Mata ini mengejrap pelan, kurasa begitu berat untuk sekedar terbuka. Meraba wajah, sudah ada selang oksigen yang menempel di hidung, juga jarum infus yang menembus kulit.
Mata ini begitu tebal, mungkin karna air mata yang selalu mengalir tidak mau berhenti, apa lagi saat mengingat kejadian memilukan itu.Ahh ... dadaku kembali ngilu, segera aku mengepal kedua tangan untuk menyamarkan rasa sakitnya."Hhhh ..." tubuh bergetar seirama dengan hembusan nafas panjang yang keluar dari mulut."Sayang ... kamu sudah sadar?" Mas Yas menggenggam tangan ini, matanya basah saat melihatku."I-bu ..." lirihku. "Bagaimana keadaannya?" tanyaku saat mengingat wajahnya."Ibu sudah melewati masa kritis ... Alhamdulillah," ucap Mas Yas dengan bibir terkulum senyum, namun setetes air bening berhasil lolos dari netranya."Alhamdulillah ..." ucapku haru. Air mata kembali mengalir, rasanya aku ingin bersujud mengucap syukur pada IlKursi roda terhenti di ruangan UGD dimana ada Ibu yang terbaring lemah diatas bangkar. Hatiku berdenyut ngilu, menyaksikan wajah pucat Ibu, namun rautnya begitu tenang seolah sedang tertidur.Dua kantung infus bertengger dikiri-kanan. Satu berisi cairan putih, sedang satunya berisi kantung darah yang sudah tersisa setengah."Bu ... kuat ya, ada aku disini," lirihku seraya menggenggam jemarinya."Silahkan berbaring disini, Mbak." titah, Pak Dokter sambil menunjuk bangkar disebelah Ibu.Dengan hati-hati kedua, suster memapah tubuhku menaiki ranjang rumah sakit."Saya cek darahnya ya, semoga cocok dengan golongan darah pasien," ucap, Pak Dokter seraya mengamati jarum suntikkan."Tolong suster," suster yang ditunjuk langsung sigap, dia meraih tanganku dan menyekanya dengan kapas yang disudah ditetesi alkohol."Tarik nafas ..." titah, Pak Dokter.Aku menahan nafas, saat jarum suntik menembus kulit, da
"Meski terdengar samar dan lemah, saya yakin ada yang berdetak disini ..." Dokter Murni kembali menaruh stetoskop diperutku. Aku menahan nafas dengan mata yang mulai memanas.Mungkinkah ... ada makhluk Tuhan didalam perut ini."Mas ..." aku menoleh dengan mata yang berkaca-kaca pada suamiku."Maksud Dokter, istri saya ha-hamil?" tanya Mas Yas mewakili isi hatiku, rautnya berbinar penuh harap.Dokter berhijab putih itu mengangguk pasti, lalu mengalungkan stetoskop di lehernya."Untuk lebih jelas, sebaiknya langsung cek ke Dokter kandungan saja. Besok mulai jam delapan pagi, Dokter specialis kandungan Ibu Tiara sudah mulai praktek." Jelas Dokter Murni. Dibalas dengan anggukan tegas oleh Mas Yas."Kalau tidak sabar, coba di tespack saja Pak," saran Dokter Murni."Oh iya Dokter, trimakasih," sahut Mas Yas dengan wajah sumringah."Saya permisi ya, Ibu Fiona." ucapnya seraya tersenyum kearahku.
Ayah tidak bisa menyembunyikan wajah harunya, sorot tajam itu bahkan terlihat berkaca-kaca."Selamat, Fi ..." gumamnya pelan, namun masih bisa aku dengar."Iya Ayah, trimakasih." jawabku haru. Mas Yas memelukku lalu menghadiahkan kecupan hangat dikening ini.Suara ketukan pintu terdengar dari luar, setelahnya pintu terbuka lalu masuk Suster yang biasa merawatku."Permisi ... dengan keluarga, Ibu Galih?" tanyanya memastikan."Iya sus, saya anaknya," jawab Mas Yas antusias."Pasien sudah mulai merespon, saat ini Ibu Galih sudah sadarkan diri." jelasnya disambut ucapan syukur oleh kami semua."Silahkan jika ada yang ingin menjenguk. Tapi hanya untuk satu orang ya, yang lain bisa bergantian nanti," sambung suster dengan senyum ramah. Tanpa membuang waktu Mas Yas langsung pamit mengekori langkang suster dari belakang."Alhamdulillah ... trimakasih Tuhan," ucapku penuh syukur dengan tetesan hangat yang
