Share

Menyimpan rahasia

Bab 5

"Rin ...."

"Jangan menangis, Lia. Aku sudah cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku mendapatkan seorang laki-laki yang tampan, suami yang menyayangiku dan gadis cantik yang menjadi putriku. Hidupku sudah sempurna, Lia. Jikalau tidak lama lagi aku akan di panggil Tuhan, aku akan pergi dengan damai, karena semua yang kuinginkan di dunia ini sudah terpenuhi."

"Kamu terlalu pesimis, Rin. Betapa banyak orang yang menderita penyakit sepertimu, bahkan yang sudah divonis dokter akan meninggal pun masih tetap hidup. Tak ada yang bisa menerka usia seseorang."

"Mungkin," sahut Airin. "Namun, sebelum semua kemungkinan itu terjadi, aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tidak mau meninggal dunia dalam keadaan tidak siap."

"Aku akan membantumu." Natalia buru-buru mengangguk. Dia tahu tak punya pilihan selain mengabulkan kehendak sahabatnya ini. "Nanti aku akan menghubungi tuan Adrian Lee. Beliau yang akan datang sendiri ke sini. Kamu tidak perlu repot. Tunggu saja kedatangan beliau."

"Terima kasih, Lia. Aku mengandalkan dirimu dalam setiap keperluan." Airin mulai membuka berkas laporan yang di berikan oleh asisten pribadinya ini.

Laporan ini adalah hasil riset Natalia ke beberapa butik cabang. Airin tampak serius menatap setiap huruf dan angka, sesekali menanyakan beberapa hal pada Natalia. Dia terlihat sangat antusias. Sikap yang berbeda dia tunjukkan saat berada di topik pembicaraan mereka sebelumnya.

Airin sangat bersemangat dengan pekerjaannya. Belasan tahun ia menjalani usaha ini. Airin hanya mempercayai satu orang untuk mendampinginya. Natalia, satu-satunya sahabat yang ada saat hidupnya terpuruk. Semua anggota keluarga membuangnya, karena Airin di anggap telah mencemarkan nama baik keluarga dengan hamil diluar nikah. Natalia yang merawatnya saat ia terbaring kesakitan di ranjang rumah sakit usai aborsi paksa itu. Natalia pula yang mendukungnya saat ia memutuskan untuk mengadopsi Salwa.

*****

"Tunggu Daddy dan om Armand kembali, Little Girl. Jangan kemana-mana," perintah Regan. Lelaki itu mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi , lantas mengenakannya.

"Lebih baik aku pulang ke rumah, Daddy. Aku tidak mau mati kebosanan di tempat ini," gerutu Salwa. Berjam-jam dia terkurung di ruangan kerja daddynya, tapi tak ada yang bisa di lakukannya.

Meskipun wajahnya cemberut, ia tetap memperhatikan Regan yang tengah sibuk memperbaiki penampilannya. Salwa berinisiatif mendekat, mengulurkan tangan menyentuh dasi yang di kenakan oleh lelaki gagah itu, kemudian membenarkan letaknya. Regan tersenyum tipis saat Salwa kembali memundurkan tubuhnya.

"Aku sudah berjanji kepada mommy kamu. Kita akan pulang bersama nanti. Jadi hentikan niatmu untuk pulang sendiri!" ultimatum Regan. "Kamu tidak mau, kan mommy marah besar?"

Pemilik mata elang itu menatap tajam gadis di hadapannya ini, berusaha membuat little girl-nya itu menurut. Sementara tangannya terkepal kuat, mengingat percakapan dengan mommy gadis itu beberapa jam yang lalu. Airin bukannya menanggapi tawarannya untuk chek-up ke dokter, tapi malah makin bersemangat mendekatkan dirinya dengan Salwa!

Salwa memutar malas bola matanya. Seorang lelaki muda yang ia kenal sebagai om Armand tampak sibuk memasukkan laptop dan beberapa map ke dalam tas kerja milik daddynya.

"Baiklah, Little Girl. Daddy berangkat dulu." Akhirnya ia kembali bersuara setelah melihat sekilas bayangan sosok Armand yang keburu menghilang di balik pintu.

"Daddy ...." Salwa merengek. "Aku lapar."

"Kamu bisa pesan makanan sendiri, kan?" Regan menggelengkan kepala dengan tingkah my sweet little girl yang menurutnya sangat konyol itu.

Dia harus meninggalkan Salwa sekarang. Pekerjaan ini jauh lebih penting. Langkah-langkah panjangnya menyusuri lorong gedung, masuk ke lift dan berakhir di lobby. Armand dan Shafira, sekretarisnya sudah menunggunya disana.

Salwa menghentakkan kakinya ke lantai, saat suasana sudah sepi. Dia menutup pintu ruang kerja Regan, lantas menghempaskan tubuhnya ke sofa.

"Apa yang harus kulakukan? Kenapa Daddy membiarkanku sendirian disini? Aku takut ...." Gadis itu menaikkan kakinya ke sofa lantas melengkungkan badan, memeluk sepasang betis mulus itu.

