Share

Amarah 'Gadisnya'

Sarah duduk termenung di sopa ruang tengah sendirian, hingga kemudian terdengar suara langkah kaki di telinganya. Ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arah sumber suara. Ternyata ayahnya sedang berjalan menuju ke arahnya dengan tatapan bingung.

"Kok belum berangkat juga?" tanya sang ayah saat sampai lalu ikut duduk di samping putrinya.

"Seharusnya ayah menanyakan hal itu kepada Arsen. Bukan kepadaku" jawabnya dengan merengut. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan. Ia melanjutkan, "Bilangnya pergi jam 3. Tapi sekarang udah hampir jam 5 gak dateng-dateng"

"Kamu udah coba telepon dia? Barangkali Arsen sedang terjebak macet" tanya Haris sekaligus memberikan usulan.

"Ngapain. Males banget ak.." belum selesai Sarah berucap, dering panggilan terdengar nyaring dari ponselnya yang ia simpan di dalam tas. Tanpa berlama-lama, ia segera mengangkat panggilan itu setelah membaca nama yang tertera disana. Tentu saja rasa geram muncul seketika saat tahu bahwa orang yang sudah ia tunggu lebih dari 1 jam itulah yang menelepon. 

"Niat pergi gak sih? Bukannya aku udah bilang kalau beneran sibuk gak usah maksa pergi? Kenapa belum dateng juga sampe sekarang? Lihat sekarang jam berapa, aku nungguin kamu dari tadi loh" tembaknya langsung tanpa menyapa terlebih dahulu. "Yaudahlah.. Cancel aja. Masalah gaunku biar aku aja yang urus sendiri" tutupnya kemudian melempar pelan ponselnya ke atas meja di depannya.

"Kamu kok bicaranya seperti itu sih?" protes ayahnya tak suka. "Dia calon suamimu, Sarah. Sudah seharusnya kamu menghormati dia. Lagipula, kamu kan gak tau kenapa Arsen tiba-tiba berhalangan pergi. Siapa tau terjadi sesuatu saat di jalan" Haris menghela nafasnya kasar.

Sarah hanya bungkam. Diam-diam, dia mendengarkan nasihat ayahnya yang dirasa benar adanya.

'Apakah tadi aku terlalu kasar?' ucapnya dalam hati dengan terselipnya sedikit rasa penyesalan. 

***

Rencana Arsen untuk menemani Sarah fitting gaun hari ini sudah berantakan. Hal ini disebabkan 'tragedi' naas yang menimpanya beberapa jam yang lalu, walaupun yang menjadi korban sebenarnya bukanlah dia. Melainkan seorang siswi SMA yang menurutnya begitu ceroboh dalam mengendarai sepeda, sehingga kemalangan menimpa siswi itu sendiri. 

Saat ini, dia dan sopir pribadinya sedang duduk di kursi tunggu rumah sakit. Di depan ruangan tempat gadis itu sedang ditangani oleh dokter. Suasana di koridor sekarang ini sebenarnya cukup sunyi, andaikan sopirnya berhenti meminta maaf karena merasa bahwa ialah yang menjadi penyebab kecelakaan itu. 

"Sudah saya bilang ini bukan salah anda" ucapnya untuk yang kesekian kalinya. Arsen hanya duduk bersandar sambil memejamkan kedua matanya. 

"Tetap saja, saya punya andil dalam terjadinya kecelakaan ini. Seharusnya saya bisa lebih berhati-hati sebagai seorang yang sudah bertahun-tahun berdedikasi sebagai sopir. Saya benar-benar menyesalinya, Tuan" ucap si sopir dengan raut wajah bersalah. Tampak guratan di keningnya yang menandakan bahwa orang tua itu memang tak lagi muda. 

"Hhh.. Keras kepala. Kecelakaan ini seratus persen terjadi karena gadis ceroboh itu. Anda pikir saya tidak melihat bagaimana dia dengan ugal-ugalannya bersepeda hingga menyerobot jalur kita? Sudahlah.. Yang penting kita baik-baik saja" tenangkannya kepada sang sopir. Arsen tak merelakan sedikitpun rasa bersalah dapat bersarang di hati pria tua tersebut.

"Saya takut terjadi hal yang serius kepada gadis muda itu" ucap pria itu dengan khawatir. 

"Dia akan hidup. Percayalah" 

"Maksud saya, saya takut gadis itu mengalami luka dalam yang serius" ralatnya dengan lebih jelas kemudian, merasa respon yang dilontarkan Tuannya terlalu jauh dari konteks.

"Yang penting dia hidup" jawab Arsen sembarangan. 