Dua minggu pasca siuman, keadaan Ibu semakin membaik. Hari ini Ibu sudah di perbolehkan pulang oleh, Dokter. Tak henti kami mengucap syukur atas nikmat dan keajaiban yang telah diberikan oleh, Tuhan.Sengaja aku dan Mas Yas merahasiakan kehamilanku pada Ibu, aku ingin membuat kejutan untuk Ibu. Aku yakin, Ibu akan senang mendengar kabar baik ini."Makasih ya, Fi ... sudah menjaga Ibu," ucap Ibu tulus, matanya di penuhi oleh genangan air."Sama-sama, Ibu. Kalau perlu sesuatu, jangan sungkan ya. Bilang saja sama Fio," balasku sambil mengulas senyum."Gimana kabar, Ayahmu Fi? Kamu sudah mengabari hari ini akan pulang, khawatir Ayahmu datang, kami semua sudah tidak ada disini.""Oh iya ... Fio telpon sekarang," aku langsung merogoh saku depan, mengambil ponsel.Suara panggilan terdengar, namun belum juga di respon dari, Ayah. Sejak kepergian Ayah saat itu, Ayah sudah tidak lagi datang menjengukku. Sepertinya Ayah masih ma
Tanpa menunggu persetujuanku, Ayah langsung memutuskan panggilan. Membuat aku menangis tergugu pilu, hati ini sakit melebihi sakitnya di khianati. Nafasku kembali sesak, pandanganku menjadi buram. Perlahan semua pandangan menjadi gelap seketika.***OfdKepala berdenyut ngilu, perlahan mata terbuka pelan. Di sampingku sudah ada, Ibu dengan raut begitu khawatir. Belaian tangannya menyentuh rambutku dengan lembut."Buk ..." lirihku bersuara."Iya, Nak. Kamu baik-baik saja?" tanyanya cemas.Aku hanya mengangguk, seraya memegangi kepala."Kalau kecapaian besok di batalkan saja acaranya ya." ucap Ibu.Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk bangkit. Dengan sigap Ibu membantu, mengambil bantal di sampingku dan menaruhnya di belakang punggungku."Minum, Fi ..." Ibu mendekatkan gelas berisi air putih dibibirku. Aku meneguk pelan, lalu menyenderkan tubuh."Lemas?" tanya Ibu. Aku mengangguk pelan. "Ya sudah Fio istirahat, Ibu sudah
Tubuhku bergetar, air mata mengalir saat Ayah memeluk tubuhku kedalam dekapannya."Kenapa menangis, apa Ayah sudah terlambat?"Aku tak bisa berkata, lidahku kelu. Kueratkan pelukkan, membakar rasa rindu dan bersalah diwaktu yang bersamaan."Cup ... cup, sudah ah." Ayah melonggarkan pelukkan, menyentuh dagu dan mengangkat kepalaku."Kenapa?" tanyanya."Maaf ... maafkan Fiona kalau ada salah sama Ayah," sahutku disela isak tangis. Tubuhku begitu lemas, Ayah menuntunku berjalan menuju sofa. Kulihat Ibu tersenyum haru, dengan mata yang sudah berkaca-kaca."Istirahat, sudah jangan menangis kasihan yang ada di dalam perut," ucap Ayah berusaha menenangkanku. Mas Yasir mendekat dan mencium tangan, Ayah."Buatkan minuman hangat untu
Ayah tersenyum miring lalu menggelengkan kepalanya. "Jangan terlalu percaya diri. Aku kesini demi anak dan cucuku. Kau tidak termasuk didalamnya," jawab Ayah dengan sinis.Ibu memejamkan mata, wajahnya sungguh dipenuhi binar kepedihan dan penyesalan.Aku hanya menghela nafas, terdiam ditempat. Tak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui masalah mereka yang sebenarnya."Andai saat itu kau berhasil mengusik Fiona, sudah aku pastikan kau tidak akan hidup dengan tenang. Bagiku harta bukan segalanya, yang terpenting Fiona masih disisiku. Itu lebih dari cukup," ucap Ayah terdengar perih ditelinga. Aku tersenyum getir, terharu, Ayah memang sangat menyayangiku.Yah ... aku jadi mengingat ucapan Ibu kemarin, yang mengatakan ingin membawa aku ikut pergi dengannya."Pergilah ... sebelum aku lepas kendali.
Pov Ayah Gunadi.Lima tahun sebelumnya.***Suara ketukan pintu terdengar bertubi-tubi, seirama dengan suara bel yang bersahut-sahutan.Dengan terpaksa aku membuka mata yang baru saja terpejam, karna suara gaduh itu membuat kepalaku berdenyut ngilu.Sambil mengucak mata, aku membuka pintu sosok laki-laki berbadan kekar berkulit sawo matang berdiri tegap dibalik pintu."Tuan.""Hm ... masuk Jef," ucapku sambil melebarkan pintu memberinya jalan lalu duduk disofa ruang tamu."Ada apa Jef?" tanyaku sambil menguap."Tuan ... Non Fiona.""Fiona kenapa?" sahutku tak sabar, Jefry seolah ragu untuk meneruskan kalimat.Jefry menatap lekat kearahku, seakan meyakinkan dirinya sendiri."Apa!" sentakku. Tidak tahu kepala lagi pusing, bikin marah saja."Non Fiona ditahan di sel tahanan, Tuan," jelasnya kemudian."Ditahan?" Jefry menganggukkan kepala."Di penjara maksudnya?" tanyaku memastikan.