Ilma tersenyum manis sekali. Aku tidak bisa kalau disuruh untuk bertanding dengan senyumannya itu. Wajahnya teduh. Membuat nyaman siapapun yang memandang. Aura keshalihan jelas terpancar. Sementara aku?
Tiba-tiba, Yuda menggeret lengan ini dengan kasar. Membuatku sedikit terhuyung.
"Temani aku ke ruang dosen! Mau tanya jadwal bimbingan skripsi," ucapnya tanpa merasa bersalah.
"Lepasin ah, Yud! Tanganku sakit!" teriakku kencang. Tapi, Yuda tidak peduli. Hingga akhirnya, pegangan tangannya ia lepaskan saat kami sudah di depan ruang dosen.
"Apaan, sih?" protesku kesal.
"Kamu jangan jadi penguntit! Mereka berdua sedang berduaan. Ngapain di belakang mereka tadi?" tanya Yuda serius.
"Dih, apaan juga? Tadi itu, cowok yang bersama Ilma yang antar aku. Dia sopir kakak iparku!" jelasku sewot.
Yuda nyengir kuda. Membuat diriku sebal dan langsung meninggalkannya menuju kelas.
Aku dan beberapa teman lain memang mengambil jadwal skripsi lebih awal. Oleh karenanya, saat ini, perkuliahan kami masih berlangsung.
Ilma, gadis alim yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan di kampus saat semester sebelumnya, cewek yang selalu menjadi perhatian para dosen karena aktif dalam perkuliahan, aku tahu itu dari teman sekelasnya yang akrab denganku. Ah, apalah diri ini dibandingkan dia?
Sejak dirinya tahu kalau aku mengenal Doni, ada yang berbeda dari sikapnya. Memang, selama ini kami tidak saling bertegur sapa. Akan tetapi, sekarang lebih lain lagi. Ilma seakan menunjukkan kelebihannya saat sewaktu-waktu kami bertemu di kantin.
Bercerita tentang dirinya yang aktif, dan keorganisasian yang pernah dia ikuti. Tentu dengan kawan yang bersama saat itu.
Sejak saat itu, aku sering melihat Doni datang ke kampus. Aku dan Ilma, kami hanya beda kelas saja. Sehingga, saat mereka berdua bertemu di depan gerbang, sepulang kuliah selalu melihat mereka berdua. Doni selalu menyapa saat berjumpa denganku. Kadang dia bawa mobil Mas Irsya, kadang pakai motor.
Semenjak tahu kedekatan mereka berdua, entah mengapa, aku lebih banyak diam. Hingga suatu ketika, Mbak Nia menyuruh Doni menjemputku untuk pulang. Pria pendiam itu menjemput ke kost. Saat kami hendak masuk mobil, aku mendengar, Doni menerima telepon dari seseorang.
"Iya, aku jemput Fani disuruh bosku," ujar Doni terdengar menjelaskan.
Aku langsung berhenti dan melihat ke arah pria di seberang mobil.
"Oh, mendadak banget? Ya, aku jemput, ya? Kamu tunggu di depan kost."
Aku membuka pintu mobil Mbak Nia. Dan masuk lebih dulu.
"Ilma, dia mau ikut pulang," ucap Doni saat sudah berada di balik kemudi.
"Oh, bukannya dia bawa motor, ya? Biasanya kan pulang pergi sendiri?"
"Kok kamu tahu? Bukannya kalian tidak saling mengenal?" tanya Doni merasa aneh.
"Eh, iya! Itu, kan ada temen aku yang satu kost. Tetiba dia cerita gitu," jawabku berbohong.
Ya kali, aku mau jawab jujur kalau sebenarnya aku yang sengaja cari info?
"Kok, Mas Doni tahu kami tidak saling kenal?" tanyaku balik.
"Iya, aku tanya Ilma waktu pertama kali antar kamu ke kampus."
"Oh, gitu, ya?" Doni hanya melirik sekilas, mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya.
Sampai di tempat kost Ilma, gadis itu sudah berdiri di pinggir jalan. Doni turun menghampiri. Sebegitu berlebihannya! Padahal bisa dipanggil.
"Fan, maaf! Ilma minta duduk di depan. Katanya takut mabok," ucap Doni setelah masuk kembali.
Dengan perasaan jengkel, aku turun. Dan berpindah tempat. Sempat kami bersitatap, Ilma tersenyum. Entah pura-pura atau terpaksa. Pilihannya tidak ada yang mengenakkan hati ini.
Di dalam mobil, aku seperti pembantu yang ikut majikanku pergi belanja. Ya, karena sama sekali tidak dihiraukan keberadaan aku. Dari pembicaraan mereka, akhirnya diriku tahu, kalau Ilma dan Doni berasal dari satu kampung yang sama. Mereka berteman sejak kecil.
Posisi dudukku berada di belakang Ilma pas.
"Fan, maaf! Kamu bisa pindah gak? Aku mau merebahkan kasur buat tiduran. Agak capek. Semalam mengerjakan tugas teman-teman yang tidak bisa dan minta tolong sama aku," ujar Ilma tanpa merasa bersalah. Dan bodohnya, aku menurut saja.
