"Ardan ..." sedikit aku menepuk tangannya, membuat Ardan langsung menoleh kearahku."Maaf, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan menonton acara ini," ucapku dengan senyum tipis. "Kalau kamu masih mau nonton, tidak masalah, tapi saya mau keluar sekarang." sambungku tegas.Ardan menatapku lekat, lalu mengangguk-anggukan kepalanya. Entah dia setuju atau tidak."Baiklah ... kita keluar bersama, aku mendadak laper," ucapnya sambil memamerkan deretan giginya lalu menepuk-nepuk perutnya.Aku meringis melihatnya, ketara sekali bahwa dia memaksakan diri. Aku bangkit dari kursi meninggalkan ruangan gelap ini disusul oleh Ardan dibelakangku. Bisa aku rasakan, dua bola mata elang itu mengekori langkahku."Saya ketoilet sebentar ya." ucapku dibalas dengan anggukan kepala oleh Ardan, lalu aku berjalan menuju toilet.Sejujurnya aku merasa tak enak hati pada, Ardan. Namun aku risih, saat mendapati mata Mas Daniel terus saja menatapk
Sepulangnya Pak Karim dari rumah, bibirku terus terkulum senyum. Wajah Yasir kini menari-nari dikepala membuat hati terasa ditumbuhi bunga-bunga.Ahh ... mengapa aku seperti anak ABG yang sedang kasmaran.Inikah yang dinamakan cinta? Atau hanya rasa senang sesaat?Entahlah hanya Tuhan yang tahu, karna akupun masih bingung dengan isi hatiku.Kuhempaskan tubuh dipembaringan, mata menatap sendu langit-langit kamar yang terlihat lebih indah dari biasanya. Bisa dibayangkan, jika hanya melihat langit kamar saja terasa indah. Apa lagi kalau aku memandang, Yasir."Aaaa ...."Kaki meronta-ronta, kedua tanganku menelekup wajah."Ahh ... aku malu!" batinku berteriak, kepala menggeleng dengan kuat.Pipi terasa hangat, aku mencoba mengatup kedua bibir demi untuk menahan senyum.Sekali hentak, aku bangkit dari ranjang dan duduk bersandar disisinya. Meraih guling lalu memeluknya dengan gemas.
Pov Yasir."Gimana cantik bukan?" tanya wanita setengah baya dengan tatapan lembut penuh harap. Tangannya dengan semangat menyodorkan lembaran foto didepanku."Ayok dong dilihat, kok diam aja sih." rungutnya saat menyadari aku tidak bergerak sama sekali.Aku mende-sah lelah, Ibu masih saja seperti ini. Dengan malas, akhirnya tangan menggapain kertas bergambar wanita itu."Dia anak teman Ibu waktu SMA, kebetulan dia baru saja lulus kuliah. Kalian bisa pendekatan sebelum menikah," cerocosnya bersemangat, wajahnya berseri-seri saat bercerita."Bu ... sudahlah, aku bisa cari sendiri." balasku sambil menaruh kembali foto itu diatas meja.Air wajah Ibu nampak berubah, alisnya menaut tanda tidak menerima ucapanku."Yasir ... apa kamu tidak ingat umur? Di usiamu yang sudah kepala tiga ini, seharusnya kamu sudah memberikan Ibu seorang cucu." bibir wanita yang sangat aku sayangi itu sedikit mencucut, dan mencebik kea
Mata Mang Karim menyipit lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yasir ... Yasir," gumamnya lalu bangkit dari kursi.Aku tersenyum kaku, kulihat Sintia terkekeh kecil sambil menutup bibirnya dengan satu tangan."Ayo Dek, sudah siang. Nanti telat," ajakku sambil merapihkan tumpukan piring dan menaruhnya diwastafel.Setelah mengantar Sintia pergi sekolah, motor langsung menuju rumah, Fiona. Sebelumnya aku berhenti dahulu untuk membeli sesuatu. Sepanjang perjalanan aku bersiul riang, entah demi apa aku seperti ini."Paman ..." sapaku riang, Paman menggangguk kepala. Tanpa disuruh aku langsung duduk disampingnya.Paman menatap heran, kubalas dengan senyum manis yang kupunya. Aku seperti bayi yang baru saja terlahir, hariku terasa lebih bersemangat saat ini.Paman menampilkan wajah sangarnya, mungkin dia tidak suka dengan sikap sok akrabku ini. Namun sekali lagi, kubalas tatapan sangar itu dengan senyuman. Walau wajah Paman
