"Kalau itu rencana kalian, kenapa tidak dilaksanakan? Menikahlah, aku merestui hubungan kalian." ucap Mamah tegas, sorot matanya menatap Anitta yang terbelalak kaget mendengar ucapan orangtua perempuanku.Anitta menoleh kearahku, gurat wajahnya menyimpan sejuta pertanyaan. Anitta terlihat bingung, alisnya menaut dengan kencang lalu menoleh pada Mamah dan menatapnya lurus-lurus."Apa saya tidak salah dengar?" wajah Anitta terlihat antusias, tak berkedip menatap Mamah."Ya, dari pada kalian terus berbuat dosa?" Mamah mengangkat bahu dan kedua tangannya."Lebih baik diresmikan, bukan? Toh kalian juga sepertinya tidak ada niat untuk saling menjauh," sambung Mamah, membalas tatapan mata Anitta.Anitta menatapku, kepalanya terangkat mengisyaratkan agar aku buka suara."Tapi, Diana? Dia tidak akan setuju Mah," sahutku. Mamah menghela nafas, menatap aku dan Anitta bergantian."Ya tentu saja, dia pasti akan menolak mentah-mentah," jawab Mamah santai.Aku tersenyum kecut, untuk apa Mamah menyur
Pov Diana.Bibir melengkung tipis, otakku berputar mencerna setiap kalimat yang terlontar dari bibir Mamah mertuaku.Bisa saja, saat ini aku berada dihadapannya. Tapi fikiranku berada ditempat dimana aku dan Fiona sedang terlibat dalam diperbincangan yang sangat serius."Saat Mbak Fiona tahu, suami berkhianat. Apa langkah yang Mbak ambil saat itu?" Tanyaku setelah menyesap minuman berasa jeruk. Asam kecutnya langsung menerjang lidah, saat air berwarna sedikit kuning itu mengalir melewati sedotan dan mengenai indra pengecapku.Bibir ranum Fiona berjinggat sebelah, lalu nafas panjang berhembus setelahnya. Mata itu menerawang jauh, gurat kepedihan sekilas tergambar dari manik coklatnya. Lalu dia mengembangkan senyum."Hmm ... apa ya? Mungkin aku pernah mencoba memberinya kesempatan," sahut Fiona sambil menganggukkan kepala."Memberi kesempatan?" Aku mengulang kalimatnya."Dia terus mengiba, memohon ampun. Bahkan berlutut dikaki ini," sambung Fiona dengan senyum yang terlihat getir. Aku m
Pov Mahesa"Mas ... tidak bisakah aku tinggal dirumah megahmu? Diana terlalu serakah, rumah sebesar itu ditinggali hanya dengan beberapa orang saja," cibir Anitta, tangannya membelai lembut wajahku.Sudah satu minggu aku berada di apartementnya. Hari ini sudah waktunya aku kembali kerumah untuk menemui Diana."Mas, aku ikut ya," pinta Anitta dengan wajah penuh harap."Untuk apa? Mas sudah bayar uang sewa apartement ini. Sayang kan, jika tidak ada yang mengisi," tukasku sambil memasang kancing kemeja yang melekat ditubuhku."Huh ... Bilang saja Mas tidak mau aku ada dirumah itu. Lagi pula, rumah itu bukan hak milik Diana kan? Sudah seharusnya, aku juga tinggal dirumah itu, aku ini istri kamu. Ingat itu, Mas." balas Anitta, tak mau kalah."Sudahlah, Nitt. Permintaanmu lama-lama aneh. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk menikah, sekarang tolong jangan mengusik Diana. Dia sudah cukup terluka dengan pernikahan ini," bantahku, mencoba memberi pengertian.Anitta memutar bola matanya dengan
Rasa terbakar kembali menjalar, kini mata terbelalak saat melihat yang mengalir bukan air seni melainkan darah pekat dengan lelehan cairan berwarna kuning kental."Astaga, mengapa pipisku mengeluarkan nan*h?"Jantung langsung berdetak kencang, kepala berkunang-kunang, dengan nafas yang mendadak sesak.Tubuh terhenyak menghimpit tembok, lutut mendadak sangat lemas.Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mendapat penyakit ...Agrh ... menyugar rambut dengan frustasi, segera membersihkan apa yang sudah aku keluarkan. Lalu keluar dari bilik toilet tak berani menuntaskan hajat.Aku sungguh tidak tenang, lama berdiam diri duduk diatas ranjang dengan fikiran tak menentu arah. Segera mengamati tangan, terlihat ruam halus yang bermunculan dikulitku.Aniita ... apa mungkin dia yang menyebabkan ini semua? Aku sudah lama tak menyentuh Diana. Tidak salah lagi, pasti Anitta biang dari masalah ini. Aku harus meminta penjelasan darinya."Kenapa, Mas? Kok lemas sih?" Diana mengamati wajahku."Mm ... kur