Terdengar kembali mereka berdua berceloteh riang. Ilma sepertinya batal mengantuk.
"Mas, nanti mampir di supermarket, ya? Aku mau belanja," pinta Ilma terdengar manja.
Di waktu bersamaan, Mbak Nia menelpon agar secepatnya sampai rumah Mas Irsya.
"Maaf Ilma, mbakku menyuruh biar cepat," ujarku menolak.
"Mas Doni, bentaran, ya?" pinta Ilma kembali, seolah mengabaikan kalau aku ada di sini.
"Eh, tapi, itu, Bu Nia minta Fani cepat pulang," tolak Doni.
"Mas," ujar Ilma merajuk.
Aku tidak percaya. Sosok yang selama ini terlihat sempurna di hadapan teman-temannya berani berperilaku demikian.
"Baiklah," sahut Doni pasrah.
Setelah berbelanja, kembali, Ilma kembali merajuk minta diantar pulang lebih dulu.
"Tapi Mbak Nia dah nyuruh aku pulang, kali aja emang penting. Aku diantar dulu," pintaku memelas.
"Bentaran Fani! Kan rumahnya duluan aku. Mas Doni sebelum ini baik banget lhoh! Kamu jangan coba menghasut dia," ucap Ilma dengan nada suara dibuat sok imut.
"Ilma, aku enggak ...." Kalimatku langsung dipotong Doni.
"Aku antar Ilma dulu."
"Tapi Mbak Nia ...." Aku berusaha untuk menjelaskan.
"Nanti aku yang bilang sama Pak Irsya," jawab Doni tegas.
Aku hanya bisa pasrah. Kubanting punggung di sandaran kursi.
“Makasih, Mas,” kata Ilma manja.
*
"Fani, Mbak kan sudah bilang kalau kamu harus cepat pulang!" protes Mbak Nia uring-uringan saat aku mulai memasuki rumah besar milik suaminya. Sementara Doni membuntut dari belakang.
Aku yang sudah terlanjur kesal memilih diam tidak menjawab pertanyaan dari Mbak Nia. Terdengar Doni meminta maaf pada istri majikannya itu. Dan mengatakan, bila keterlambatanku karena salahnya.
"Kenapa diam? Gak marah sama sopir kesayangan? Sama aku aja langsung disemprot!" protesku saat kami berdua di dapur. Mbak Nia diam saja.
"Aku ini adik kandungmu apa bukan sih, Mbak?" tanyaku kemudian.
Mbak Nia malah ngeloyor pergi meninggalkan aku seorang diri.
Hari ini, ada acara kepala sekolah di rumah ini. Itu sebabnya aku disuruh buat bantu-bantu menata tempat.
Lagian, punya pembantu banyak di warung, aku yang disuruh. Emang ya, Mbak Nia itu selalu bikin aku lelah. Bayangan Ilma yang mengesalkan membuat mood-ku rusak. Tidak peduli nanti Mbak Nia yang akan marah, aku memilih masuk kamar Dinta. Dan menguncinya dari dalam.
Pokoknya, Fani harus pasang strategi untuk membuat Ilma sakit hati. Tekadku dalam hati.
Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi
"Mbak Nia, Fani sepertinya sedang merasa tertekan ini, Mbak," ujar Ilma lagi. "Tadi gak kenapa-kenapa ya, Mbak? Kenapa sekarang jadi nangis? Kamu kenapa, Fan?" Ilma heboh sendirian. Doni menangkap ada yang tidak beres dari gadis yang sedari tadi mendominasi pembicaraan.Pun dengan Dinda. Gadis itu menoleh dan menatap tajam pada Ilma."Mbak Nia, sepertinya Fani butuh ketenangan. Apa tidak sebaiknya tidak terlalu banyak orang di ruangan ini?" usul Dinda dengan terus menatap pada Ilma."Oh, iya, ayo, kita keluar. Biarkan Fani istirahat. Mbak Nia sama Ibu aja yang jagain. Kita semua keluar," ajak Ilma seolah dirinya memiliki kekuasaan untuk mengatur di sana."Kenapa kamu yang heboh sih?" tanya Dinda kesal."Aku hanya mengusulkan, supaya Fani bisa istirahat,""Tapi da
Ibu Nia memberi isyarat pada putri bungsunya untuk diam. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada Umar yang komat-kamit dan mengangkat kedua tangan."Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbil qulubi waadawaiha waafiati abdaniwasyifaiha ...." Umar melantunkan sholawat tibbil qulub yang diketahui sholawat untuk mendoakan orang yang sakit dengan suara merdu.Seketika semuanya hanyut dalam lantunan suara Umar. Terasa menyejukkan hingga semua yang ada di dalam ruangan ikut bersholawat. Rasa benci pada sosok aneh yang berdiri dengan menengadahkan kedua tangan seketika sirna dalam hati Nia."Tolong semuanya diam tidak usah ikut-ikutan! Kalian ini jangan sembarangan mengamalkan suatu doa tanpa ijazah dari Kyai sepuh. Jatuhnya malah menjadi sebuah kutukan. Banyak orang yang kemudian gila karena mengamalkan ilmu yang belum mereka pelajari." Suara bariton Umar