"Din, kira-kira Si Ilma datang gak ya?" tanya Fani khawatir sambil menunggu jemputan.
"Kalau datang kenapa? Emang masih punya nyali buat berlagak?" tanya Dinda balik sembari memotong kuku.
"Kamu ikut yuk, Din," ajak Fani.
"Ogah ih. Kayak nyonya ma asisten nanti. Penampilan kamu sempurna gitu," tolak Dinda.
"Aku nanti kalau ketemu Ilma gimana? Masih trauma berurusan dengan gebetan orang,"
"Udah cangtip nanti kalau makan lauknya ganti! Malu-maluin kalau pesannya cuma sambal sama kerupuk!" ucap Dinda mengalihkan pembicaraan.
"Dinda apaan sih ah?"
"Lagian, kamu hobi banget makan sambel sama kerupuk sih, Fan? Habis dua bungkus lagi!"
"Din, aku ganti aja apa ya bajunya? Formal gini,"
POV ILMAAku masih bertahan menjalani hariku meski dengan perasaan hampa. Ingin rasanya keluar dari kampus ini dan pulang untuk menemani Umi di rumah. Karena aku merasa, sudah tidak ada lagi yang aku perjuangkan.Namun, Umi selalu mendorong aku untuk tetap bertahan. Kepada beliau, aku tidak menceritakan apapun yang tengah aku menimpaku saat ini. Karena bila beliau tahu, sudah pasti aku dimarahi."Sayang, kamu sudah sejauh ini berjalan. Tinggal sebentar lagi. Ayo, bertahanlah Ilma! Kalau ada masalah apapun, ceritakan sama Umi. Siapa tahu, Umi tahu solusinya," ujar Umi kala itu. Membuat aku tidak punya pilihan lain.Pekerjaanku dengan Pak Juan juga masih berjalan. Karena bagaimanapun, kami saling membutuhkan. Masalah Fani waktu itu, kami sudah sepakat untuk melupakan. Rasanya, aku berada di titik terhina dalam hidup. Ha
Aku segera menyalami Emak dengan sopan dan menampakkan sikap lemah lembut. Berusaha semaksimal mungkin agar Fani semakin panas."Emak apa kabar?" tanyaku basa-basi."Baik, Mbak Ilma," jawab Emak dengan raut wajah yang cemas. Entah apa yang dipikirkan."Mak datang ke sini naik apa?""Naik mobilnya Bu Nia." Hatiku yang kini jadi panas. Sejauh itukah kakak Fani melakukan pencitraan dengan barang mewahnya? Sengaja-kah membuat keluarga Mas Doni merasa berhutang jasa sama mereka?"Liska, kamu gak kerja?" Aku balik bertanya pada adik Mas Doni. Akan aku gunakan kesempatan sebelum Mbak Nia datang untuk membuat Fani meradang."Enggak, Mbak. 'Kan Mas Doni wisuda,""Ah, iya. Dasar aku. Eh, mau minum es dulu? Ayo aku traktir,"
Irsya mengajak keluarga Doni makan di rumah makan seafood. Adik-adik Doni terlihat sopan meskipun mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan. Terlihat sekali emaknya sangat pandai dalam mendidik."Pak Irsya, Bu Nia, kami mengucapkan terimakasih yang banyak. Berkat kalian, anak saya bisa menyelesaikan kuliah," ujar emak Doni setelah mereka selesai makan."Iya, Bu, sama-sama. Kami juga mengucapkan terimakasih. Apalagi selama ini Doni selalu membantu kami mengantar kemana saja kami pergi. Rasanya tidak mau kehilangan dia, tapi mau bagaimana lagi 'kan? Bagaimanapun Doni kuliah untuk memperbaiki nasib. Kalau terus menjadi sopir ya tidak mungkin," jawab Irsya.Setelah selesai makan, mereka pulang ke rumah sendiri-sendiri. Fani kembali ke tempat kost dengan diantar mobil Irsya. Sementara Doni membawa keluarganya pulang."Tante gak pulang