"Jawab!!" Nafasku memburu, membuat wajah cantik yang sangat aku gilai itu semakin menegang.Anitta bangkit dari sisiku, berjalan memutari meja."Ka-mu bicara apa sih, Mas? Kamu fikir aku ini perempuan macam apa, Hah!" sentak Anitta dengan nafas tak teratur.Sepertinya dia tidak terima dengan kata-kataku."Kamu hanya terlalu lelah, Mas. Kenapa? Apa Diana bicara yang tidak-tidak padamu, hingga kau semarah ini padaku?" Ucap Anitta dengan mimik memelas."Ayolah ... perempuan itu tidak sepenuhnya rela kamu menjadi suamiku. Dia pasti sudah mencekokkimu, dengan kata-kata mengujar kebencian!" sambungnya dengan wajah mengeras. Aku terkekeh geli, menatapnya tak percaya."Diana pasti sudah memfitnahku!" Anitta menatap lekat, meyakiniku.Bisa-bisanya disaat kemarahanku tersulut begini, dia menyeret Diana untuk menutupi kesalahannya.Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekatinya. Kini pandangan kami beradu tatap, namun Anitta segera memalingkan wajah."Dengar ..." aku meraih wajahnya dengan satu t
"Dasar perempuan pembawa sial!" umpatnya begitu bengis lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kearahku dengan wajah merah padam dan sorot mata penuh amarah.Mau apa dia?Alisku menaut kencang, langkah kakinya semakin cepat mendekatiku.Anitta melayangkan tangan kearahku, dengan tangkas aku menghindar sehingga yang dia pukul hanya udara membuat tubuhnya sedikit oleng."Huh ..." matanya semakin membesar, kemarahan semakin memuncak saat targetnya tak mengenai sasaran. Anitta membalik badan dan meraih tanganku. Tak sempat menghindar, kuku itu mengenai lengan ini menyisakan goresan yang cukup panjang."Aduh ..."Perih dan panas membakar kulit, membuat emosiku kini tersulut dibuatnya."Apa-apan kamu sund*l!" ucapku menahan geram. Otakku begitu mendidih, melihatnya tersenyum sinis kearahku."Jangan belaga sok suci kamu! Kau yang menjebakku kan? Kau yang menyekapku, hingga para bajing itu menodaiku!" Sembur Anitta dengan mata merah melotot tajam.Aku terkekeh geli menanggapinya, memb
"An-itta, dia yang su--dah menusukku," jelas Mas Mahesa. Membuat aku dan Mamah saling berpandangan."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku antusias."Anitta, di-a marah dan menusuk perutku," jelas Mas Mahesa dengan nafas terengah-enagah.Mamah mendengkus, menatap tak percaya."Belum sebulan kalian menikah, dia sudah mau membunuhmu?" cecar Mamah tak habis fikir. "Ini Mahes, perempuan yang membuatmu berpaling dari anak dan istri? Kelakuannya begitu kasar, tak lebih baik dari preman pasar!" gerutu Mamah, sangat kesal.Aku sendiri cukup terkejut mendengarnya, tidak menyangka perempuan itu bisa berbuat anarkis terhadap mangsanya sendiri.Entah aku harus tertawa atau bersedih mendengar pengakuannya."Gila! Benar-benar tidak waras dia." sembur Mamah dengan nafas terengah-engah."Belum apa-apa, karma sudah datang menghampirimu Mahes," cibir Mamah. Mas Mahesa yang mendengar hanya meringis, entah menahan sakit dibagian mana."Bagaimana ceritanya, dia bisa menusukmu? Apa dia bilang tak sengaja juga, se
"Dia penyebabnya, Mah. Dia berselingkuh dan menularkan penyakit HIV pada Mas Mahesa!" jerit Anitta sambil menuding kearahku.Mamah langsung menoleh kebelakang, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Diana, benarkah itu?" tanya Mamah sedikit ragu, namun sorot matanya meminta penjelasan."Penyakit HIV?" ucapku antusias. "Jadi suamiku terkena penyakit mematikan itu?" Aku melangkah mendekati Anitta. Benar-benar terkejut dengan pengakuannya."I-ya ... kau perempuan hina yang berlaga sok Suci. Kau marah melihat Mas Mahesa selingkuh dan kini kau ingin membalasnya!" ucapnya tegas, meski wajahnya berubah menjadi pias saat aku sudah ada dihadapannya."Argh!!" Anitta merintih, tanganku dengan cepat mencengkram rambut kepalanya hingga kepala dia mendongkak menatap kearahku.Sungguh aku geram sekali dengan gundik, jahanam ini!"Kau tahu! Selama dua bulan belakangan ini, aku bahkan tidak sudi bersentuhan dengan Mas Mahesa." Ucapku dengan suara menekan tepat ditelinganya."Jujur saja, aku