Arya duduk sendiri di teras dengan lampu dimatikan. Rokok di tangannya masih mengepulkan asap. Pria itu tidak pernah merokok. Jika hal itu terjadi berarti, ada beban berat yang tengah ia rasakan. Tatapannya nanar ke jalan depan yang terlihat remang-remang.
Suara pintu terbuka. Muncul seorang perempuan yang beda usia dengannya enam tahun dengan memakai piyama.
"Maafkan aku, Arya. Aku tahu, kamu tidak menyukai sikap Sheren. Kamu terpaksa menjalani ini karena untuk membalas budi orang tua kita. Dan semua itu karena aku. Andai aku tahu, waktu itu ada niat mereka untuk meminta kamu satu hari ini,aku memilih hidup dengan penyakit itu," ucapnya parau.
"Sudahlah, Mbak. Semua sudah berlalu dan menjadi jalan hidupku," jawab Arya pasrah.
"Kalau kamu mau, aku bisa kok, bilang sama keluarga Sheren untuk mengambil kembali ginjalku supaya kamu terbebas dari hu
'Dasar cewek aneh. Tidak punya sopan santun. Ada tamu bukannya disuruh masuk dan duduk, malah berlagak seperti customer servis,' keluh Arya dalam hati."Itu ....""Fani! Ada tamu gak disuruh masuk malah berdiri bareng, gimana sih?" celetuk Dinda keluar dari dalam rumah. "Mari, Om, masuk," ajak Dinda sopan. Hati Arya merasa bahagia dengan ajakan Dinda. Namun, ada yang mengganjal di telinga atas panggilan yang diucapkan sahabat Fani."Oh iya, terimakasih," jawab Arya senang."Duduk, Om! Aku ambilkan minum, ya? Tapi adanya air putih aja," tawar Dinda sopan.Fani berkali-kali memberi kode pada sahabatnya untuk tidak memanggil Arya dengan sebutan Om. Namun, gadis putih bermata sipit itu tidak paham."Kamu kenapa, Fan? Kelilipan? Kok mata kamu gerak-gerak gitu? Atau, kamu salah prod
Part 39"Gak! Aku gak mau pergi!" tolak Dinda ngambek."Beneran, Din, kamu gak ikut?" tanya Fani memastikan.Dinda bergeming, menatap layar ponsel dalam posisi berbaring. Abai pada sahabatnya yang merengek."Din, maafin aku, dong? Aku ngaku, aku salah," lirih Fani penuh penyesalan. Namun, Dinda tetap saja diam.Menyadari ada tamu yang menunggunya, Fani meninggalkan Dinda yang masih marah."Dinda gak mau, Pak," adu Fani sedih."Masih marah?" Mata elang Arya menatap gadis yang menunduk dan mengangguk sedih."Ya, sudah! Ayo, kamu saja yang aku ajak pergi." Fani menatap tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Gadis itu mengira, tadi dosen mudanya hanya ingin menghibur s
"Sheren, kamu keterlaluan! Kalaupun ada yang harus kamu salahkan, itu aku. Jangan Fani! Dia tidak tahu apa-apa. Kata-kata yang kamu ucapkan sungguh telah memperlihatkan status dan pendidikan kamu!" Arya berdecak kesal."Apa yang salah dari kata-kata aku? Dia benar-benar sudah di luar batas. Gadis macam apa yang mau sama orang yang sudah bertunangan kau bukan gadis murahan!" Ejek Sheren penuh kesombongan."Kamu benar-benar kelewatan!" ujar Arya kecewa dan meninggalkan gadis yang kedua netranya sudah basah. Tidak lupa, Arya mengambil plastik berisi makanan yang sedianya akan diberikan pada Dinda dan juga uang yang terletak di meja.Tidak peduli Sheren yang menangis, Arya segera berlari menuju mobil yang terparkir di halaman rumah makan.Setiap orang diuji dengan kadar masing-masing. Dan terkadang, ujian itu datang secara bertubi-tubi. Bukan tanpa
Aku dan Ilma memang sahabt sejak kecil. Ilma hidup tertutup dulu. Hanya aku yang jadi temannya. Karena kebetulan, Bapak bekerja di toko abahnya Ilma. Itu sebabnya dia protektif sekali. Namun, sejak kejadian itu, aku sudah tidak pernah lagi berhubungan telepon dengannya. Entahlah sekarang bagaimana kabar dia. Kamu masih suka bertemu Ilma?" tanya Doni."Kadang. Tapi, kami selalu hanya saling menatap. Kemudian, Ilma yang lebih dulu pergi.""Kamu bisa datang minggu depan?""Mas Doni ke sini untuk mengundangku atau kebetulan saja kita bertemu?""Untuk mengundang kamu. Tapi kebetulan juga Bu Nia nyuruh ke sini,""Oh," bibir Fani membulat."Sekalian mau ada acara perpisahan," lanjutnya lagi."Perpisahan apa maksudnya?"
