Share

Bab 2

"Kamu serius, Fan? Atau aku yang salah dengar?"

"Aku serius. Kami sudah menikah secara siri."

Kalimat Rafan menghancurkan benteng yang berusaha aku bangun. Tidak ada sakinah lagi dalam rumah tangga kami karena istana kedua sudah ada. Luka yang terpatri dalam hati, aku yakin tidak akan pulih kecuali ada kehendak dari Tuhan.

Tangan kiri ini meremas kuat piyama tidur yang aku kenakan. Sesak dalam dada semakin menjadi, aku lemah hingga jatuh ke lantai. Lelaki itu tetap diam di tempat menyaksikan luka membunuh istrinya secara perlahan.

"Kamu baik-baik saja, Raline?"

Pertanyaan yang bodoh. Lelaki itu kerasukan setan mungkin sampai tidak bisa membedakan ketika aku senang atau terluka. Seharusnya segera mengangkatku ke tempat tidur sekaligus meminta maaf atas kesalahannya, lalu berjanji tidak akan mengulangi.

Mungkin, ini hanya sekadar harapan yang terpendam dalam hati. Nyatanya Rafan tidak melakukan itu, kakinya seperti terpaku di bumi. Untuk sesaat karena sekarang malah masuk kamar mandi.

***

"Beri aku nomor W* Marsha, aku ingin bertemu dengannya."

"Tidak, untuk apa kalian bertemu?" Rafan menolak sambil merapikan dasinya di depan cermin.

"Ada hal yang harus aku katakan padanya. Sebagai adik madu, Marsha harus tahu banyak hal tentangmu juga aku."

Tanpa banyak bicara, Rafan mengeluarkan ponsel dan mencatat di kertas kecil. Aku bernapas lega sekaligus berdebar dalam detik yang sama. "Dengan bertemu Marsha, hatimu akan semakin terluka," gumam Rafan, lalu melangkah keluar dengan membawa tas. 

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku mengirim pesan aksara via W* pada nomor itu. Tidak lain adalah ajakan bertemu di sebuah cafe dekat sini, semoga dia menyanggupi.

Marsha : Kamu siapa mengajak bertemu segala?

Aku : Istri pertama suami kita, Rafan Aditia.

Marsha : Oke, jam dua siang.

Begitu cepat waktu bergulir, kini aku sudah berada di cafe dan duduk di kursi dekat pintu utama agar Marsha bisa langsung menebak. Cukup dengan memakai gamis dan make up minimalis sesuai kesukaan Rafan.

Lima belas menit berlalu, perempuan itu belum juga datang. Dengan perasaan kesal, aku kembali mengirim pesan menanyakan posisinya. Tidak ada balasan padahal centang dua sudah berwarna biru.

"Hai, Raline!" sapa seseorang. Aku mengangkat wajah, lalu mengamati. "Aku Marsha, istri kedua Rafan."

Benar kata Rafan bahwa dengan bertemu Marsha akan membuat hati ini semakin sakit. Namun, aku tidak boleh mengalah begitu cepat karena itu hal wajar dalan perkenalan diri. Dengan cepat bibir mengukir senyum tepat ketika perempuan itu duduk.

Istri siri Rafan ini memang cantik dengan model rambut kekinian. Pakaiannya lumayan ketat hingga menampilkan lekuk tubuh. Aku jadi penasaran kenapa Rafan jatuh cinta padahal tidak menutup aurat.

"Aku cinta pertama Rafan. Kami kenal sejak SMA, ia mengejarku berbulan-bulan. Ketika Ujian Nasional sudah selesai, aku mengaku menerima cintanya. Akan tetapi, takdir memisahkan kami karena ada pengusaha yang meminangku," jelas Marsha tanpa kuminta.

"Lalu, kamu menduakan suami sendiri?"

"Tentu saja tidak. Aku sudah dicerai, tinggal menunggu surat resmi. Kami berpisah karena mantan suamiku tahu tentang Rafan. Mereka sempat berkelahi."

Kedua tanganku terkepal dengan rahang mengeras. Pantas saja Rafan pernah pulang dalam keadaan babak belur. Ternyata berkelahi dengan suami selingkuhannya. Sementara waktu itu ia mengaku dikeroyok preman. Aku sampai menangis semalaman karena merasa kasihan.

Air mata itu, aku menyesal telah mengizinkannya jatuh membasahi pipi. Perbuatan Rafan sangat tidak pantas untuk dikasihani.

"Lalu, kenapa kamu tertarik ingin bertemu denganku, Lin? Apakah untuk mengetahui Rafan akan memilih istri sah atau sirinya?"

Diam-diam aku menelan saliva, lalu menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Pasalnya rasa sesak memenuhi rongga dada. Ingin menangis, tetapi tidak sanggup. Lagi pula malu jika menjadi tontonan, di depan Marsha pula.

"Aku perhatikan kamu ini perempuan baik-baik. Rafan tega sekali menduakanmu, Lin. Lagian jika kita saling berebut posisi, aku yakin akan menang dengan mudah!" lanjut Marsha.

"Kenapa seyakin itu?"

"Karena kamu lemah!" tegasnya, lalu berdiri. Aku dengan gerak cepat mencekal tangannya. Marsha melirik tajam.

"Duduklah, pembahasan kita belum selesai. Kamu harus tahu kalau aku tidak semudah itu untuk mengalah."

Marsha tertawa mengejek membuat hati seakan tercabik berulang kali. Namun, aku harus tetap tegar dan menahan air mata agar tidak membentuk anak sungai di pipi. Tanpa merespons apa pun, perempuan itu melangkah ke luar setelah meletakkan tiga lembar uang merah.

Notifikasi W* mengusik perhatian. Ketika aku cek, rupanya dari perempuan tadi.

Marsha : Pakai uang itu ke salon, aku kasihan melihat kulitmu yang tidak terawat. Jika ingin bersaing, maka harusnya rawat diri. Mata suami itu mau dimanjakan dengan yang bening. Seperti aku misalnya.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g respek sama istri sah yg lemah dan g punya harga diri. krn istri seperti itu g beda sama keledai.
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
udah kurang ajar s pelakor dn kmu hrs ngomong k orang tua Rafan dn kmu jelasin semua nya udah setelah itu kmu pergi dr Rafan yg penting orang tua sdh tau perbuata nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status