Share

Arsitek kesayangan

-Keputusan sikap yang kuambil hari ini adalah takdir yang akan menentukan jalan hidupku di masa akan datang.- Audrey

Gaji pertamaku telah terkirim empat hari yang lalu. Masih tersimpan rapi di dalam ATM dan kugunakan seefektif mungkin untuk keperluan sehari-hari.

"Seneng nih gaji pertama cair." Celetuk Anjar.

"Banget!"

"Baru kali ini ya lo pegang duit segitu banyaknya Drey?"

Aku mengangguk dengan wajah berbinar.

"Ini masih trainee ya? Apa lagi kalau udah tetap kayak mas Fajar, lo pasti lompat kegirangan sampe nembus plafon."

Mas Fajar pura-pura membetulkan kerah kemejanya.

"Siapa dulu. Fajar Anggara Syahputra."

"Kalau Mas Fajar sih jangan ditanya lagi. Udah jago." Kuberi jari jempol.

"Asal nggak ada yang nangis di lift terus lupa lantai tempat kerja."

Beberapa hari yang lalu sepulang meninjau lokasi proyek Pradana House bersama Mas Fajar dan Pak Asmen, aku sempat menangis di lobby mendengar ucapan Mas Fajar. Tentang sikap Pak Asmen yang dingin dan bisa saja dengan mudah memberhentikanku dari Antara Karya.

Waktu itu masuk lift khusus karyawan setelah memarkir mobilnya. Padahal ia memiliki jatah untuk menaiki lift khusus direksi yang jauh lebih nyaman. Tetapi ia malah menggunakan lift khusus karyawan, jatah untuk karyawan biasa sepertiku dan Mas Fajar.

Tidak berhenti disitu, ketika Mas Fajar menolak dengan halus tawarannya untuk bergabung satu lift dengannya karena tahu aku sedang bersedih, Pak Asmen malah menekan tombol tahan agar pintu lift tidak tertutup. Walhasil, mau tidak mau aku pun masuk lift dengan mata sedikit berair.

Dan sebelum mencapai lantai tiga tempatku bekerja, aku malah keluar di lantai dua saat pintu lift terbuka. Alasannya aku sangat tertekan berada satu lift dengan Pak Asmen.

"Nanti ke lapangan lagi bareng lo kan mas?" Tanyaku memastikan karena takut bila hanya berdua bersama Pak Asmen menemui customer.

Kemarin surveyor lapangan meminta kami terjun ke lapangan untuk mencocokkan data dan material yang terkirim. Pengalaman salah pengiriman material mengganggu jam kerja dan otomatis yang mendapat limpahan kesalahan adalah aku.

"Iya. Kita berdua aja." 

Aku menghela nafas lega. Berdua bersama Mas Fajar lebih menyenangkan dari pada bersama penjaga neraka Antara Karya, Pak Asmen.

"Syukurlah. Terus Pak Asmen?"

"Orangnya ijin ada keperluan keluarga. He told me for hand in this." Mas Fajar mengangkat drafting tube hitam.

"Ohh... kirain sama dia."

"Cieeee mulai nyariin nih?" Goda Mas Fajar.

Tiba-tiba Anjar menatapku dengan raut berbeda padahal sebelumnya dia sangat fokus dengan laporannya.

"Yeeee apaan sih mas. Orang cuma nanya bakal dikasih tebengan apa kagak." Belaku karena tuduhan konyolnya itu.

"Surely? Terus kemarin waktu bisa berduaan enak nggak? Brunch dimana?" Mas Fajar menaik-turunkan alisnya.

Andai Mas Fajar tahu jika Pak Asmen memiliki dua sisi wajah berbeda seperti mata uang. Bila di kantor ia sangat perfeksionis, begitu bersama customer ia sangat pandai memikat hati. Aku menjulukinya bunglon berkaki seribu.

"Iiiih Mas Fajar, fitnah."

Wajah murung Anjar memunculkan dugaan bahwa ia memiliki rasa untuk Pak Asmen. Tidak hanya sekali ia demikian ketika aku dan Mas Fajar membicarakan dirinya. 

Ingin sekali kukatakan pada Anjar untuk bangun untuk tidur halunya. Dari pada menghabiskan hati untuk mencintai seorang Pak Asmen.

***

Siang harinya kami menuju lokasi proyek perumahan Pradana Group menggunakan taksi online. Maklum cuaca sedang terik-teriknya dan di tengah perjalanan Mas Fajar mendapat telfon. Dari gaya berbicaranya yang formal, aku bisa menebak jika itu dari atasan.

"Siapa mas?" 

"Pak Asmen, mau mastiin nggak ada yang kelewat. Dia juga pesen lo harus fokus sama customer. Nanti kita video call-an bareng customer buat jelasin besteknya."

Dimanapun dia berada, mau sedang izin sekalipun, mengapa dia masih memikirkan pekerjaan? 

Apakah dia tidak memiliki keluarga untuk diprioritaskan? 

"Oh... Jangan-jangan kita mau nafas aja ntar dia juga nanyain?" Selorohku.

"Inget, lo udah pernah dapet red flags dari dia. Jangan asal ngomongin dia biar nggak kebiasaan."

Aku memberengut. "Iya-iya gue salah. Makanya ini lagi memperbaiki diri."

Mas Fajar terkekeh. "For one thing, karyawan sebelum lo pernah ngumpat di depan Pak Asmen. Bilangnya Pak Asmen terlalu perfeksionis, banyak nuntut dan nggak menghargai usaha dia. Pak Asmen kasih dua pilihan, minta maaf atau angkat kaki. Berhubung Pak Asmen itu blue-eyed man-nya Pak Rudy, ya lebih baik kantor kehilangan kacung kampret anak itu tadi lah."

"Pak Asmen kesayangan banget ya mas?"

"Banget. Dia berprestasi, potensial, banyak designnya yang dapat pujian dari customer. Nggak heran kalau perusahaan anggap dia kayak aset berharga."

"Akhirnya dia kayak semaunya sendiri ya mas?"

"For beginner like you, pasti mikir dia orang yang keras, always talk turkey. Padahal dia tuh enakan banget kalau kita rajin dan nurut."

"Enak apanya, orang killer gitu. Eh mas, Anjar kayaknya naksir Pak Asmen deh."

Mas Fajar terkekeh. "Bukan rahasia umum Drey. Dia tuh dambaan cewek-cewek jomblo di kantor. Atau lo juga naksir?"

"Apaan sih? Orang dia kayak snowdrop. Bukan tipe gue lah."

"Kan pas, lo yang cerewet dia yang diem. Lo yang panas dia yang dingin. Saling melengkapi."

"Amit-amit."

Begitu sampai lokasi, kami bertemu customer lalu membahas laporan pembangunan. Syukurlah customer puas dengan revisi laporan keuangan dan bestek terbaru Pak Asmen.

Ada berlembar-lembar gambar bestek di meja gubuk proyek yang diletakkan Mas Fajar sembarangan saat ia pamit ke toilet. Aku ingin perancang bestek ini lah yang akan mendesain rumah idamanku kelak.

"Paralio Kian Mahardika M.Ars." Gumamku saat membaca namanya yang tertulis di pojok kanan bawah. 

"Siapa dia?"

"Apa itu nama asli Pak Asmen?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status