-Perempuan sibuk memimpikan lelaki nakal yang hanya baik kepadanya. Dan lelaki sibuk memimpikan perempuan baik yang hanya nakal kepadanya.- Audrey
Setelah dinyatakan diterima di kantor Antara Karya, tugasku sebagai accounting payable masih berada dalam bimbingan Mas Fajar. Dia senior di divisi keuangan dan syukurlah selama membimbingku, ia tidak jual mahal atau sejenisnya.
“Audrey, udah kelar belum?” Tanya Mas Fajar.
“Dikit lagi mas, tinggal sum FIFO-nya.”
“Kanan kiri harus sama ya? Weight average-nya juga harus sama.”
“Oke, sip.” Aku mengacungkan jempol.
Mas Fajar, pembimbing lapanganku, dia sosok yang hangat dan enak diajak bertukar pikiran. Smart cookie and people person.
Namun langkah kami menuju ruangan Bu Fatma pun urung karena Pak Asmen lebih dulu melangkah ke ruangan Bu Fatma dengan tergesa gesa.
“Kenapa mas?”
“Mega proyek yang ditangani Pak Asmen bermasalah.”
"How come?"
“Kemarin dia cerita kalau investornya si customer tuh tiba-tiba cabut.”
“Terus kenapa Pak Asmen dan Mas Burhan kelabakan?”
“They are the team. Kalau proyek mangkrak kan nggak dapet bonus.” Ucapnya geli.
Dari sudut mata, aku melirik aktivitas keduanya yang cukup intens. Mas Burhan mengutarakan pendapatnya dan Pak Asmen bersedekap mendengarkan.
“Ehem….”
Sial aku ketahuan melirik Pak Asmen jadi tidak ada cara selain pura-pura menata dokumen.
“Ganteng iiih si bapaknya…” Goda si Anjar.
“Samperin gih Njar.”
Anjar melotot. “Yang ada gue bisa dipermalukan di depan karyawan yang lain. Shameful banget tau nggak.”
Aku harus cepat merubah subjek pembicaraan atau Anjar akan terus menggodaku.
“Pacaran satu kantor tuh nggak boleh Drey. Bisa kena omel Pak Darmawan, jatuhnya jadi nggak profesional.”
“Backstreet lah Njar. Diem-diem gitu."
Anjar terkekeh. “Pak Asmen kayak kutub dan tembok. Cool as pole.”
“Ada masalah dengan saya?”
Tiba-tiba Pak Asmen sudah berada di samping kubikel kami dengan gaya bossy sambil bersedekap. Tatapan tajam, tegas, dan dingin itu bisa membuat kami membeku di tempat. Juga, ditengah kemelut proyek yang ditangani Pak Asmen, kami malah menambah geramnya dengan mengghibahkan dirinya. Ini sama saja dengan kami cari mati.
“M…..maaf pak.” Ucap kami gugup.
“Kalau ada waktu luang silahkan mengurusi pekerjaan kalian. Bukannya membicarakan saya.”
***
Bekerja sebagai staf accounting payable kadang cukup memusingkan, jika ada kesalahan data yang terinput. Selain itu aku harus menyiapkan bukti transaksi, dokumen invoice, laporan PO dan POC, prepaid expenses, dan accrual and balance sheet reconciliation.
Seperti contoh kasus customer terus mengajukan komplain saat material yang dikirim vendor tidak sesuai pesanan. Atau datang terlambat.
Tugasku menghubungi vendor, menyampaikan keluhan customer, menekan mereka untuk menyediakan janis material yang telah disepakati. Lalu meminta jaminan atas kesalahan serta kerugian waktu yang ditimbulkan sesuai kontrak. Karena pihak customer tidak mau merugi.
"Drey, udah belum?" Mas Fajar menginterupsi.
"Belum mas. Habis salah kirim."
Mas Fajar melihat jam tangannya. "Tiga puluh menit lagi bisa? Soalnya hari ini jadwal evaluasi ke lapangan."
Aku tergelak lalu buru-buru menyelesaikan laporan secepat yang kubisa.
I have to against the clock.