Malam terasa sunyi, kupandangi ponsel dengan nomer kontak bernama, Non Fio. Ingin sekali mengirim pesan, dan mengabari bahwa aku harus pergi menjalankan tugas dan memperdalam ilmu kedokteran di Negeri seberang.Namun aku tak punya nyali, deretan kalimat yang sudah susah payah terangkai dilayar pipih, kembali kuhapus begitu saja."Yas ..." pintu kamar terbuka sedikit, kepala Ibu menyembul dibaliknya.Aku menghela nafas, menaruh gawai di atas nakas. Lalu menegapkan badan dikursi samping ranjang depan jendela."Iya Buk?" balasku sambil tersenyum ramah kearahnya.Ibu menatapku sendu, sorotnya seolah menyampaikan permohonan maaf. Ibu merasa bersalah, dengan keputusan yang dibuat, Aryani."Maafkan Ibu Yas ... Ibu tak menyangka akan berakhir seperti ini," ucapnya dengan suara tersendat. Perlahan Ibu melangkah mendekat dan duduk disisi ranjang.Aku tersenyum simpul, lalu mengeratkan jemariku ditangannya. "Yasir tid
Motor berhenti diperkarangan rumah, Paman langsung turun dan berdiri tegak lalu mengedarkan pandang kesetiap sudut halaman."Masuk, Paman." titahku sambil berjalan kecil memasuki rumah. Diikuti oleh Paman dibelakangku."Asalamuallaikum ..." salamku sambil membuka pintu, yang terbuka setengah.Suara Bik Titi terdengar dari dalam, berlari kecil menyambut kedatanganku."Eh ... Mas Yasir," ucapnya dengan senyum."Bik, siapkan makanan untuk tamu special saya." ucapku sambil mengedipkan sebelah mata, lalu melirik Paman.Bik Titi nampak melongok kebelakangku, saat mendapati sosok Paman, Bik Titi nampak membulatkan mata."Masak yang enak, Bik." ucapku mengagetkannya."Eh iya .., iya Mas." sahutnya gagap lalu berjalan tergesa menuju dapur."Silahkan duduk, Paman."Paman mengangguk tegas lalu menghempaskan bobot diatas sofa. Pandangannya menyapu setiap sudut rumah ini, hingga terhenti
"Hah?"Bibir Fiona terlihat menganga, sorotnya menatapku tak percaya. Dia tertawa kecil sesaat, lalu memandangku tajam."Maksudmu?" ucapnya dengan mimik serius."Iya," kepalaku mengangguk tegas. "Saya ingin kamu menjadi bagian dalam hidup saya."Fiona masih bergeming, jemarinya manaut satu sama lain."Saya tahu ini bukan sesuatu yang mudah bagi kamu, kita akan saling mengenal dalam waktu tiga bulan. Jika Non tidak yakin, Non bisa mengembalikan cincin itu pada saya. Jika Non yakin, Insha Alloh saya akan segera menghallalkan, Non Fiona." jelasku dengan tenang, walau jantung berdetak tak beraturan.Mata Fiona berkedip-kedip, dia mengatup bibirnya sambil menatapi cincin yang berteger diatas meja. Jika perempuan lain akan menangis dan terharu, expresi Fiona malah sebaliknya. Dia terlihat bersusah payah menutupi binar bahagianya, walau rona wajahnya tak menutupi dia sedang senang saat ini."Bagaimana?" tanyaku de
Pov Fiona.Dasar konyol ....Yasir, Yasir ... mengapa kamu begitu menggemaskan.Melamarku, tidak ada romantis-romantisnya. Memasang cincin pun salah sasaran. Kurasa dia sudah cukup berumur, apa aku adalah wanita pertama yang membuatnya berdebar?Hmm ... kurasa tidak?Ahh!!Mengingat itu pipiku langsung menghangat dibuatnya. Aku bahkan belum tahu tentang hidupnya, latar belakangnya dan juga pekerjaannya.Kenapa bisa dengan mudahnya aku memakai cincin ini?Apa iya ... aku tidak masalah bersuamikan supir? Sepertinya aku harus mencari tahu dulu, tiga bulan aku rasa cukup untuk mengenalnya dan mengambil keputusan.Kupandangi cincin yang terlihat sederhana ini dijemari manisku. Bibirku terkulum sendiri, mengingat Yasir dengan wajah berserinya.Hhhh.***ofd.Pagi sekali mata sudah terbuka, meregangkan seluruh otot lalu melangkah menuju toilet. Kepala masih ter