Bab 1
Lelaki ini semakin menggila. Dia terus menghentak dengan semangat, menaik-turunkan tubuhnya di atas tubuh wanita yang berada dalam kungkungannya itu. Sepasang mata yang berselubung kabut gairah tak lagi awas dengan perubahan wajah sang wanita yang perlahan mulai memucat.
Airin berusaha keras untuk tetap berada di dalam kesadaran, meskipun kondisi tubuhnya semakin melemah. Dia tak bisa berbuat banyak untuk mengimbangi permainan sang suami yang begitu perkasa.
Perempuan itu menggigit bibirnya menahan sakit di bagian inti yang terus-menerus menerima hunjaman dari sang lelaki. Lelaki yang paling dicintainya di dunia ini, Regan Abbasy Ghaisan.
Gerakan Regan semakin lama semakin cepat, pertanda lelaki itu sudah hampir menuju puncak. Pendakian yang bagi Airin sungguh melelahkan. Airin sudah sangat lelah. Padahal durasi permainan ini tidak terlalu lama.
Setibanya di puncak, Regan memekik keras, menyisakan getaran hebat di tubuh istrinya.
Regan yang terlihat puas segera turun dari tubuh istrinya dan berguling ke sisinya. Dia menghela nafas saat merasakan tubuhnya kembali normal, walaupun masih menyisakan sisa-sisa gairah tersirat dari binar matanya.
"Sayang ..." Lelaki itu tersentak kaget saat baru menyadari perubahan di wajah sang istri.
"Kamu pucat sekali, Sayang. Kenapa denganmu? Kamu lagi sakit?" Regan menangkup wajah istrinya.
Airin menggeleng lemah sembari berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi ia tidak kuasa. Tubuhnya lunglai, bahkan tulang-tulangnya serasa copot dari persendiannya.
"Aku hanya kelelahan, Sayang. Kamu begitu perkasa." Airin menyahut sembari menggerakkan tangannya yang lemah, membelai lembut pipi sang suami.
Regan menggeleng keras.
"Tidak, Sayang. Permainanku sama seperti yang dulu. Tak ada yang berubah, bahkan durasinya sekarang malah lebih pendek dari sebelumnya."
"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa kamu selalu kelelahan?" Regan bertanya menyelidik.
"Itu hal yang wajar, Sayang. Aku sudah tua. Bulan depan umurku genap empat puluh lima tahun." Airin kembali menyentuh pipi sang suami. Wajah yang sedikit kasar itu menyiratkan tanda tanya.
"Tak apa, Sayang. Beneran, aku hanya kelelahan," bohong Airin.
Dia tidak sampai hati memberitahukan penyakitnya kepada Regan. Regan sangat mencintainya dan dia tak ingin membuat laki-laki itu panik.
"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Airin!" tegas laki-laki itu. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. "Matamu tak bisa berdusta, meskipun bibirmu bisa mengucapkannya."
Regan mengecup bibir Airin sesaat. Lelaki itu bermaksud akan membopong tubuh istrinya ke dalam kamar mandi, tetapi mendadak gerakannya terhenti saat matanya melihat bercak darah bercampur cairan cintanya menetes di sprei.
"Airin, apa ini?" tunjuk Regan.
Airin menatap bercak darah itu dengan senyumnya yang manis.
"Tidak apa-apa, Sayang. Ini hal biasa. Milikmu membuat milikku terasa penuh dan akhirnya mengeluarkan darah persis seperti seorang perawan," ujarnya.
"Nggak, nggak, nggak!" Lelaki itu mendadak gusar. "Jujurlah padaku, Sayang. Sebenarnya kamu ini kenapa? Apakah kamu sedang sakit? Besok kita ke dokter ya?"
Airin menggeleng. Selamanya dia tidak akan pernah mau pergi ke dokter jika bersama dengan suaminya. Itu sama saja dengan bunuh diri. Dia tak mau suaminya tahu penyakitnya ini. Hanya satu orang yang paling dia percayai menyimpan rahasia ini, yaitu Natalia, sahabat sekaligus asisten pribadinya.
"Gendong aku, Sayang. Aku ingin kita mandi bersama," pintanya manja
Permintaan Airin membuat Regan mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. Airin tersenyum tipis saat tangan kekar suaminya bergerak dan membopongnya menuju kamar mandi.