Mas Fajar lalu memberi kode untuk naik ke lantai empat, ruang direktorat operasional dua yang membawahi divisi sipil. Jumlah karyawan di divisi ini tidak banyak dan hanya diisi oleh orang berotak encer dan kompeten. Di tengah ruangan ada miniatur apartemen, ruko, dan rumah gaya modern di dalam kotak kaca.
Di dinding ada portofolio landscape taman kota. Penataan sirkulasi, pengaturan elemen desain, penataan ground cover, tanaman dan kompleksitas membuatnya terasa hidup walau hanya sebuah gambaran.
Kami memasuki ruangan yang lebih besar dengan aku mengekori langkah Mas Fajar. Bagaimanapun berlindung di balik punggung senior adalah hal terbaik dari pada menjadi anak ayam sok jagoan.
Di sebelah kiri ruangan ada meja kerja yang ditempati seorang pria berumur. Papan namanya tertulis Manajer Operasional Dua, Rudy Sidrajat.
Di sebelah kanan ruangan ada meja kerja yang ditempati seorang....
Tunggu!!!
'Pak Asmen?' Kejutku dalam hati.
Aku tidak menyadari jika Mas Fajar mengajakku menemui dirinya. Ingatan pernah ditegur langsung olehnya karena pernah membicarakannya diam-diam membuatku tidak bernyali sama sekali. Lebih baik aku menemui atasan killer dari pada menemui Pak Asmen.
'Mau ditaruh mana muka gue?!' Batinku.
"Ini laporan proyek perumahan tipe 45 PT Pradana House Group pak. Bu Fatma sudah ACC." Ucap Mas Fajar.
Pak Asmen menatapku sekilas lalu mengambil dokumen yang Mas Fajar letakkan di atas meja. Tidak ada papan nama di atas mejanya. Hanya tumpukan kertas besar dan panjang yang digulung asal.
Aku sama sekali tidak berani bersuara. Lebih baik menatap lantai dan sepatuku sendiri sambil mengilhami kehebatannya bisa satu ruangan dengan Pak Rudy, one of real big cheese disini.
Benar kata Anjar, ia adalah kesayangan Pak Rudy karena bisa berada dalam satu ruangan yang sama dan bersebelahan.
Kemampuan skrining mata dan otaknya luar biasa. Bagai jelmaan komputer berwujud manusia. Membaca laporanku just like piece of cake. Lalu sesekali membetulkan kacamata wayfarer yang menambah ketampanannya.
Astaga, aku masih sempat mengkhayal tentang dirinya di tengah pelaporan urusan pekerjaan? Mungkin begitulah kebanyakan isi hati para staf perempuan jika memiliki atasan tampan yang masih muda.
"Satu jam lagi kita berangkat. Hubungi customer jika kita siap untuk datang hari ini sesuai janji." Ucapnya sambil menutup laporan.
"Baik pak." Ucap Mas Fajar.
"Nanti kita berangkat bareng. Tunggu di lobi setelah saya telfon."
"Baik pak. Terimakasih banyak."
"Kamu?"
Aku terkejut saat mata tajamnya menghunus netraku.
"Bisa profesional saat bekerja dengan saya?"
