-Perempuan pintar adalah perempuan yang tahu bagaimana mencintai laki laki. Tapi perempuan yang pernah terluka tahu siapa laki laki yang pantas dicintai.- Audrey
Long weekend is coming.
Bagi seorang pekerja dan pelajar, mendapat libur panjang seperti mendapat keberuntungan. Targer menghabiskan waktu di luar kos adalah hal mengasyikkan apalagi menghabiskan uang.
Mall, tujuan utamaku. Hidup di kota besar, hiburan yang tersaji hanyalah pusat perbelanjaan modern yang menawarkan beragam jenis kebutuhan. Pakaian, makanan, alat rumah tangga, hingga hobi seperti menonton film.
Tanpa banyak persiapan aku langsung menggeret Amelia, sahabat terbaikku di kos, untuk menemaniku ke salon dan berbelanja baju kerja keluaran terbaru.
Using my first salary.
"Ini bagus nggak Mel?" Aku memilih setelan kerja berwarna biru matang di salah satu gerai yang menjual pakaian formal.
"Ck...old style. Lo persis aunty aunty tahu nggak."
Aku menonyor kepala Amelia. "Pilihin kalau gitu."
Aku kembali menyusuri etalase untuk mencari setelan kerja terbaik. Begitu tanganku meraih setelan yang tergantung di etalase khusus, ada tangan perempuan lain yang juga meraihnya.
Kami berpandangan sekian detik tapi kemudian aku melepaskan setelan itu karena ia sedikit menariknya. Tanpa basa basi pula, ia membawanya pergi. Seorang wanita berwajah tajam dan nampak kurang ramah.
"Nasib gue. Pacar diambil orang. Sekarang baju kerja inceran juga diambil orang." Gerutuku.
Tidak berapa lama Amelia datang membawa sebuah setelan kerja berwarna dark grey. Dengan atasan cuff sleeve and tie collar dan bawahan pegged pants.
"Kalau lo kayak gini, gue jamin bentar lagi duda idaman berkelas yang lo pengen bakal segera datang."
"Aaamiiin."
Setelah selesai membayar pakaian, aku mengajak Amelia ke salon untuk menata rambut sekaligus perawatan. Aku benar benar memanjakan ragawi hingga Amelia menggerutu tidak jelas karena terlalu lama menunggu.
"Gue yakin lo pasti ada target di kantor. Sampai bela-belain dandan kayak gini. No doubt it."
Aku menggeleng. "No one."
"Gue nggak percaya."
Aku berlalu ke kasir, mengabaikan ucapan Amelia. Toh, nyatanya aku memang tidak dekat dengan siapapun.
Puas berbelanja dan memanjakan tubuh, aku mengajak Amelia mencicipi menu dimsum. Dengan memesan steam boat ukuran jumbo.
"Duit gue apa kabar di Alex?"
"Sabar buk. Ini masih usaha. Kayak lo kagak ngerti gimana kadalnya Alex."
Aku tertawa sambil menutup mulut yang baru melahap sepotong Hakau.
"Makasih loh say udah diusahain. Jadi cintaaahh deh sama lo Mel." Aku mengedipkan sebelah mata.
"Lo jangan flirting-in gue, dikira cantik-cantik doyan donat."
"Padahal lo suka tongkat baseball kan?!"
Saat kami asyik melahap dimsum, mataku menangkap kehadiran sosok yang tidak disangka-sangka. Sosok yang kini duduk di pojok tempat makan dim sum ini bersama perempuan yang merebut setelan kerja incaranku tadi.
"Oh my Gosh!"
Astaga! Mengapa di hari yang menyenangkan ini aku harus bertemu dengannya lagi? Kurang cukupkah pertemuan kami di kantor?
Aku merunduk dengan meletakkan kepala di atas meja. Menggunakan badan Amelia sebagai tameng. Aku menata rambut wangiku agar terjuntai ke depan yang mirip orang-orangan sawah untuk menakuti hama.
"Apaan sih Drey? Lo kayak tikus ketemu kambing tau nggak!?"
"Ssstt.... Diem Amelia bawel." Aku memegang kedua tangan Amelia yang ada di atas meja agar tubuhnya tidak bergerak.
"Encok baru tau rasa lo."
"Diem napa sih!" Desisku.
Karena posisi tidak terlalu mengenakkan ini, aku pindah membelakangi mereka berdua dengan duduk di samping Amelia.
"Lo kenapa sih Drey?"
"Sssttt jangan sebut nama gue kenceng kenceng bego."