Di dalam kamarnya, selepas Maghrib, memanfaatkan situasi sepi tanpa Dinda yang sedang keluar, Fani menatap sebuah boneka yang sudah dihias. Sedianya akan ia berikan pada Doni, tapi sadar kalau dirinya bukanlah siapa-siapa bagi pemuda itu.Masih ia ingat jelas sikap Ilma yang seakan sudah sangat dekat dengan keluarga Doni. Di saat itulah dirinya merasa tidak berarti apa-apa bila dibandingkan gadis itu.Fani memeluk erat boneka yang juga sudah ia beri parfum sembari berujar pelan, "biarlah jodohku akan datang sendiri suatu hari nanti. Aku tidak mau lelah memikirkan apa yang belum tentu ditakdirkan untuk aku." Ia membuang hiasan yang ada pada boneka. Dan meletakkan benda itu di atas kasur."Hai! Kelak ada yang lebih indah dari kamu yang akan menemani tidurku," ucap Fani seorang diri seperti orang gila. Senyum hambar terukir jelas, menggambarkan suasana hati yang tidak baik-baik saja
Pagi itu, seperti rencana awal, Doni mengembalikan mobil. Sekaligus berpamitan untuk yang terakhir kali pada majikannya. Kebetulan, keluarga kecil itu ada di rumah Irsya. "Saya minta maaf, Pak, Bu, bila selama bekerja banyak membuat salah. Dan banyak merepotkan Pak Irsya sejak dulu. Untuk kegaduhan yang pernah dilakukan teman saya, saya juga minta maaf," ujar Doni setelah memberikan kunci pada Irsya."Saya juga ya, Doni. Kalau selama kita bersama, banyak hal yang mungkin melukai perasaan kamu secara tidak disengaja," jawab Irsya dengan tenggorokan tercekat. Bertahun-tahun bersama, tentu menciptakan kesedihan yang besar saat harus menerima kenyataan akhirnya berpisah.Seandainya Irsya tidak membantu Doni kuliah, hal itu tidak akan terjadi. Doni akan selalu bersama dengan mereka dalam waktu yang lebih lama. Namun, Irsya tidak menyesali langkah yang ia ambil.
Di sebuah lapangan desa mereka yang di pinggirnya terdapat sebuah taman tempat anak kuda nongkrong di sore hari, menyaksikan pertandingan volly--Doni mengajak Ilma berbicara. Ada seorang penjual es degan di sana, jadi mereka berpura-pura sedang membeli itu.Mereka berdua duduk dalam jarak sekitar satu meter. Menatap jalanan yang cukup ramai lalu lalang kendaraan."Mau bicara apa lagi?" tanya Doni dingin tanpa melihat pada Ilma."Mas mau pergi?" tanya Ilma balik. Tatapannya tertuju pada pria di sampingan kanan."Dari mana kamu tahu?""Dari Liska,""Jadi, kamu sengaja tadi ke rumahku karena tahu aku akan pergi?" Ilma tidak menjawab.Hati Doni ada sedikit kekecewaan pada adiknya. Dengan cepat, diambilnya ponsel dan menekan nomer Liska."Halo, Mas! Ada apa?" tanya Li
Doni manatap gerbang tinggi yang menjulang di hadapan. Meskipun sempat ada drama yang membuat hatinya emosi ketika berangkat, tapi kini seakan sirna dengan sampainya dirinya di lingkungan pondok pesantren modern, tempat kerja baru untuk mengamalkan ilmu yang ia miliki.Dengan mantap menunjukkan kartu identitas pada satpam, lalu masuk ke dalam lingkungan yang terasa kental nuansa islaminya.Sujud syukur ia lakukan saat tiba di kamar. Berkali-kali melantunkan doa untuk Irsya dan keluarganya yang telah berjasa dalam karirnya saat ini.*Beberapa hari telah berlalu, Fani mulai bisa mengatasi hati untuk tidak terlalu mengingat Doni.Sekuat apapun aku mempertahankan rasa ini, hanya akan menyakiti diriku sendiri. Karena hanya aku yang memiliki rasa sama dia, dia enggak. SakitSelarik kalimat, ditulis Fani di ba
Alex menggaruk kepalanya lagi. "Udah, aku masuk," pamit Fani. "Di ruang tamu, Fan!" perintah Dinda. "Iyaaaaaa ...." Fani masuk dan duduk di kursi sembari berselancar di dunia maya. "Mau apa?" tanya Dinda ketus. "Aku mau balikin uang kamu, Din. Tapi baru separuhnya gak papa, ya?" ujar Alex malu-malu. "Sumpah deh, ya, kamu tuh gak pantes banget ngelakuin kayak gitu sementara penampilan kamu sok cool banget. Pakai ngajakin makan di caffe yang lagi hits, lagi." "Maaf, Dinda, aku 'kan juga pengin ngerasain jalan sama cewek kayak gimana." "Ya tapi modal, dong!" seru Dinda kesal. "Din, jangan teriak-teriak, aku malu