-Kinerja dan pretasi bukan diraih dengan kerja keras dan ambisi. Melainkan dari rasa cinta dan memiliki profesi dengan sepenuh hati.- Audrey Siapa yang tidak seperti sceleton in the closet ketika netranya dihunus tajam oleh atasan yang pernah menegurnya terang-terangan. Apa lagi aku pernah ditegur karena membicarakan pribadinya bersama Anjar, teman satu kubikelku. Kentara sekali jika Pak Asmen memiliki sisi menarik yang layak diperbincangkan namun sayangnya aku lupa kondisi. Pak Asmen itu menarik dilihat dari mana saja. Tuhan begitu baik dengan menganugerahinya raga yang sempurna, wajah yang terukir indah bila disandingkan dengan sang surya, dan karir secemerlang bintang bertaburan kala musim semi. Ia seperti memiliki topik kehidupan yang tidak ada habisnya untuk dikupas termasuk saat ia diam sekalipun. Konon kata orang, atasan yang masih muda, tampan, dambaan staf perempuan, memiliki sifat sok jual mahal yang teramat. Belum lagi sikap dinginnya yang menambah rasa penasaran makhluk
-Menyimpan perasaan itu indah. Karena penuh misteri dan menduga. Sekali dia tersampaikan tidak ada lagi menyimpan.- Tere Liye Siapa yang tidak ciut nyali saat dihadapkan pada tatapan elang nan tajam atasan diikuti komplain customer yang bertubi-tubi? Apalagi aku masih really early new bird di perusahaan ini. Kami adalah team work. Sudah seharusnya aku selalu ada untuk timku apapun acaranya. Entah sedang senang atau sedang susah sekalipun. Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing. Namun, ketidakhadiranku beberapa menit yang lalu karena membeli air mineral tanpa seijin Pak Asmen sebagai team leader adalah kesalahan fatal. Ya! Kesalahan fatal! Aku belum mengenal karakter asli Pak Asmen lalu berani memutuskan langkah sepele sendirian tanpa persetujuan. Penilaian awal dirinya yang kusangka atasan baik tapi tertutup oleh sifat dingin dan tegas, kini berubah drastis bak kompeni Belanda tanpa ampun saat menghukum cambuk para tawanan pribumi. Tatapan tajamnya yang semakin tajam saat
-Tidak ada yang lebih sempurna dari besarnya hati untuk memaafkan. Dan tidak ada yang lebih buruk dari membiarkan rasa bersalah itu terus mencengkeram hati.- Audrey Tidak ada istilah 'revisi' itu menyenangkan kecuali sudah mencintai profesi ini sepenuh hati. Bahkan aku tidak mengeluh sama sekali walau harus merunut kesalahan penulisan dan penghitungan material karena data bestek dari Pak Asmen salah. Padahal yang harus kurevisi bukanlah satu atau dua lembar melainkan berlembar-lembar, bagai mencari jarum yang terselip di baju. I get a real kick out of something. Pelajaran berharaga yang bisa kupetik karena kejadian customer Pradana House Group yang marah-marah adalah pentingnya bestek ketika akan mengerjakan proyek pembangunan. Tidak hanya surveyor lapangan, tapi aku juga membutuhkannya untuk mengerjakan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di gambar. Bestek adalah kunci pokok atau tolak ukur menentukan scope of work dan rencana anggaran biaya proyek. Dengan ad
-Keputusan sikap yang kuambil hari ini adalah takdir yang akan menentukan jalan hidupku di masa akan datang.- Audrey Gaji pertamaku telah terkirim empat hari yang lalu. Masih tersimpan rapi di dalam ATM dan kugunakan seefektif mungkin untuk keperluan sehari-hari. "Seneng nih gaji pertama cair." Celetuk Anjar. "Banget!" "Baru kali ini ya lo pegang duit segitu banyaknya Drey?" Aku mengangguk dengan wajah berbinar. "Ini masih trainee ya? Apa lagi kalau udah tetap kayak mas Fajar, lo pasti lompat kegirangan sampe nembus plafon." Mas Fajar pura-pura membetulkan kerah kemejanya. "Siapa dulu. Fajar Anggara Syahputra." "Kalau Mas Fajar sih jangan ditanya lagi. Udah jago." Kuberi jari jempol. "Asal nggak ada yang nangis di lift terus lupa lantai tempat kerja." Beberapa hari yang lalu sepulang meninjau lokasi proyek Pradana House bersama Mas Fajar dan Pak Asmen, aku sempat menangis di lobby mendengar ucapan Mas Fajar. Tentang sikap Pak Asmen yang dingin dan bisa saja dengan mudah memb