Tak ada seorang pun yang tahu kalau dia sebenarnya takut sendirian. Salwa ketakutan berada di ruangan sebesar ini, di ruangan kerja daddynya. Di sekelilingnya hanya ada meja kerja, rak buku, lemari, sofa dan benda-benda mati, bahkan di ruang peristirahatan pun hanya ada ranjang yang beku.

Salwa masih memeluk sepasang betisnya. Bulu kuduknya meremang. Meski ia tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, tetapi entah kenapa setiap kali berada sendirian di sebuah ruangan yang tak begitu dikenalnya, ia selalu merasa takut. Apakah ini dampak psikologis yang berasal dari sejarah kelahirannya yang memang tidak dikehendaki oleh orang tuanya?

Mommy Airin sangat menyayanginya, memperlakukan bagaikan putri kandungnya. Namun, meskipun begitu wanita itu sama sekali tidak pernah menutupi asal-usulnya. Airin tidak ingin Salwa menerima kekecewaan di kemudian hari saat mengetahui kalau sebenarnya Airin bukanlah ibu kandungnya. Lagipula, saat dia di bawa mommy Airin dari panti asuhan, usianya sudah tiga tahun. Dia sudah bisa mengenali orang lain. Alam bawah sadarnya merekam suatu hal, bahwa dia hanyalah seorang anak angkat.

Suara dering ponsel memecah keheningan, menggerakkan tangan lembut itu membuka tas di dekat tempat duduknya.

"Dewi?" Mendadak aura di ruangan ini berubah menjadi hangat.

Panggilan segera tersambung beberapa detik kemudian. Salwa merubah posisi duduknya dengan berbaring telentang di sofa panjang itu.

"Aku suntuk, Wi," ucap Salwa setelah telinganya puas mendengar berondongan pertanyaan yang meluncur dari mulut Dewi, teman kuliahnya seputar ketidakhadirannya di ruang kuliah tadi pagi.

"Memangnya kenapa, Salwa? Ada masalah denganmu? Lagipula kenapa juga harus ikut daddy ke kantor. Bukannya kamu bisa pulang sendiri naik taksi?" Di ujung telepon, gadis itu tengah mengerutkan keningnya.

"Banget, Wi, tapi daddy tidak mengizinkanku untuk pulang sendirian, karena takut mommy akan marah besar."

"Marah besar? Masa iya, pulang sendiri saja membuat dia marah?" Dewi semakin keheranan.

"Iya, karena daddy telah berjanji kepada mommy bahwa hari ini kami akan pulang bersama." Salwa menghembuskan nafas berat.

"Aneh sekali. Tidak biasanya mommy kamu begitu," komentar Dewi. "Memangnya ada masalah apa, Salwa?"

Salwa memegang dadanya, berusaha menetralkan detak jantung yang kian cepat, sementara hatinya menimbang-nimbang, apakah Dewi bisa dipercaya atau tidak menyimpan rahasia ini

"Dewi, kamu bisa tidak menyimpan rahasia?"

"Rahasia? What?!" Suara gadis itu jelas menunjukkan rasa kaget.

"Ya, rahasia hubungan antara aku dan daddy sekarang ini." Salwa merasa tenggorokannya kering.

"Bukankah kamu adalah anak angkat daddy dan mommy? Itu, kan sudah jelas!"

"Mommy Airin menjodohkanku dengan daddy Regan!" ucap Salwa akhirnya.

"Hah ...!!"

Salma menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar teriakan Dewi yang menggelegar.

"Jangan keras-keras. Nanti orang lain di dekatmu bisa dengar!" Salwa buru-buru mengingatkan.

"Sorry.... Aku benar-benar kaget, Salwa. Kenapa itu bisa terjadi? Memangnya boleh ya, kamu menikah dengan daddy Regan-mu itu?"

"Aku tidak tahu, Dewi." Salwa geleng kepala. "Namun, bagiku daddy itu adalah ayahku walaupun cuma ayah angkat!"

"Nah, itu kamu tahu. Terus apa masalahnya?" kejar Dewi.

"Masalahnya aku tidak mau membuat mommy sedih, kalau aku menolak keinginannya," sahut Salwa sedih.

"Lagian mommy kamu aneh-aneh saja. Kenapa bisa begitu ya?"

"Entahlah, mungkin karena selama belasan tahun menikah dengan daddy, dia tidak mendapatkan anak seorang pun," ucap Salwa tampak pasrah.

"Tapi tidak segitu juga kali, Salwa? Terus, pendapatmu sekarang apa?" pancing Dewi.

"Entahlah, aku juga tidak tahu," sahut Salwa sembari memejamkan mata.

"Loh, kamu nggak boleh begitu! Kamu harus menentukan sikap. Lantas, bagaimana dengan sikap daddy kamu? Memangnya dia mau menerima perjodohan itu?"

Salwa menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Dewi, tetapi sejak pagi ini daddy terlihat mulai perhatian padaku."

"Ah, kurasa kalau hanya sekedar mengantarkan kamu ke kampus itu tidak spesial. Seorang ayah bisa saja mengantarkan putrinya ke kampus," bantah Dewi.

"Tapi aku harus bagaimana menghadapi sikap daddy?" Sebelah tangan Salwa mulai bergerak memijat-mijat kepalanya sendiri, sembari terus memejamkan mata.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mommy Bii
Salwa mulai kepikiran... ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status