"Emang lo Voldemort apa yang nggak boleh disebut namanya."
Aku memasang ekspresi lelah. Sungguh ingin kumasukkan saja Amelia ke dalam salah satu Hakau yang tersaji.
"Lo tau, di belakang pojok sono itu bos gue!"
"Bos? Yang mana sih?" Amelia malah menoleh dan mencari cari keberadaanya.
Aku langsung menarik mukanya agar menghadap ke depan.
"Gue ada problem sama dia makanya gue malu ketemu dia."
"Problem apaan? Lo godain dia di kantor?"
Aku menonyor kepalanya. "Gue nggak sinting."
"Dia tadi ada di stand baju pas lo pilih setelan kerja. Gue lirik-lirik ternyata tampan juga euy."
Aku melongo tidak percaya. Berarti perempuan yang merebut setelan yang kuincar tadi adalah kekasihnya. Atau istrinya malah.
Astaga!!
Kemarin aku sudah berulah di hadapan Pak Asmen dan untung saja hari ini aku merelakan baju incaranku untuk perempuannya. Tidak lucu jika perempuannya merajuk lalu mengadukanku pada Pak Asmen.
Amelia kembali menoleh ke arah mereka berdua. "Sapa kek. Sebagai bawahan yang baik."
Aku mendelik. "Ogah!"
Amelia tertawa. "Kalo ada masalah sama tuh bos ya selesaiin dong. Masak iya tiap kalian ketemu, lo sibuk ngumpet."
Aku memutar bola malas. Tidak mungkin menceritakan semua kejadian yang melibatkanku dengan Pak Asmen pada Amelia.
"Bos lo kayaknya ada problem deh sama tuh cewek."
Saat aku mencoba mengintip justru pandangan kami bertemu. Tanpa banyak bicara aku menarik tangan Amelia keluar tempat makan lalu berjalan cepat sambil menutupi wajah dengan paper bag.
"Pelan-pelan napa sih Drey jalannya!"
"Gue nggak mau kelihatan silly di depan dia. Secara kemarin kena semprot masak sekarang gue ketemu dia lagi ngambekan sama yayangnya?"
"Namanya juga takdir beb. Eh Drey, lo nggak ada debaran gitu lihat muka tampan atasan lo tadi?"
-Apa yang menurutku baik, belum tentu menjadi yang terbaik. Membiarkan ia terlepas adalah jalan terbaik.- Audrey "Debaran?" "Atasan lo kan ganteng Drey." Aku menggeleng. "Dia bos killer." "Gue aja kesengsem loh Drey." Andai Amelia tahu bagaimana sadisnya Pak Asmen pada bawahan, pasti ia akan menarik ucapannya kembali untuk mengaguminya. Aku juga heran mengapa rekan-rekan kerja di kantor begitu mengidolakan dirinya? Apakah mereka tidak pernah mendapat teguran atau lirikan sadis darinya? "Lo udah ada cowok masih aja ngelirik yang lain." "Habis dia keren sih. Tipe idaman banget loh." Memilih mengabaikan ucapan Amelia, kami berdua kembali berjalan menuju halaman mall sambil menunggu datangnya taksi online. Lalu duduk di kursi yang berada di bawah pohon ketapang rimbun. Pohon ini mengingatkanku pada bestek karya arsitek idolaku, Paralio. "A picture speaks a thousand words." Gumamku sambil menengadahkan kepala. "Ngomong apaan?" Aku menggeleng dengan menatap rimbunnya pohon ini. "
-Menghindar itu lebih baik dari pada pura-pura tidak melihat.- Audrey Pagi cerah, aku melenggang masuk lantai ground kantor menggunakan setelan kerja terbaru. Rasa percaya diri ini bertambah ketika penampilanku tidak jauh berbeda dengan staf perempuan lain yang lebih senior. Setidaknya, jika ingin memiliki banyak teman, bukankah harus satu frekuensi dengan yang lain? Bahkan demi menjaga penampilanku di awal bulan ini agar tetap terjaga, hari ini aku memilih memesan taksi online. Aku masih muda, seksi, single, dan apa salahnya jika mendapat perhatian dan pujian dari lawan jenis. "Pagi semua." Sapa Pak Rudy ramah. Beliau berjalan bersisian dengan Pak Asmen, sang anak emas. Mereka bak anak kembar beda indukan. Yang satu sudah paruh baya dengan perut membuncit. Yang satu masih muda dengan tubuh seksi. "Pagi pak." Jawab kami serentak seperti memberi hormat pada pak guru. It's been five months, aku jarang melihat Pak Asmen sejak proyek perumahan Pradana Group berakhir. Aku lebih ba