-Perempuan pintar adalah perempuan yang tahu bagaimana mencintai laki laki. Tapi perempuan yang pernah terluka tahu siapa laki laki yang pantas dicintai.- Audrey Long weekend is coming. Bagi seorang pekerja dan pelajar, mendapat libur panjang seperti mendapat keberuntungan. Targer menghabiskan waktu di luar kos adalah hal mengasyikkan apalagi menghabiskan uang. Mall, tujuan utamaku. Hidup di kota besar, hiburan yang tersaji hanyalah pusat perbelanjaan modern yang menawarkan beragam jenis kebutuhan. Pakaian, makanan, alat rumah tangga, hingga hobi seperti menonton film. Tanpa banyak persiapan aku langsung menggeret Amelia, sahabat terbaikku di kos, untuk menemaniku ke salon dan berbelanja baju kerja keluaran terbaru. Using my first salary. "Ini bagus nggak Mel?" Aku memilih setelan kerja berwarna biru matang di salah satu gerai yang menjual pakaian formal. "Ck...old style. Lo persis aunty aunty tahu nggak." Aku menonyor kepala Amelia. "Pilihin kalau gitu." Aku kembali menyu
-Apa yang menurutku baik, belum tentu menjadi yang terbaik. Membiarkan ia terlepas adalah jalan terbaik.- Audrey "Debaran?" "Atasan lo kan ganteng Drey." Aku menggeleng. "Dia bos killer." "Gue aja kesengsem loh Drey." Andai Amelia tahu bagaimana sadisnya Pak Asmen pada bawahan, pasti ia akan menarik ucapannya kembali untuk mengaguminya. Aku juga heran mengapa rekan-rekan kerja di kantor begitu mengidolakan dirinya? Apakah mereka tidak pernah mendapat teguran atau lirikan sadis darinya? "Lo udah ada cowok masih aja ngelirik yang lain." "Habis dia keren sih. Tipe idaman banget loh." Memilih mengabaikan ucapan Amelia, kami berdua kembali berjalan menuju halaman mall sambil menunggu datangnya taksi online. Lalu duduk di kursi yang berada di bawah pohon ketapang rimbun. Pohon ini mengingatkanku pada bestek karya arsitek idolaku, Paralio. "A picture speaks a thousand words." Gumamku sambil menengadahkan kepala. "Ngomong apaan?" Aku menggeleng dengan menatap rimbunnya pohon ini. "
-Menghindar itu lebih baik dari pada pura-pura tidak melihat.- Audrey Pagi cerah, aku melenggang masuk lantai ground kantor menggunakan setelan kerja terbaru. Rasa percaya diri ini bertambah ketika penampilanku tidak jauh berbeda dengan staf perempuan lain yang lebih senior. Setidaknya, jika ingin memiliki banyak teman, bukankah harus satu frekuensi dengan yang lain? Bahkan demi menjaga penampilanku di awal bulan ini agar tetap terjaga, hari ini aku memilih memesan taksi online. Aku masih muda, seksi, single, dan apa salahnya jika mendapat perhatian dan pujian dari lawan jenis. "Pagi semua." Sapa Pak Rudy ramah. Beliau berjalan bersisian dengan Pak Asmen, sang anak emas. Mereka bak anak kembar beda indukan. Yang satu sudah paruh baya dengan perut membuncit. Yang satu masih muda dengan tubuh seksi. "Pagi pak." Jawab kami serentak seperti memberi hormat pada pak guru. It's been five months, aku jarang melihat Pak Asmen sejak proyek perumahan Pradana Group berakhir. Aku lebih ba
-Cinta itu butuh debaran dan getaran, walau hanya dengan melihat bayangannya saja.- Audrey Menikmati waktu luang dengan menonton film di bioskop, sendirian. Benar benar luang setelah seminggu yang lalu aku sempat sedih hingga terpuruk. Bahkan Amelia tidak tahu bagaimana lagi caranya membujukku agar bangkit. Itu semua karena..... Kontrakku tidak diperpanjang. Biasanya di jam segini aku sibuk-sibuknya mengerjakan laporan keuangan dan melakukan kroscek dengan bagian sipil. Namun tidak dengan hari ini atau esok. Aku sangat mencintai pekerjaan sebagai accounting payable di Antara Karya. Setiap hari aku berusaha memperbaiki kinerja agar tidak mendapat teguran dari atasan. Tapi, nyatanya usahaku dipandang sebelah mata. Bahkan rekaman kejadian pemecatan secara halus itu pun, masih membekas kuat di otakku. Aku urung masuk ke ruangan Bu Fatma karena beliau sedang berbicara serius dengan Pak Asmen. Untuk pertama kalinya selama enam bulan bekerja, aku menemukan pria itu disana. Tepat dihar