"Tuan Arsen kalau bicara terlalu menyengat" 

Arsen menoleh ke samping, tepatnya ke arah sang sopir yang biasa dipanggil orang-orang dengan sebutan 'Pak Wiryo'. Ia tersenyum mendengar penuturan sopir pribadinya itu barusan. 

Bicara mengenai Pak Wiryo. Beliau adalah seorang pensiunan guru yang mengajar di salah satu sekolah negeri. Uang pensiunannya tidak dapat mencukupi biaya hidupnya, sang istri, ibunya, serta biaya ketiga cucunya yang sedang bersekolah di pesantren. Belum lama ini, istrinya divonis mengidap TBC.  Ditambah lagi sang ibu yang sudah sejak lama sakit-sakitan. Maklumlah, karena usia tak lagi muda.

Beruntung bagi Wiryo, karena bertemu orang baik seperti Arsen. Yang tak pernah perhitungan atas apapun kepadanya. Berapapun biaya yang diperlukan untuk berobat ibunya, selalu dibayarkan oleh Tuannya itu. Padahal gajinya berkali-kali lipat lebih kecil dari buah tangan sang majikan. 

"Saya lapar" ucap Arsen tiba-tiba lalu menyadarkan lamunan Wiryo.

"Tuan mau makan apa?" 

"Belikan saya roti sama air mineral botol"

"Baik Tuan. Saya pamit sebentar" kata Wiryo undur diri lalu berjalan menjauh. 

Arsen mengekori langkah tergesa-gesa Pak Wiryo dengan kedua matanya, sampai akhirnya tubuh sang sopir menghilang dibalik kerumunan orang-orang. 

Selanjutnya, ia mengambil ponselnya yang ia simpan di saku jas lalu mencoba menghubungi seseorang dan mengetikkan beberapa pesan kepada seseorang melalui aplikasi chatting. Setelah selesai dengan urusannya, datanglah Pak Wiryo yang berjalan tergopoh-gopoh membawa makanan dibungkus dengan kantong plastik.

"Ini Tuan" ucap Pak Wiryo sambil mengulurkan barang yang dibawanya barusan. 

"Terimakasih" 

"Sama-sama, Tuan Arsen" 

*klik*

Suara pintu berbunyi menandakan seseorang akan keluar. Nampak dokter muda yang memakai pakaian bedah telah keluar dari ruangan operasi. Arsen yang melihatnya spontan berdiri mendekati, diikuti Pak Wiryo yang membuntutinya di belakang. 

"Bagaimana?" tanyanya langsung. 

"Operasinya lancar. Beruntunglah tulang betisnya tidak patah sebab hanya mengalami keretakan, namun cukup serius" jelas dokter muda berkacamata itu kepada Arsen. 

"Syukurlah.." ucap Arsen merasa lega dengan kabar yang dirasanya 'baik' itu. 

"Ya.. Walaupun begitu ia tetap harus memakai kruk selama masa pemulihan nantinya apabila ingin beraktivitas"

"Pokoknya lakukan saja yang terbaik" ujarnya tak ingin peduli. 

"Apa kau sudah menghubungi keluarganya?" tanya dokter secara tiba-tiba. 

"Saya tidak mengenal gadis itu sama sekali. Bagaimana mungkin saya bisa tahu siapa yang harus saya hubungi?" ucapnya berbohong. Padahal sebelum itu, ia sudah mencoba menghubungi seseorang dan mengirim pesan kepada salah seorang kerabat pasien. Sayangnya, orang yang dihubungi hanya acuh dan terkesan tidak peduli sama sekali. 

"Kalau begitu kau tanyalah ia saat siuman nanti. Sekarang pasien masih dibawah pengaruh bius dan membutuhkan istirahat"

"Yah.. Apa boleh buat. Kira-kira berapa lama lagi saya harus menunggu?" 

"Tidak lama kok. Yang penting habiskan saja makananmu itu terlebih dahulu" tunjuk dokter yang memiliki nametag 'FELIX' dengan dagunya ke arah roti di tangan Arsen. 

"Anda mau ini bukan?" tawar Arsen dengan wajah mengejek. 

"Hahahaha... Ada-ada saja kau Arsen. Sudahlah, aku mau mengganti pakaian" kemudian dokter itupun berlalu meninggalkan Arsen dengan Pak Wiryo. 

"Tuan Arsen kenal dokter itu?" 

"Sangat kenal..." jawab Arsen dengan lembut. Ia menatap penuh arti ke arah Dokter Felix yang sudah jauh di ujung sana. Pak Wiryo yang melihatnya merasa heran. Ia sedikit puas karena keingintahuannya tentang hubungan dokter dan Arsen telah terjawab, namun di sisi lain timbul rasa penasaran yang lain karena ekspresi tak biasa yang ditunjukkan Tuannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status