"Mas, aku boleh minta tolong?" tanya Fiona saat aku keluar dari toilet. "Kenapa sayang?" jawabku sambil mengambil kemeja di dalam lemari, lalu memakainya. "Tolong setor uang ini ke bank yah .. hari ini aku sibuk banget," ucapnya sambil menunjuk amplop coklat besar. Semenjak pegawai terpercayanya, membawa lari uang penjualan mobil. Kini Fiona sendiri yang turun tangan mengurus semuanya. Dia bahkan lebih sibuk di banding aku. "Boleh ... apa sih yang enggak buat istri tercinta," sahutku sambil menerkam manja tubuhnya. Fiona tergelak melihat tingkahku, dengan gemas aku menciumi setiap inci wajahnya. Manatap dalam mata indah milik Fiona perlahan bibir kami berpagut dalam buaian syahdu. Walau pernikahan kami sudah memasuki usia lima tahun, rasa cinta tidak pernah ber
Terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku tersentak saat mendapati Anitta melingkari tangannya ditubuhku. "Apa yang terjadi!" teriakku panik, membuat Anitta menggeliat dari tidurnya. Anitta tersenyum dengan mata yang setengah terbuka. "Kau menjebakku!" seruku murka saat mendapati badanku hanya terlilit selimut yang sama dengannya. "Aku tidak menjebakmu, kau sendiri yang memohon untuk ini." ucapnya santai. "Arghh ... dasar brengsek!" Dengan sekali hentak, aku langsung bangkit mengambil kemeja dan celanaku yang tercecer di lantai. Dengan cepat ku pakai semua pakaianku lalu berjalan keluar kamar membanting pintu dengan keras. Memasuki mobil, tangan memukuli stir membabi buta. Merutuki
Sentuhan Anitta, kini bagai candu untukku. Sesuatu yang tidak bisa aku dapetkan dari Fiona. Anitta tau apa yang aku butuhkan, mengerti apa yang aku inginkan.Hubungan kami bahkan semakin lengket, hampir setiap hari bertemu. Memadu kasih.Tidak terasa hubungan terlarang ini memasuki bulan ke empat, dengan senyum genit Anitta menyodorkan alat tes kehamilan dengan garis dua."Selamat sayang, kamu akan jadi Ayah," ucapnya dengan suara mendesah."Ini.. beneran anak aku?" Tanyaku memastikan.Anitta memajukan bibir sensualnya. Mendekap dada dengan kedua tangannya, lalu memunggungiku"Fikirmu ini anak setan," ucapnya dengan suara ketus.Kurengkuh tubuh indah yang mampu membuatku berpaling. Lalu mencium tengkuk lehernya, membuat dia mendelik seketika.
Fiona menatapku dengan wajah dingin terkulum senyum, namun senyum itu terasa mengerikan. Membuat aku takut melihat wajahnya.Rasa aneh saat mata kami beradu tatap. Jelas mata itu mengisyaratkan kepedihan. Namun Fiona pandai menutupi itu semua.Apa yang harus aku lakukan. Fiona.. maafkan aku, aku benar-benar menyesal.Jeritan Anitta sangat jelas ditelinga, beberapa kali suara pukulan seirama dengan teriakannya. Rasa khawatir menyelisip dihati berharapa Anitta baik-baik saja, walau bagaimana pun kini dia telah mengandung anakku.Sebenarnya Fiona tidak mandul. Hanya sebelum meminangnya, Fiona mengajukan syarat. Dia mau menikah denganku, namun ia tidak mau memiliki anak. Saat kutanya alasannya dia menjawab."Aku tak ingin terbebani. Seorang anak, hanya akan menghambat masa depanku."Tegas sekali ucapannya kala itu
