Perjalanan pulang ke rumah lancar tanpa kendala. Paman pun sudah sigap di pintu pagar, sementara Bik Inah menyambut kepulanganku dengan suka cita.
"Non ..." teriak, Bik Inah dengan mata berkaca-kaca, aku hanya tersenyum menanggapinya."Bibik sampai kangen," tuturnya seraya meraih koper yang ada di tangan Mas Yasir."Sama aku kangen tidak, Bik?" goda Mas Yasir.Bik Inah terkekeh geli mendengarnya. "Paman yang kangen Mas, tidak ada teman main catur," balas Bik Inah."Paman sehat?" tanya suamiku seraya menjabat tangan Paman."Sehat." jawab Paman dengan badan tegap dan anggukkan kepala."Saya masuk duluan ya, Paman." pamit Mas Yasir sambil menyeret koper miliknya. Sementara koper milikku dibawa oleh, Bik Inah.Waktu menunjukkan pukul 16:00, setelah membersihkan badan Mas Yas langsung tepar berbaring diatas ranjang. Aku meregangkan otot, merasakan badan yang mulai terasa capek dan pegal-pegal. Saat in"Kamu Eva?"Wajah imut dengan make-up tipis itu nampak tersentak, aku bahkan bersuara dengan lembut."Eh ... I-ya, Mbak." ucapnya gugup, wajahnya terlihat sekali tak nyaman saat aku jalan mendekatinya."Saya, Fiona. ISTRI, Dokter Yasir." sengaja aku menekan kalimat terakhir, untuk mengingatkan, barang kali dia lupa."I-ya, Mbak Fiona." ucanya ragu-ragu, perlahan wajahnya terangkat melihat wajahku. Tanpa buang waktu aku pamerkan senyum termanisku, dengan wajah bersahabat."Sudah lama jadi asisten suami saya?" tanyaku sambil bersedekap dada, mata mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala, membuat dia terlihat salah tingkah.Seragam hijau tosca dengan hijab yang senada, tubuhnya yang ramping dengan kulit putih bersih berwajah baby face. Lumayan cantik, sebenarnya. Kalau aku taksir dari wajahnya, pasti umur Eva berada dibawahku.Sayang sekali jika waktunya dihabiskan untuk mengganggu ketenangan orang lai
"Ibu ... akan melakukan apapun, agar mendapat maaf darimu." ucapnya bersungguh-sungguh.Aku tersenyum miris, menyenderkan tubuh disisi ranjang."Keluarlah ... aku ingin beristirahat," usirku halus. Terserah jika di bilang aku tidak sopan, aku hanya risih jika harus berlama-lama dengan perempuan itu.Ibu tersenyum pahit, menganggukkan kepala lalu beringsut dari ranjang."Loh Ibu ada disini?" ucap Mas Yas sedikit kaget saat masuk ke dalam kamar dan mendapati, Ibu ada disini."Iya Yas, Ibu tadi bicara sebentar sama, Fiona." balas Ibu dengan langkah kecil menuju pintu kearah, Mas Yasir."Bicara?" Mas Yas terlihat tidak yakin dengan apa yang dia dengar."Istirahatlah ... sudah malam, besok harus kerja." ucap Ibu pada suamiku."Iya, Buk.Ibu juga ya. Jangan terlalu banyak pikiran," Mas Yas memegangi tangan Ibu, wajahnya terlihat cemas."Iya, Yas. Ibu tidak banyak pikiran kok. Pikiran Ib
"Semakin kesini, rasanya gue semakin sayang sama Ibu," ucap Nadia dengan bibir melengkung haru."Benar kata pepatah. Sebesar apapun jasa seorang anak pada orang tua, tidak akan bisa membayar jasa orang tuanya. Yang bisa gue lakuin sekarang hanya berusah tidak bikin Ibu sakit dan kecewa," terang Nadia panjang lebar.Aku menundukkan wajah, menghapus air bening yang sudah berjatuhan membasahi pipi. Entahlah, apa yang aku tangisi. Air mata ini terjun begitu saja, tanpa di minta."Eh, Fi. Di minum dulu." titah, Nadia sambil menunjuk minuman dingin diatas meja."Mm ... iya, Nad." lirihku."Lo kenapa?" Nadia menelisik wajahku."Tadi ada rambut masuk kemata, perih banget," ujarku sambil mengucak mata.Nadia menautkan alis, matanya menyipit semakin mengamatiku."Lo nangis?" tebaknya. Aku menggeleng tegas."Di bilang kelilipan," bantahku."Masa?" Nadia menyeringit tanda tak percaya.