POV ARYAAku telah bersalah pada dia. Gadis yang selalu hidup dalam kecerian. Kata-kata yang diucapkan Sheren sebagai luapan kemarahannya sangat tidak pantas. Hati ini begitu kecewa dan semakin tidak suka padanya.Kejadian hari itu sudah tentu menjadi boomerang antar keluarga kami.Malam itu juga, Pak Sandi, papah Sheren datang bersama istrinya. Kali ini mereka datang ke rumahku. Bertemu dan berbicara hanya denganku."Betul apa yang diceritakan Sheren?" tanya Pak Sandi dengan nada yang berwibawa. Meskipun perjodohan kami terkesan memaksakan kehendak, tapi sikap pria dewasa itu masih selalu sopan dan tidak terkesan mengintimidasi."Betul, Pak," aku-ku jantan.Katidak-adaan keluargaku membuat aku leluasa berbicara apapun yang ingin aku ungkapkan.
"Kalau Ibu memang tidak suka dengan apa yang saya lakukan, batalkan saja perjodohan kami. Saya akan menerima dengan senang hati," ujarku memberi umpan."Apa maksud kamu? Apa kamu mau bilang kalau kamu tidak suka sama Sheren, begitu?" tanya istri Pak Sandi terlihat tersinggung."Bila saya bilang iya?" Aku bertanya dengan tidak mempedulikan apapun resikonya nanti."Sheren sudah memberikan perasaannya sama kamu. Padahal, di luar sana banyak sekali pemuda yang ingin mempersunting dia. Tapi dia memilih kamu. Sombong sekali bilang tidak suka sama anakku. Apa kurangnya dia?" tanya mama Sheren lagi."Perasaan adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan, Bu," ujarku lirih."Arya, sabarlah! Jangan mengambil keputusan dalam keadaan emosi. Kalian sudah menjalani hubungan sejauh ini. Jangan sampai membuat kami malu. Ini h
Hari yang ditunggu Doni tiba. Dengan penuh semangat, dirinya bersiap dari pagi. Sejak semalaman tidak bisa tidur karena sangat bahagia. Baju putih celana hitam dan juga sepatu kulit ia kenakan. Semuanya dibelikan Irsya. Begitupun dengan baju yang dipakai ibu juga kedua adiknya. Semuanya berasal dari Nia.Emak dan ketiga adiknya juga sudah dari pagi buta mempersiapkan diri untuk mengikuti acara wisuda yang terasa sangat spesial.Adik Doni yang pertama perempuan bernama Liska. Berusia sama dengan Ilma. Saat ini bekerja di sebuah apotek. Tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena ingin membantu keluarganya yang pas-pasan. Adik Doni yang kedua masih SMA, bisa sekolah dengan dibiayai Liska. Sementara yang terakhir duduk di bangku SMP.Mobil Nia terparkir di halaman rumah. Sengaja dipinjamkan agar Doni bisa leluasa mengajak keluarga yang ingin ia ajak.
"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan."Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku."Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani."Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda."Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,""Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan."Dinda apaan sih ah?""Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!""Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"