Samar-samar terdengar suara Mamih membicarakan sesuatu, seperti menyebut-nyebut namaku. Aku yakin, sekarang akulah yang menjadi bahan ocehannya. Kembali menutup pintu, malas jika harus beradu urat ditempat ini.Berjalan dalam hening kehampaan, menyesal mengikuti kata hati. Daniel sudah terjerat dalam perangkap Anitta, mungkin akan sulit untuk terlepas.Melihatnya terlalu gigih dalam membujuk hatiku belakangan ini, membuat hati sedikit terbuka. Beribu sesak menjejal direlung hati, meminta untuk ditumpahkan. Entah pada siapa aku berbagi kepiluan ini."Kak, Fiona?" Suara tidak asing mengusik lamunanku."Ngapain bengong disini?" Ucapnya lagi."Dara?" Sahutku saat menoleh kesumber suara.Seorang gadis berusia 20 tahun menggendong ransel besar, tersenyum manis kearahku."Udah lama ga ket
"Ehm ..." kukeraskan suara, berjalan dengan anggun menuju sofa mahal yang diduduki Mamih.Suara yang semula riuh mendadak sunyi. Kini semua mata tertuju padaku, kubalas dengan senyum termanis yang kupunya."Permisi ... silahkan bangun dari tempat duduk saya," ucapku saat berhenti disofa tunggal yang Mamih duduki.Mamih mencebik mendengar ucapanku, dengan hentakan kaki dia bangkit dari duduknya."Lihat istrimu Dan, sama mertua tidak ada sopan-sopannya." rungutnya sambil menghempaskan bokong disamping Papih.Takku hirau kan ocehan dan tatapan sinis itu, aku mengambil sapu tangan didalam tas, mengebuti sofa dengan expresi jijik. Lalu duduk diatasnya dengan kaki menyilang."Ada perlu apa, tumben sekali kalian menyambangi rumahku berbarengan seperti ini?" ucapku sambil melempar sapu tangan di sembarang tempat.
Bik Inah datang membawa nampan berisi beberapa camilan. Sebelum meletakan itu semua diatas meja. Aku langsung bangkit dari sofa."Tak perlu Bik, bawa kembali makanan itu. Mereka sudah mau pulang," ucapku sambil mengipas tangan diudara.Bik Inah menatapku dengan alis mengkerut. Dia melihat semua orang diruangan ini, sadar suasana tegang menyelimuti kami semua. Bik Inah menggangguk saat pandangannya berhenti kearahku."Bukan begitu, Mam?" tanyaku sambil melengkungkan bibir."Kau mengusir kami?" balas Mamih dengan bibir mengencang."Kurasa, tidak ada lagi yang harus di bahas."Dengan sekali hentak Mamih bangkit dari duduknya, disusul Papih juga Arina."Dasar menantu tidak tahu diri, menyesal aku menikahkan kau dengan Daniel!" sungutnya sambil mencebik kearahku.Aku terkekeh ringan mendengar ocehannya. Kutantang mata tua, yang dulu selalu kusegani."Bik Inah!" teriak Mamih."I..
Sepanjang malam, kubiarkan Mas Daniel memeluk tubuhku. dengkuran halus yang kurindukan kini kembali terdengar. Rona bahagia tergambar jelas diwajah lelapnya.Lihatlah, kau bahkan bisa tertidur pulas, setelah apa yang terjadi.Hah ... memandangi wajah tampan suamiku, membuat hati berdenyut nyeuri. Andai kau tak mendua, sudah pasti aku bahagia. Semua kenangan indah menari-nari diingatan, membuat air mata mengalir membasahi pipi. Disaat sendiri, dalam keheningan malam, terkadang aku serapuh ini.Setegar apapun aku, aku akan menangis jika hati tersakiti. Lucu sekali, bukan?Beringsut pelan menuruni ranjang, berjalan menuju balkon. Membuka sedikit jendela, memandangi bulan yang masih setia menemani bintang."Ayah ... kini aku tahu perasaanmu," bisikku lirih.Hati kembali perih, bayangan masa lalu terlihat jelas dalam ingatan. Saat usia 13 tahun, aku dan Ayah mendapati Bunda berselingkuh dirumah kami sendiri. Ayah kal