Share

Kedatangan ibu mertua

Bab 6

Airin tengah berada di mobil. Sepasang matanya lurus menatap ke depan, mengemudikan kendaraannya dengan tenang. Sikapnya demikian dewasa, nyaris tanpa emosi yang berlebihan. Pembawaan kalem itulah yang dulu membuat seorang Regan Abbasy Ghaisan jatuh cinta kepadanya, meskipun jarak usia keduanya cukup jauh, yaitu delapan tahun.

Perempuan ini begitu lincah meliuk-liuk menembus kemacetan jalanan ibukota. Sesekali ia memperlambat laju mobilnya. Dia benar-benar sabar meskipun di jam-jam sibuk seperti ini, segala macam umpatan bisa saja terlontar dari mulut para pengemudi yang tidak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan.

Di salah satu perempatan lampu merah, dia menurunkan kaca mobil kemudian melempar pelan uang pecahan dua puluh ribu rupiah kepada seorang pengamen yang tengah bernyanyi di pinggir jalan. Airin hanya tersenyum saat ekor matanya menangkap sang pengamen kecil yang melambaikan tangan dengan senyum sumringah.

"Aku akan berusaha berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Mampung waktuku masih ada," tekadnya menyikapi ulah refleksnya barusan.

Airin kembali meneruskan perjalanan. Rumah tinggalnya sudah tidak terlalu jauh lagi. Sekitar lima belas menit lagi ia akan sampai ke rumah.

Dia sangat butuh istirahat. Perutnya yang mulai nyeri dan kakinya yang kembali membengkak. Perempuan itu harus segera kembali meminum obat. Dia tak ingin kondisinya drop saat Regan berada di dekatnya. Airin tak mau lelaki itu menjadi semakin curiga.

Seorang penjaga rumah membukakan pintu pagar untuk Airin. Setelah melempar senyum, perempuan berumur empat puluh lima tahun itu memasukkan mobilnya ke halaman.

"Ada tamu rupanya," ucap Airin dalam hati saat melihat sebuah mobil yang tak dikenalnya terparkir di halaman rumah. Perempuan itu meraih tas kemudian turun dari mobil.

Dia bergegas melangkah menuju rumah. Tampak di teras yang luas itu, bi Lastri asisten rumah tangganya tengah asyik menyapu lantai.

"Nyonya," panggil perempuan itu menyadari majikan mudanya sudah datang. Perempuan tua itu langsung merentangkan tangan.

"Ada apa Bi?" Airin merasa heran dengan tingkah asisten rumah tangganya.

"Ada nyonya besar di dalam," bisik bi Lastri.

"Nyonya besar? Maksud Bibi, Mommy Jihan ...?" Airin memekik kecil saking terkejutnya.

"Iya, Nyonya." Bi Lastri mengangguk.

Sikap terkejut yang sontak diperlihatkan Airin barusan berangsur surut. Perempuan ini begitu cepat menguasai dirinya.

"Terima kasih atas pemberitahuannya, Bi. Saya masuk dulu. Oh, ya, jangan lupa bersihkan kamar yang biasa di ditempati oleh mom Jihan ya," titahnya.

"Ya, Nyonya." Bi Lastri kembali melanjutkan pekerjaannya.

Airin meneruskan langkah. Benar, saat sepasang kaki jenjang itu memasuki ruang tamu, seorang wanita tua nampak duduk santai di sofa. Di dekatnya puluhan paper bag nampak tersusun rapi.

Melihat itu, Airin hanya sanggup menggelengkan kepala. Ibu mertuanya tak juga berubah. Di usianya yang sudah menginjak enam puluh tahun, kebiasaan belanja tak juga surut. Benar, mereka memang mampu dan Regan sanggup membiayai perilaku hedonis sang ibunda. Namun, jikalau membeli sesuatu yang tak penting, tentunya tidak disarankan, bukan?

Airin mendekat. Matanya lurus menatap wajah wanita tua itu yang nampak dingin membalas tatapannya.

"Selamat sore, Mom," tegur Airin. Dia mencoba meraih tangan tua itu, tetapi Jihan menjauhkan tangannya dengan kasar sehingga tangan Airin hanya menyentuh udara kosong.

"Tidak usah sok bermanis-manis di hadapanku, Airin" ketusnya.

"Airin hanya ingin bersalaman dengan Mommy," balasnya dengan lembut.

"Tak sudi tanganku ini bersentuhan dengan tanganmu. Ingat, kita ini berbeda! Apakah kamu sudah lupa dengan asal-usulmu?" Perempuan itu tersenyum sinis.

