Pov DianaSuara debur ombak beradu dengan karang membuat aku menarik nafas panjang, angin lembut berhembus diwajah dan rambut. Menimbulkan aura menenangkan.Hmm ...Menghembuskan nafas secara perlahan, bibir tersenyum simpul melihat dua sosok kesayangan bermain dengan ceria ditepi pantai.Duhai Tuhan ... trimakasih. Atas izinmu, kau biarkan aku melalui badai yang sangat kuat lagi dahsyat."Mamih, ayok kesini!" seru Deo meski terdengar samar. Aku hanya tersenyum, meraih gelas berisi jeruk hangat lalu menyesapnya pelan.Tangan ini melambai saat melihat pasangan suami istri celingukan mencari seseorang. Aku tersenyum manis, saat mata kami beradu tatap."Hai." sapaku ceria."Lama tidak bertemu, Nyonya Diana." wanita cantik menyapa dengan senyuman manis, dia menyodorkan tangan, setelahnya kita berjabat tangan mencium pipi kiri dan kanan."Mbak Fiona, semakin cantik saja." ucapku tulus. Karna memang wajah wanita muda yang ada dihadapanku memang selalu cantik."Nyonya bisa saja," ucapnya sam
"Pasien rumah sakit jiwa terlindas truk hingga tewas, kondisi sangat mengenaskan. Saat ini jenazah korban ada dirumah sakit Pelita Keluarga.""Baca, apa sih Fi serius banget?" Mas Yas yang sedang mengemudi, menoleh singkat lalu kembali fokus menghadap jalan."Baca berita yang lewat dibranda, Mas. Seram ih, aku baca juga komen-komennya. Katanya, tubuh korban tabrakan itu terbelah menjadi dua bagian." sahutku, sambil bergidik ngeri."Innalillahi ... semoga amal ibadahnya diterima Alloh." jawab Mas Yas dengan wajah prihatin."Aamiin," aku hanya menyahut, pandangan fokus pada gawai melanjutkan membaca komentar yang ada didalam berita.Mengingat rumah sakit jiwa, aku jadi teringat ucapan Nyonya Diana. Dia bilang, Anitta terkena gangguan jiwa, dan sekarang tinggal dirumah sakit jiwa. Semoga dia dalam keadaan baik-baik saja, walau aku sangat membencinya tapi aku tak ingin mendoakan keburukan padanya. Aku takut doa buruk itu akan kembali padaku. Naudzubillah."Nyonya Diana, terlihat bukan oran
"Terserahlah. Aku sudah malas peduli." jawab Ridwan lalu pergi keluar pintu.Aku dan Mas Yas saling berpandangan. Mata kami kompak menoleh kearah Putri yang semakin menangis sesegukan.Aku mengangguk kecil, tanpa berkata Mas Yas langsung keluar kamar mengerti maksud isyaratku."Ada apa sih, Put? Coba cerita, siapa tahu Kakak bisa bantu," ucapku pelan sambil berjalan mendekati ranjang."Hati aku capek, Kak. Mas Ridwan dan Ibu menyalahkan aku, semua menyalahkan aku atas kejadian ini. Mereka fikir aku tidak sedih kehilangan anakku sendiri." Putri menatap sendu, isaknya terdengar lirih."Sabar sayang, sabar." aku mengusap lembut pundak belakangnya."Belum lagi Mas Ridwan, terlalu cemburu berlebihan Kak. Dia selalu mikir aneh-aneh setiap kali melihat aku sama Juna di kantor," lirih Putri. "Padahal kita hanya teman kerja, tidak lebih.""Loh ... bukannya cemburu itu tanda cinta ya? Emangnya kamu mau Ridwan cuek-cuek aja, lihat kamu diantar pulang sama orang lain?" sahutku selembut mungkin."