Regan mulai membuka kran air, mencampur air panas dengan dingin, sehingga bathup terasa hangat. Dia menuangkan sedikit essence oil yang baik untuk kesehatan kulit. Seketika aroma harum nan menenangkan menguar di seluruh ruangan.
Setelah istrinya mulai berendam, laki-laki itu keluar dari kamar mandi. Dia melangkah menuju ranjang, menarik sprei dan menaruhnya di keranjang cucian kotor. Lantas dia mengambil sprei dari dalam lemari, lalu memasangnya dengan cekatan.
Tak lama kemudian, Airin keluar dari kamar mandi. Tubuhnya sudah terasa lebih segar. Dia sudah bisa berjalan sendiri meskipun langkahnya tertatih-tatih menahan rasa sakit di bagian intinya.
Syukurlah, darah sialan itu tidak lagi keluar dari intinya setelah dia selesai mandi, sehingga dia merasa lebih tenang.
Sepasang matanya tertuju pada peraduan mereka yang sekarang sudah lebih rapi. Sprei yang sudah berganti dengan bantal bantal yang tersusun rapi. Airin hanya bisa tersenyum tipis.
Regan selalu begitu. Lelaki itu pecinta kerapian. Dia bahkan tak membiarkan secuil debu pun mengotori kamar ini. Tangannya selalu gatal jika melihat ada bagian yang kotor di kamar pribadi mereka. Meskipun pekerjaan Regan adalah CEO RVM group, sebuah perusahaan yang membawahi beberapa stasiun televisi swasta nasional di negeri ini, tapi lelaki itu memilih membersihkan sendiri kamarnya. Buat Regan, kamar tidur adalah privasinya. Selamanya dia tak akan menyuruh orang lain untuk mengerjakan hal itu.
Setelah berganti pakaian Airin kembali membaringkan tubuhnya di pembaringan. Sebuah kecupan mendarat di keningnya.
"Sayang, bicaralah padaku. Kenapa setiap kali kita bercinta, kamu selalu merasa sakit dan terlihat sangat lelah?" Sepasang mata itu menatap Airin dalam-dalam mencoba menyelami isi hati wanita yang belasan tahun menjadi istrinya itu.
Airin menghela nafas. Ternyata suaminya masih penasaran.
"Harus berapa kali aku katakan padamu, Regan. Aku ini sudah tua. Tenagaku sudah lemah. Mungkin aku sudah tidak lagi bisa melayanimu seperti biasa," tandas Airin mengelak.
Perempuan itu meraih tangan kokoh itu kemudian mengecupnya.
"Kamu masih muda, Sayang. Aku sudah tua. Aku sudah tidak kuat lagi melayani kamu seperti saat kita pertama menikah dulu," ujar Airin dengan lembut. Jari-jemarinya mengelus dada bidang, tempat ternyamannya selama ini.
"Tidak, Sayang. Kamu bukan tua, tetapi dewasa." Regan membantah. Dia merubah posisinya dengan duduk di pinggir ranjang.
"Aku sudah empat puluh lima tahun, Regan." Airin kembali mengingatkan.
Lelaki itu menggeleng. "Tidak, kamu masih sangat cantik dan seksi dan untuk itulah aku selalu bergairah denganmu."
"Aku selalu berpikir untuk mencarikan calon istri baru untukmu. Kasihan, kamu selalu tidak puas dengan pelayananku di pembaringan ...."
"Stop!" teriak Regan. "Jangan pernah mengungkit-ungkit soal itu. Aku mencintaimu apa adanya. Kamu berada di sampingku sudah lebih dari cukup. Soal seks, itu nomor dua."
"Tapi kita belum punya anak," isak Airin. "Menikahlah. Aku ingin melihatmu bahagia dan memiliki anak, darah dagingmu sendiri."
Laki-laki itu refleks berdiri. Dia mengepalkan tangan menunjuk ke wajah Airin, seolah tidak peduli dengan tetes bening merembes kian banyak dari sudut mata istrinya.
"Kamu jangan main-main, Sayang! Jaga ucapanmu. Ada atau tidaknya anak di antara kita, itu bukan persoalan bagiku. Kita sudah membahas ini sejak lama, kan?" Kali ini nada suaranya berubah menjadi lembut saat menyadari perubahan yang terjadi di wajah istrinya.
