Rasa terbakar kembali menjalar, kini mata terbelalak saat melihat yang mengalir bukan air seni melainkan darah pekat dengan lelehan cairan berwarna kuning kental."Astaga, mengapa pipisku mengeluarkan nan*h?"Jantung langsung berdetak kencang, kepala berkunang-kunang, dengan nafas yang mendadak sesak.Tubuh terhenyak menghimpit tembok, lutut mendadak sangat lemas.Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mendapat penyakit ...Agrh ... menyugar rambut dengan frustasi, segera membersihkan apa yang sudah aku keluarkan. Lalu keluar dari bilik toilet tak berani menuntaskan hajat.Aku sungguh tidak tenang, lama berdiam diri duduk diatas ranjang dengan fikiran tak menentu arah. Segera mengamati tangan, terlihat ruam halus yang bermunculan dikulitku.Aniita ... apa mungkin dia yang menyebabkan ini semua? Aku sudah lama tak menyentuh Diana. Tidak salah lagi, pasti Anitta biang dari masalah ini. Aku harus meminta penjelasan darinya."Kenapa, Mas? Kok lemas sih?" Diana mengamati wajahku."Mm ... kur
"Jawab!!" Nafasku memburu, membuat wajah cantik yang sangat aku gilai itu semakin menegang.Anitta bangkit dari sisiku, berjalan memutari meja."Ka-mu bicara apa sih, Mas? Kamu fikir aku ini perempuan macam apa, Hah!" sentak Anitta dengan nafas tak teratur.Sepertinya dia tidak terima dengan kata-kataku."Kamu hanya terlalu lelah, Mas. Kenapa? Apa Diana bicara yang tidak-tidak padamu, hingga kau semarah ini padaku?" Ucap Anitta dengan mimik memelas."Ayolah ... perempuan itu tidak sepenuhnya rela kamu menjadi suamiku. Dia pasti sudah mencekokkimu, dengan kata-kata mengujar kebencian!" sambungnya dengan wajah mengeras. Aku terkekeh geli, menatapnya tak percaya."Diana pasti sudah memfitnahku!" Anitta menatap lekat, meyakiniku.Bisa-bisanya disaat kemarahanku tersulut begini, dia menyeret Diana untuk menutupi kesalahannya.Aku bangkit dari duduk, berjalan mendekatinya. Kini pandangan kami beradu tatap, namun Anitta segera memalingkan wajah."Dengar ..." aku meraih wajahnya dengan satu t
"Dasar perempuan pembawa sial!" umpatnya begitu bengis lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kearahku dengan wajah merah padam dan sorot mata penuh amarah.Mau apa dia?Alisku menaut kencang, langkah kakinya semakin cepat mendekatiku.Anitta melayangkan tangan kearahku, dengan tangkas aku menghindar sehingga yang dia pukul hanya udara membuat tubuhnya sedikit oleng."Huh ..." matanya semakin membesar, kemarahan semakin memuncak saat targetnya tak mengenai sasaran. Anitta membalik badan dan meraih tanganku. Tak sempat menghindar, kuku itu mengenai lengan ini menyisakan goresan yang cukup panjang."Aduh ..."Perih dan panas membakar kulit, membuat emosiku kini tersulut dibuatnya."Apa-apan kamu sund*l!" ucapku menahan geram. Otakku begitu mendidih, melihatnya tersenyum sinis kearahku."Jangan belaga sok suci kamu! Kau yang menjebakku kan? Kau yang menyekapku, hingga para bajing itu menodaiku!" Sembur Anitta dengan mata merah melotot tajam.Aku terkekeh geli menanggapinya, memb
"An-itta, dia yang su--dah menusukku," jelas Mas Mahesa. Membuat aku dan Mamah saling berpandangan."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku antusias."Anitta, di-a marah dan menusuk perutku," jelas Mas Mahesa dengan nafas terengah-enagah.Mamah mendengkus, menatap tak percaya."Belum sebulan kalian menikah, dia sudah mau membunuhmu?" cecar Mamah tak habis fikir. "Ini Mahes, perempuan yang membuatmu berpaling dari anak dan istri? Kelakuannya begitu kasar, tak lebih baik dari preman pasar!" gerutu Mamah, sangat kesal.Aku sendiri cukup terkejut mendengarnya, tidak menyangka perempuan itu bisa berbuat anarkis terhadap mangsanya sendiri.Entah aku harus tertawa atau bersedih mendengar pengakuannya."Gila! Benar-benar tidak waras dia." sembur Mamah dengan nafas terengah-engah."Belum apa-apa, karma sudah datang menghampirimu Mahes," cibir Mamah. Mas Mahesa yang mendengar hanya meringis, entah menahan sakit dibagian mana."Bagaimana ceritanya, dia bisa menusukmu? Apa dia bilang tak sengaja juga, se