Pengkhianatan yang tertoreh, terlalu mudah jika berakhir dengan perpisahan. Wanita sepertiku tidak pantas untuk tersakiti, berbahagialah dengan jalang barumu. Setelah ini akan kupastikan kau berlutut bersimbah darah di kakiku. ***ofdMataku mengerjap saat tangan dingin mengusap lembut pipi, lalu satu kecupan mendarat hangat di keningku."Morning, sayang." sapa suara seseorang yang selalu kurindukan.Membuka mata perlahan, mendapati wajah tampan memenuhi penglihatan."Maaf mengganggu tidurmu," ucapnya sambil mengelus kepalaku.Aku tersenyum manja menanggapi ucapannya."Semalam aku pulang larut, tak tega membangunkanmu."Dengan gemas dia menciumi wajah ini, menggelitik perut hingga aku meronta dan memeluknya."Aku tunggu di meja makan," ucapnya sambil bangkit dari peraduan."Oke ..." dengan mata setengah terbuka aku mengacungkan jempol.Memaut diri di depan cermin, memoles tipis lipstik. Setelah
Anitta meronta dan menjerit histeris, sumpah serapah serta cacian keluar dari mulut kotornya. Sementara aku, berjalan dengan anggun menuju balkon tanpa mengindahkan ocehannya.Senyum manis tak lepas dari bibir ini, menatap Mas Daniel yang terduduk lesu di hadapanku. Matanya mengisyaratkan kekhawatiran yang mendalam, mendengar jeritan di dalam ruangan.Keringat sebiji jagung nampak jelas di keningnya. Sebesar itukah rasa pedulinya terhadap Anitta? Gundik suamiku.Entah apa yang Paman perbuat. Aku tidak peduli. Jeritan serta teriakan si gundik begitu merdu di pendengaran, membuat bibir ini melengkung dengan sempurna."Kamu lelah sayang?" suaraku yang lembut mampu membuatnya terkejut.Mas Daniel tersenyum kecil kearahku, mencoba menutupi raut gelisah diwajahnya."Bukankah dia cantik?" tanyaku dengan senyum yang m
Tiga kali tongkat ini mendarat kuat di punggung suamiku. Membuat tubuh, Mas Daniel ambruk mencium aspal.Aku mendecih melihat kondisi tongkat baseball. Kurasa pukulan ini terlalu keras, hingga tongkat kesayanganku sedikit retak.Lihatlah Mas, bahkan aku lebih khawatir dengan tongkat ini dibanding dirimu."Apa dia masih bernafas?"Paman berjongkok membalik badan Mas Daniel, mendekatkan ujung jari di hidungnya."Masih, Non." ucapnya sambil mengangguk."Huh ... sayang sekali." aku mendecih kecewa."Urus dia Paman, aku masih ada pekerjaan lain."Paman menggangguk tegas, sambil membangunkan tubuh Mas Daniel.Aku berjalan menuju mobil, kulihat diujung gerbang security memandang tajam kearahku. Kubalas dengan anggukan serta senyum
Mas Daniel masih bersimpuh, di sertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.Rusak sudah semua cintaku, Mas."Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon ..." ucapnya terbata-bata.Siapa disini yang lebih tersiksa?Bukankah aku? Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti."Aku akan melakukan apa pun. Kumohon ..." sambungnya lagi."Sudah kah?" tanyaku dengan suara datar.Mas Daniel mendongkkan kepala, dengan mata penuh penyesalan."Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun." ucapku sambil menatap dalam matanya.Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menye
Ibu Anitta terpaku di tempatnya, air mata yang tadinya bercucuran. Kini terhenti seolah tersumbat oleh krikil."Kanapa diam?"Kupamerkan senyum semanis madu, Ibu Anitta nampak gelagapan saat wajahku sedikit maju."Buktikan pengorbananmu ..." suaraku berbisik."Kurang ajar! Berani sekali kau menghina Ibuku!" sembur Anitta dengan wajah garang. Tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya keluar."Keterlaluan kamu, Fiona!" suara Mamih menggelegar. Mata Mamih hampir keluar seakan ingin menerkamku."Aku tidak menghina Ibumu, aku hanya mengabulkan ucapannya." pandanganku beralih pada wanita setengah baya, yang masih berlutut di kakiku.Wajah Ibu Anitta nampak pias, keringat mulai membasahi keningnya. Pandangannya beralih pada Mamih, meminta pembelaan.Ay