Wajah cantik itu kembali memucat. Airin tidak kuasa beradu tatap dengan suaminya yang mendadak berubah menjadi beringas.
"Aku serius, Sayang. Penuhilah permintaanku," lirihnya.
"Tapi aku juga serius, Airin. Jangan pernah ucapkan kata-kata itu lagi padaku. Aku hanya mencintaimu dan tak pernah berniat menduakanmu dengan siapapun, apalagi dengan putri angkat kita sendiri!" Rahangnya mengeras.
Bab 2Malam semakin larut. Sementara Airin sudah tertidur di sampingnya, Regan bahkan tak bisa memejamkan mata. Dia masih teringat kata-kata istrinya barusan. Kata-kata yang sebenarnya sudah pernah dikatakan istrinya beberapa minggu yang lalu. Namun, malam ini dia kembali mengulanginya.Aarrrgggh...Ini benar-benar gila. Regan tak habis pikir dengan permintaan sang istri. Wanita yang sudah mendampinginya selama belasan tahun itu dengan mudahnya memintanya untuk menikahi Salwa, putri mereka sendiri."Menikahlah, Regan. Menikahlah dengan Salwa. Aku tak bisa mempercayai perempuan manapun, kecuali putriku sendiri."Rasanya Regan ingin gila saja. Menikahi gadis itu adalah hal yang tak terbayangkan sama sekali di otaknya. Dia sudah menganggap Salwa seperti anaknya sendiri.Salwa memang bukan putri kandung mereka, tetapi belasan tahun hidup dengan gadis kecil yang sekarang
Bab 3Gadis itu berdecak sebal. Dia benar-benar marah pada dirinya sendiri. Gara-gara tadi malam begadang nonton drakor untuk menghibur diri pasca sang mommy yang meminta dirinya menikah dengan daddy Regan, akhirnya ia justru terlambat bangun.Gadis berumur dua puluh tahun itu mandi dengan terburu-buru, lantas mengenakan pakaian dan berdandan seadanya. Bahkan ia hanya mengikat rambutnya saja, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Setelah itu menyambar tas dan ponsel.Untung saja semua bahan kuliah hari ini sudah dia masukkan ke dalam tas, termasuk tugas yang diberikan oleh si dosen killer Bapak Pramono Atmaja, dosen berumur empat puluh lima tahun itu tidak pernah mentolerir siapapun yang terlambat datang dan lalai mengumpulkan tugas.Salwa keluar dari kamarnya kemudian menutup pintu rapat-rapat, lantas menapaki anak tangga dan akhirnya sampai ke ruang makan.
Bab 4"Kamu di mana, Sayang? Kamu beneran mengantar Salwa ke kampus, kan?" Dua pertanyaan sekaligus meluncur manis dari mulut Airin saat panggilannya tersambung."Aku sedang di kantor, Sayang. Iya, tenang saja. Aku sudah antar Salwa ke kampus. Kamu sendiri di mana?" Regan balik bertanya."Ini sedang di butik," jawabnya."Di butik? Memangnya kamu kuat nyetir sendiri? Kamu masih sakit!" Suara Regan mendadak gusar."Aku tidak sakit. Aku hanya kelelahan dan sekarang kondisiku baik-baik saja," bantahnya."Kamu itu sakit, Sayang! Kita ke dokter nanti sore ya. Aku akan bikin janji temu dengan dokter terbaik di kota ini," bujuk Regan."Nggak usah, Sayang. Aku tidak sakit kok!""Kamu ini kenapa? Kenapa setiap kali aku menawarimu untuk memeriksakan kondisi kesehatan mu ke dokter, kamu selalu me
Bab 5"Rin ....""Jangan menangis, Lia. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku mendapatkan seorang laki-laki yang tampan, suami yang menyayangiku dan gadis cantik yang menjadi putriku. Hidupku sudah sempurna, Lia. Jikalau tidak lama lagi aku akan di panggil Tuhan, aku akan pergi dengan damai, karena semua yang kuinginkan di dunia ini sudah terpenuhi.""Kamu terlalu pesimis, Rin. Betapa banyak orang yang menderita penyakit sepertimu, bahkan yang sudah divonis dokter akan meninggal pun masih tetap hidup. Tak ada yang bisa menerka usia seseorang.""Mungkin," sahut Airin. "Namun, sebelum semua kemungkinan itu terjadi, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak siap.""Aku akan membantumu." Natalia buru-buru mengangguk. Dia tahu tak punya pilihan selain mengabulkan kehendak sahabatnya ini. "Nanti aku a