Bibir yang sedikit pucat itu masih bisa membalas dengan senyum manis. "Airin tidak pernah  melupakan dari mana Airin berasal, tetapi Airin hanya ingin mencoba menghormati mommy sebagai ibu mertua Airin. Tidak lebih," belanya.

"Oh, ya? Ibu mertua?" cerca Jihan. "Silakan saja kalau kamu menganggap aku sebagai ibu mertuamu, tetapi selamanya aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai menantuku! Camkan itu, Airin!"

"Tak apa, Mom. Itu sudah lebih dari cukup." Airin berusaha menekan hatinya untuk tak mendramatisir ucapan dari ibu mertuanya.

"Sekarang buatkan aku minuman. Ingat, jangan menyuruh pembantu. Harus kamu sendiri yang membuatnya!" perintah Jihan saat melihat Airin sedang bergerak bermaksud duduk di sofa.

Airin meraih tasnya, kemudian segera berlalu dari tempat itu tanpa bicara sepatah kata pun. Dia terus melangkah dengan menahan rasa tidak enak di dalam hatinya.

Kedatangan mom Jihan begitu tiba-tiba dan dia tidak siap menghadapi semua ini, apalagi Regan masih di kantor.

"Dia sudah berjanji akan pulang sore ini," gumam Airin penuh harap saat melihat jarum pendek di jam dinding yang terpasang di tembok arah menuju dapur.

Setelah selesai membuat minuman, Airin segera mengantarkannya kembali ke ruang tamu, lalu meneruskan langkah menuju tangga, naik ke lantai atas menuju kamarnya.

Rasa nyeri di perutnya kian hebat, ditambah lagi bolak-balik antara ruang tamu ke dapur, dari dapur ke ruang tamu, terus menapaki anak tangga naik ke lantai atas menuju kamarnya membuat kakinya semakin bengkak. Beruntung ibu mertuanya tidak memperhatikan perubahan yang terjadi di kakinya.

"Bagaimana mungkin dia bisa memperhatikan sedetail itu sementara melihat mukaku saja dia enggan," pikirnya.

Airin membuka tasnya kembali, mengambil plastik kecil dan segera meminum obatnya sebelum terlambat. Segelas air putih melewati tenggorokannya terasa segar.

Dua puluh menit telah berlalu. Airin sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian. Perempuan itu tengah memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik agar terlihat lebih segar. Tak lupa menyisir rambutnya yang masih lembab, menyisakan aroma shampo. Beberapa helai rambut tersangkut di sisir itu, walaupun sisir yang digunakannya adalah sisir jarang. Airin hanya menghela nafas.

"Berapa lama lagi mahkota ini bisa bertahan?" Perempuan itu mengusap rambutnya yang kian lama kian menipis.

*****

Sementara itu di sebuah restoran mewah, Regan dan Salwa tengah asyik menikmati makanan.

"Lain kali jangan diulang lagi, Little Girl. Daddy tidak suka kamu melewatkan waktu makan siang, apapun alasannya!" Matanya menyorot tajam saat melihat putrinya makan dengan lahap.

"Maaf, Dad, aku benar-benar ketiduran," sahut Salwa di sela-sela suapannya.

Regan terdiam. Di balik itu, sebenarnya ia merasa bersalah telah meninggalkan putrinya selama berjam-jam di ruangannya demi urusan pekerjaan. Andai saja bukan perintah Airin yang menginginkan kebersamaan di antara mereka, tentu lebih baik ia menyuruh putrinya pulang sendiri.

Regan menghela nafas, berusaha mengibaskan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di otaknya.

"Ada yang ingin Daddy bicarakan denganmu, Little Girl," ujar Regan saat mereka sudah selesai makan.

"Ya, Daddy. Katakan saja," sahut Salwa.

Bagi Salwa, inilah saatnya untuk mengetahui pandangan daddynya tentang keinginan mom Airin untuk menjodohkan mereka berdua.

Regan menelan ludahnya. Rasa gugup yang melanda bagaikan seorang pemuda yang akan menyatakan cinta kepada wanita pujaannya.

"A-apakah Mommy sudah membicarakan hal ini denganmu, Little Girl?" Suaranya tergagap

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mommy Bii
Nah, mereka mulai saling terbuka
goodnovel comment avatar
Puput Arya Octavia
Menarik, dari ini jadi anak angkat malah jadi calon istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status