Share

Sindiran terang-terangan

-Tidak ada yang lebih sempurna dari besarnya hati untuk memaafkan. Dan tidak ada yang lebih buruk dari membiarkan rasa bersalah itu terus mencengkeram hati.- Audrey

Tidak ada istilah 'revisi' itu menyenangkan kecuali sudah mencintai profesi ini sepenuh hati. Bahkan aku tidak mengeluh sama sekali walau harus merunut kesalahan penulisan dan penghitungan material karena data bestek dari Pak Asmen salah. Padahal yang harus kurevisi bukanlah satu atau dua lembar melainkan berlembar-lembar, bagai mencari jarum yang terselip di baju. 

I get a real kick out of something.

Pelajaran berharaga yang bisa kupetik karena kejadian customer Pradana House Group yang  marah-marah adalah pentingnya bestek ketika akan mengerjakan proyek pembangunan. Tidak hanya surveyor lapangan, tapi aku juga membutuhkannya untuk mengerjakan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan yang ada di gambar. 

Bestek adalah kunci pokok atau tolak ukur menentukan scope of work dan rencana anggaran biaya proyek. Dengan adanya bestek, customer bisa membayangkan bentuk bangunan yang diinginkan da bagaimana melaksanakan kelanjutannya. Itu artinya, jika Pak Asmen salah membuat bestek yang benar maka pengerjaan selanjutnya pasti tidak sesuai harapan dan mengalami banyak kesalahan. 

Bisa kubayangkan betapa ribet dan susahnya membuat denah yang pas dengan lahan dan keinginan customer. Perlu revisi berkali-kali untuk menemukan kata sepakat dan kepala Pak Asmen pasti mengeluarkan asap. 

Without it the project doesn't know what to do.

"Haaaaah kelar juga." Aku merenggangkan kedua tangan ke atas.

"Project score card-nya beres Drey?" Tanya Mas Fajar.

Aku mengangguk. "Scoring criteria aman."

"Good. Oh ya Drey kayaknya lo ntar jalan berdua sama Pak Asmen deh."

Aku langsung tergelak dari santaiku sejenak dan mendapat tatapan horor dari Anjar. 

"Lho lho, kok berdua sih mas? Bisa mati berdiri gue ntar."

"Gue diajak Bu Fatma meeting. Ada proyek baru yang lebih gede."

Kejadian yang telah terjadi diantara kami beberapa waktu silam cukup menciutkan nyaliku untuk menerima tugas ini untuk pergi berdua bersama Pak Asmen. Dia bukan orang yang bisa santai karena tuntutan pekerjaannya yang tidak mudah juga tidak mudah diajak bersenda gurau untuk meregangkan sel syaraf yang tegang. 

Jika bersama Mas Fajar saja aku masih kelincutan di depan Pak Asmen, lalu bagaimana nasibku jika tanpa Mas Fajar? Jika melakukan kekeliruan siapa yang bisa kumintai tolong?

"Gue bisa ditembak ditempat sama Pak Asmen kalau bikin salah mas." 

Tuhan, membayangkan tatapan tajam dan angkuhnya Pak Asmen saja tulangku sudah melemas.

Mas Fajar terkekeh, sedang Anjar tiba tiba membisu dengan raut wajah sendu. Padahal sebelumnya dia ceria sekali.

"Lo tega mas."

"Nikmatin aja berduaan sama Pak Asmen." Godanya.

"Berduaan dengan penjaga neraka yang iya."

Sejak ia memberiku tatapan tidak bersahabat karena melakukan kesalahan yang menurutku tidak fatal, aku enggan berkomunikasi dengannya. Sosok Pak Asmen ternyata bukanlah atasan humble seperti kata Mas Fajar.

Tuhan! Bagaimana bisa aku terjebak dalam satu kegiatan evaluasi seperti ini dengannya? Berdua pula. Setitik saja kesalahan yang kubuat, aku bisa habis ditangannya.

"Halo selamat siang, dengan Audrey bagian keuangan. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya Pak Asmen."

Deg....

"Kita berangkat sepuluh menit lagi. Tunggu di lobby."

"B....baik pak."

Singkat, padat, dan sangat jelas. I don't know what the heart of this boss is made of. 

Selesai berkemas dan berpamitan pada Anjar yang masih bermuka aneh karena obrolan tentang Pak Asmen, aku segera menunggunya di teras lobby kantor lebih awal. Pikirku dari pada berbuat kesalahan di hadapannya untuk kesekian kali.

Begitu mobil sedan hitam mengkilap itu berhenti, kaca pintu penumpang bagian depan terbuka.

"Masuk." Titahnya.

Karena titahnya, aku urung duduk di bangku belakang. Seperti biasa, sepanjang perjalanan aku seperti satu mobil dengan patung es. Lebih memilih diam sambil memandangi jalanan hingga kami sampai di sebuah restoran.

Kami berjabat tangan dengan owner proyek lalu duduk bersama menjelaskan semuanya. Pak Asmen dengan besteknya, aku dengan laporan purchasing.

Ini kali pertama aku bisa melihat dengan jelas bestek buatan Pak Asmen walau itu hanya sebentar. Karena setelahnya sudah dipegang oleh customer. Gaya menjelaskannya sangat runut dan terarah. Pak Asmen sangat totalitas dan jiwa perfeksionisnya tidak menolerir kesalahan anak buah.

Pengalaman tidak pernah berbohong, giliran anak baru bekerja kemarin menjelaskan rincian anggaran belanja, masih terbata-bata. Syukurlah Pak Asmen membantu memperjelas. Setelahnya kami lanjut makan siang bersama dengan gelak tawa mereka. Pak Asmen bisa diajak bicara santai mungkin karena ia berhadapan dengan customer. 

Senyum lepasnya sangat memukau. Tapi aku tidak berani memandangnya lama-lama atau dikira main mata.

***

"Jangan cuma diam saat bertemu customer." Ucapnya sambil menyetir. Kami dalam perjalanan kembali ke kantor. 

"Saya.....takut salah pak."

"Dari awal penjelasan laporan keuangan tadi kamu udah beribet. Usahakan fleksibel saat bersama customer. Mereka adalah raja." Ucapnya dengan fokus menyetir.

"I....iya pak."

"Berapa lama kamu sudah bekerja di Antara Karya?"

"Ehm....baru.... sebulan."

"Saya tidak suka dengan orang yang tidak atraktif dan terkesan pasif dengan job desk-nya."

Aku masih menatapnya dari samping. Menunggu kalimat selanjutnya yang semoga saja tidak meruntuhkan semangat dan penilain baikku untuknya. 

"Kamu tidak ada syndrome susah bergaul dan berbicara kan?!"

Demi Tuhan, apa dia sedang menyindirku? Sialan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status