Bab 6Airin tengah berada di mobil. Sepasang matanya lurus menatap ke depan, mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Sikapnya demikian dewasa, nyaris tanpa emosi yang berlebihan. Pembawaan kalem itulah yang dulu membuat seorang Regan Abbasy Ghaisan jatuh cinta kepadanya, meskipun jarak usia keduanya cukup jauh, yaitu delapan tahun.Perempuan ini begitu lincah meliuk-liuk menembus kemacetan jalanan ibukota. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Dia benar-benar sabar meskipun di jam-jam sibuk seperti ini, segala macam umpatan bisa saja terlontar dari mulut para pengemudi yang tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan.Di salah satu perempatan lampu merah, dia menurunkan kaca mobil kemudian melempar pelan uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada seorang pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir jalan. Airin hanya tersenyum saat ekor matanya menangkap sang pengamen kecil y
Bab 7"Bagaimana pendapat Daddy?" balas Salwa. Dia menatap daddynya dengan berani."Kalau pendapat kamu sendiri?" Regan balik bertanya sembari terus mengamati perubahan yang mungkin terjadi di wajah little girl-nya itu."Aku tidak tahu." Salwa menggeleng. "Bagiku Daddy adalah ayahku, karena aku tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya." Gadis itu menunduk. Ujung jarinya diketuk-ketuk kan ke meja demi meredam kegelisahan di dalam hati.Melihat itu, Regan meraih tangan Salwa dan menciumnya dengan lembut. "Kita sudah dipertemukan oleh takdir. Daddy hanya ingin tahu bagaimana pandanganmu terhadap Daddy. Seperti halnya dirimu, Daddy pun merasakan hal yang sama. Kamu adalah Little Girl-nya Daddy.""Tapi bagaimana dengan mommy?" Matanya menyorot sendu. "Aku paling tidak bisa melihat mommy bersedih apalagi sampai menangis. Mommy bisa meminta apa
Bab 8"Sebaiknya kita makan dulu, Mom," saran Regan yang segera berusaha menetralkan keadaan. Lelaki itu melirik Salwa sekilas.Dia tahu, mommynya akan segera kembali melontarkan kata-kata yang serupa sebelumnya, menyayangkan keputusannya untuk menikahi Airin, wanita single parent yang dianggapnya kaum rendahan."Ada Salwa disini. Jangan sampai little girl-ku mendengar kata-kata menyakitkan dari oma-nya." Regan bermonolog. "Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah orang tuanya."Airin dan Salwa saling berpandangan. Mereka kompak menarik kursi, kemudian duduk berdampingan. Sementara Regan duduk bersama ibunya.Airin mengambil piring kemudian mengisinya dengan nasi lalu menyerahkan kepada Regan"Mommy mau aku ambilkan nasi juga?" tawar Airin."Tidak usah! Aku bisa mengambil nasi sendiri." Perempuan tua itu menggeleng.
Bab 9"Salwa yang akan meneruskannya, Mom. Sekarang dia kuliah di fakultas ekonomi dan dia yang akan menjadi pewarisku kelak!""Dia hanya anak angkat!" teriak Jihan. "Dia bukan darah dagingmu!""Dia adalah putriku, my sweet little girl!" Kali ini Regan benar-benar berteriak. "Dia pantas menjadi pewarisku dan aku yang akan turun langsung untuk membimbingnya mengelola RVM grup!""Putri dari negeri antah berantah yang sejak lahir berada di panti asuhan dan tidak tahu siapa orang tua kandungnya, itu yang kamu anggap sebagai putrimu?" Jihan balas berteriak."Cukup, Mom! Seperti apa pun latar belakang Salwa, nyatanya putriku tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Aku pikir orang tua kandungnya adalah orang-orang yang hebat, meskipun putaran nasib telah membuatnya sejak lahir harus berada di panti asuhan sebelum bertemu diriku!" Suara Airin bergetar. Dia merasakan dadanya mulai sesak. Sebuah lengan kokoh sontak menopang tubuh itu, membuatnya tegak berdiri."Sudahlah, Sayang. Kamu terli