"Dia penyebabnya, Mah. Dia berselingkuh dan menularkan penyakit HIV pada Mas Mahesa!" jerit Anitta sambil menuding kearahku.Mamah langsung menoleh kebelakang, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan."Diana, benarkah itu?" tanya Mamah sedikit ragu, namun sorot matanya meminta penjelasan."Penyakit HIV?" ucapku antusias. "Jadi suamiku terkena penyakit mematikan itu?" Aku melangkah mendekati Anitta. Benar-benar terkejut dengan pengakuannya."I-ya ... kau perempuan hina yang berlaga sok Suci. Kau marah melihat Mas Mahesa selingkuh dan kini kau ingin membalasnya!" ucapnya tegas, meski wajahnya berubah menjadi pias saat aku sudah ada dihadapannya."Argh!!" Anitta merintih, tanganku dengan cepat mencengkram rambut kepalanya hingga kepala dia mendongkak menatap kearahku.Sungguh aku geram sekali dengan gundik, jahanam ini!"Kau tahu! Selama dua bulan belakangan ini, aku bahkan tidak sudi bersentuhan dengan Mas Mahesa." Ucapku dengan suara menekan tepat ditelinganya."Jujur saja, aku
"Hhhpppp ...." Mas Mahesa terus berontak, membuat aku mengerahkan seluruh tenaga untuk menindih wajahnya dibalik bantal.Maafkan aku, Mas ...Ranjang bergetar hebat, air mataku mengalir begitu saja. Tubuhku menggigil, seirama dengan gerakan Mas Mahesa yang perlahan melemah."Hei mau apa kamu!!" Jantung seakan keluar dari tempatnya, suara teriakan seseorang membuat tubuhku membeku ditempat."Sus tangkap perempuan itu," titah suara berat seorang laki-laki. Aku langsung berbalik badan, mendorong kuat suster dan Dokter yang berusaha menangkapku."Argh!" Suster memekik kesakitan saat aku menarik tangan dan mendorong tubuhnya keranjang Mas Mahesa. Dia tersungkur diatas lantai, membuat langkahku luas mencapai pintu."Mau kemana kamu?" Dokter mencekal tanganku. Aku yang panik langsung menendang keras bagian sensitifnya, membuat Dokter muda itu menjerit melepas cekalan tangannya."Ada apa ini?" Tubuhku menegang, Mamah Hana sudah berdiri didepan pintu berhadapan denganku dengan wajah kebingunga
"Ma--af," lirihnya terdengar pilu. "Mas banyak dosa padamu dan anak-anak. Hukuman ini, rasanya belum sepadan dengan segala luka yang aku torehkan dihatimu," ucapnya dengan bibir bergetar dan lelehan air mata.Aku hanya mengangguk, menikmati segala tangis penyesalannya."Tolong maafkan, aku Mih," Mas Mahesa terisak pilu. Menatapku nanar, aku hanya bergeming meraba hati yang terasa mati.Lihatlah, Mas. Kau benar-benar menyedihkan. Sudut hati ini menertawakan penderitaannya.Perlahan tangan itu menarik lembut tangan ini, membawanya kedalam dada bindang yang dulu selalu membuatku merasa nyaman.Ya itu dulu, sebelum kamu merusak segalanya Mas!"Maafin, Papih ya," lirihnya sambil mengeratkan pelukan. Aku hanya bernafas panjang, tak menjawab ucapannya.Hambar ... hanya itu yang kini ada didalam hatiku.Benarkah cintaku telah memudar?Bukankah aku pernah memberinya kesempatan, dengan kembali pulang kerumah. Tapi ternyata, Mas Mahesa belum merasa puas. Dia masih tetap dengan keinginannya, untu
Aku segera memutus sambungan, lalu mengirim lokasi gawai Mas Mahesa kenomer Mamah.Gawai bergetar, Mamah mengirim pesan.{Kamu yakin, Di?}Segera aku mengetik pesan balasan.{Yakin, Mah. Gawai Mas Mahesa pasti terbawa sama sund*l itu. Cepat berangkat, Mah. Sebelum dia kembali pergi,} balasku. Pesan sudah bercentang dua berwarna biru, namun tak juga mendapat balasan. Aku yakin Mamah pasti sedang bersiap-siap.Kembali menikmati angin malam, desir lembutnya mampu menenangkan jiwa dan fikiranku.Oh yah, sudah berapa lama aku tidak melakukan liburan. Sepertinya aku harus melakukannya dalam waktu dekat. Meski tidak etis, tapi aku tetap butuh hiburan.Dua jam lamanya, aku berduduk santai. Setelah menerima pesanan makanan yang aku pesan melalui aplikasi, aku kembali masuk kedalam ruangan Mas Mahesa.Sudah ada dua laki-laki berbadan kekar dikiri kanan pintu ruangan, mereka membungkukkan badan saat melihat kedatanganku."Sudah lama?" tanyaku berbasa-basi."Baru satu jam yang lalu, Nyonya," jawa