Setelah berbasa-basi dan mengobrol seperlunya kami pamit pulang. Kelihatannya para suami sudah mulai akrab, dan banyak bicara."Pamit dulu ya ... kapan-kapan kita sambung lagi obrolannya." ucap Mas Yasir ku dengan ramah disertai senyum manis andalannya."Iya siap. Hati-hati ya," balas suami Nadia tak kalah ramah."Nad ... semangat ya. Doain gue hamil juga," ucapku pelan. Malu jika kedua laki-laki itu tahu.Nadia tersenyum lembut lalu menganggukkan kepalanya. "Pasti!" serunya sambil mengangkat tangan yang terkepal."Fi ... Mas pulang kerumah sebentar ya, ada berkas yang tertinggal di rumah, Ibu." jelas Mas Yasir sambil menekan pedal gas. Mobil maju perlahan, meninggalkan parkiran apartement."Iya Mas ..." sahutku seraya menganggukkan kepala."Mata kamu kenapa sayang. Kok merah?" tanya Mas Yasir sambil menatap cermin kecil diatas mobil. Mengamati wajahku."Oh masih merahkah?" aku mendekati wajah pa
Mas Yasir membangunkanku, menuntun langkah ini menuju mobil ambulance. Selang oksigen sudah terpasang di hidung Ibu, aku putuskan untuk masuk kedalam mobil menemani Ibu yang terbaring lemah tak berdaya.Kusingkirkan segala ego yang selama ini bersarang di dalam hati. Walau bagaimana pun, Ibu sudah menyelamatkan aku."Mas nya mau masuk juga?" tanya seorang petugas pada, Mas Yas. Mas Yasir mengangguk lemah, pandangannya lurus melihat Ibu."Tunggu sebentar Mas, saya menepikan mobil dulu," sahut Mas Yas, dengan nafas yang masih tersenggal-senggal."Jangan terlalu lama, pasien harus segera di tangani," titah petugas."Oh ... yasudah silahkan jalan Pak. Saya menyusul dari belakang," balas Mas Yas, sambil berlari kearah mobilnya.Petugas masuk kedalam mobil lalu menutup pintu dengan pelan. Perlahan mobil ambulance tertutup lalu melaju dengan perlahan.Kupandangi wajah Ibu yang masih bersimbah darah, hati ini begit
Mata ini mengejrap pelan, kurasa begitu berat untuk sekedar terbuka. Meraba wajah, sudah ada selang oksigen yang menempel di hidung, juga jarum infus yang menembus kulit.Mata ini begitu tebal, mungkin karna air mata yang selalu mengalir tidak mau berhenti, apa lagi saat mengingat kejadian memilukan itu.Ahh ... dadaku kembali ngilu, segera aku mengepal kedua tangan untuk menyamarkan rasa sakitnya."Hhhh ..." tubuh bergetar seirama dengan hembusan nafas panjang yang keluar dari mulut."Sayang ... kamu sudah sadar?" Mas Yas menggenggam tangan ini, matanya basah saat melihatku."I-bu ..." lirihku. "Bagaimana keadaannya?" tanyaku saat mengingat wajahnya."Ibu sudah melewati masa kritis ... Alhamdulillah," ucap Mas Yas dengan bibir terkulum senyum, namun setetes air bening berhasil lolos dari netranya."Alhamdulillah ..." ucapku haru. Air mata kembali mengalir, rasanya aku ingin bersujud mengucap syukur pada Il
Kursi roda terhenti di ruangan UGD dimana ada Ibu yang terbaring lemah diatas bangkar. Hatiku berdenyut ngilu, menyaksikan wajah pucat Ibu, namun rautnya begitu tenang seolah sedang tertidur.Dua kantung infus bertengger dikiri-kanan. Satu berisi cairan putih, sedang satunya berisi kantung darah yang sudah tersisa setengah."Bu ... kuat ya, ada aku disini," lirihku seraya menggenggam jemarinya."Silahkan berbaring disini, Mbak." titah, Pak Dokter sambil menunjuk bangkar disebelah Ibu.Dengan hati-hati kedua, suster memapah tubuhku menaiki ranjang rumah sakit."Saya cek darahnya ya, semoga cocok dengan golongan darah pasien," ucap, Pak Dokter seraya mengamati jarum suntikkan."Tolong suster," suster yang ditunjuk langsung sigap, dia meraih tanganku dan menyekanya dengan kapas yang disudah ditetesi alkohol."Tarik nafas ..." titah, Pak Dokter.Aku menahan nafas, saat jarum suntik menembus kulit, da
"Meski terdengar samar dan lemah, saya yakin ada yang berdetak disini ..." Dokter Murni kembali menaruh stetoskop diperutku. Aku menahan nafas dengan mata yang mulai memanas.Mungkinkah ... ada makhluk Tuhan didalam perut ini."Mas ..." aku menoleh dengan mata yang berkaca-kaca pada suamiku."Maksud Dokter, istri saya ha-hamil?" tanya Mas Yas mewakili isi hatiku, rautnya berbinar penuh harap.Dokter berhijab putih itu mengangguk pasti, lalu mengalungkan stetoskop di lehernya."Untuk lebih jelas, sebaiknya langsung cek ke Dokter kandungan saja. Besok mulai jam delapan pagi, Dokter specialis kandungan Ibu Tiara sudah mulai praktek." Jelas Dokter Murni. Dibalas dengan anggukan tegas oleh Mas Yas."Kalau tidak sabar, coba di tespack saja Pak," saran Dokter Murni."Oh iya Dokter, trimakasih," sahut Mas Yas dengan wajah sumringah."Saya permisi ya, Ibu Fiona." ucapnya seraya tersenyum kearahku.