribu belati hatiku. Perih!

 

"Aku mohon ... aku akan melakukan apapun. Asal kita bisa seperti dulu." ucapnya dengan mata berembun.

 

Mengapa kamu begitu menyedihkan, Mas. Apa kamu sesakit itu, jika kita berpisah?

 

Apa kamu benar khilaf dan mencintaiku. Atau kamu hanya takut kehilangan tambahan modalmu?

 

Ah ... sakit sekali rasanya, mengingat kamu meminta uangku. Lalu menghamburkannya dengan gundik itu.

 

"Aku tidak butuh omong kosong dan janji manismu. Jika serius lakukan sesuatu, untuk meyakinkanku." mata ini menatap tajam kearah, Mas Daniel. 

 

Senyumnya mengembang mendengar ucapanku, sebuah harapan terpancar jelas di matanya.

 

"Semua akan kulakukan untukmu, sayang ..." ucapanya dengan senyum lebar.

 

Perlahan aku mengambil sesuatu yang selalu tersimpan didalam tas, lalu menaruhnya diatas meja makan. Dan menyeret pelan benda itu tepat didepan Mas Daniel.

 

"Untuk apa ini?" tanyanya dengan alis yang mengkerut.

 

"Untuk membuktikan semua janjimu, bukankah kamu mau memulai semuanya?" jawabku datar.

 

"Cutter? Lalu apa lagi?" tanyanya dengan wajah bingung.

 

"Po--tong urat nadimu. Aku akan kembali seperti dulu," suaraku terdengar lirih, namun kuyakin Mas Daniel bisa mendengarnya.

 

Mas Daniel terkekeh mendengar ucapanku. Lalu menatapku dengan tatapan sendu.

 

"Kamu jangan bercanda," ucapnya kemudian.

 

"Apa aku terlihat seperti itu? Aku tidak main-main," ucapku dengan senyum miring.

 

"Hanya itu satu-satu nya cara, agar aku bisa kembali padamu."

 

Mas Daniel nampak menarik nafas, dia menelisik wajahku. Aku balas dengan tatapan dingin tanpa expresi.

 

"Baiklah, kurasa kamu tidak serius. Kamu seperti yang lain, hanya besar omongan saja!" sambungku sambil mengulurkan tangan hendak mengambil cutter, yang ada dihadapannya.

 

Dengan cepat tangan Mas Daniel meraih cutter itu, menggeser keatas hingga si-letnya keluar.

 

Matanya memerah menatap mataku, dengan gerakan cepat si-let cutter mengg--ores pergelangan tangannya.

 

Tetesan darah perlahan keluar membasahi meja makan. Mas Daniel masih menatapku dengan mata sayu, bibirnya memucat. Lalu ambruk seketika.

 

Kurasa ini lebih baik untukmu, Mas. Dari pada terus hidup hanya untuk membohongiku.

 

Seorang pengkhianat, akan mengulang perbuatannya dilain waktu. Aku tak ingin kamu mengulang hal yang sama.

 

***Ofd.

 

Cadassss, penasaran?

 

Kuyyy baca bab berikutnya!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
saya suka cewek yang kuat kayak di cerita ini bisa bertindak bar bar untuk orang orang yang mengkhianati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status