-Cinta itu butuh debaran dan getaran, walau hanya dengan melihat bayangannya saja.- Audrey Menikmati waktu luang dengan menonton film di bioskop, sendirian. Benar benar luang setelah seminggu yang lalu aku sempat sedih hingga terpuruk. Bahkan Amelia tidak tahu bagaimana lagi caranya membujukku agar bangkit. Itu semua karena..... Kontrakku tidak diperpanjang. Biasanya di jam segini aku sibuk-sibuknya mengerjakan laporan keuangan dan melakukan kroscek dengan bagian sipil. Namun tidak dengan hari ini atau esok. Aku sangat mencintai pekerjaan sebagai accounting payable di Antara Karya. Setiap hari aku berusaha memperbaiki kinerja agar tidak mendapat teguran dari atasan. Tapi, nyatanya usahaku dipandang sebelah mata. Bahkan rekaman kejadian pemecatan secara halus itu pun, masih membekas kuat di otakku. Aku urung masuk ke ruangan Bu Fatma karena beliau sedang berbicara serius dengan Pak Asmen. Untuk pertama kalinya selama enam bulan bekerja, aku menemukan pria itu disana. Tepat dihar
-Hanya karena dia menunjukkan kemarahannya padaku, bukan berarti aku harus membalasnya dengan cara yang sama.- Audrey Lunch is my favorite part of the work day. Aku, Anjar, dan beberapa staf divisi keuangan yang lain menuju aula untuk menyambut manajer SHE yang baru. Bisik-bisik tentang sosoknya sudah beredar luas ketika aku off job selama seminggu. Bayanganku dia adalah pria berumur lima puluh tahun, gendut, beruban, keriput, dan angkuh. Karena begitulah biasanya tampang para direksi disini. Aula kantor Antara Karya tidak bisa dikatakan sederhana, karena interiornya dihias dengan well-balanced furniture. Membuat siapapun yang berada di aula merasa takjub dan nyaman. Furnitur ergonomis, pencahayaan strategis, dan tempat duduk nyaman. Meja meeting memanjang, boss chair berkelas untuk para manajer. Sedang para staff duduk i sliding seat. Fasilitas yang jauh berbeda. Old habits always die hard. Sudah rahasia umum jika kantor Antara Karya sangat menjunjung tinggi batas antara
-Berburuk sangka tidak membuat bahagia. Berpikir positif atas apa yang sudah terjadi itu jauh lebih baik.- Audrey Proyek baru yang menjadi jatahku kali ini adalah renovasi gedung dinas pariwisata. Sang kepala dinas yang baru menginginkan renovasi besar-besaran khususnya pada tugu kantor dan bangunan inti. Sebagai kantor pariwisata, sudah seharusnya ia menggabungkan beberapa unsur budaya daerah ke dalam ornamen dinding kantor. Tujuannya untuk membuat staff yang bekerja selalu ingat dan mencintai budaya Indonesia. Idenya sangat bagus, tetaoi memusingkan untukku. Karena ada beberapa material yang dibutuhkan untuk pengerjaan kantor yang tidak bisa dipenuhi akibat stok habis. Sedang bagian lapangan berteriak 'lapar material'. Aku harus memutar otak dengan mencari vendor lain yang memiliki bahan tersebut. Belum selesai dengan pekerjaan sendiri, Bu Fatma memberi mandat agar aku menggantikan posisi Mas Fajar rapat di aula untuk membahas mega proyek jalan tol. Rasanya tubuhku hampir te
-Bila bagi orang lain mengagumi diam-diam itu menyesakkan, maka berbeda denganku. Mengagumi diam-diam itu menjadi sebuah harapan.- Audrey Affar Khaleed Dirgantara, seorang manajer SHE baru di kantor Antara Karya. Dia pria dewasa menawan dan mapan berusia 37 tahun. Kedewasaan, kebijaksanaan, dan ketegasan yang tidak berlebihan membuatnya disegani para direksi dan bawahan. Tidak hanya itu, semua yang melekat pada dirinya adalah hal yang sanggup membuatku kembali jatuh cinta. Termasuk gaya berpakaiannya. Sebucin itulah diriku jika berhubungan dengannya. Mulai dari tatapan mata, senyum, cara berjalan, juga sikap dewasanya saat menghadapi masalah di kantor, membuatnya tidak memiliki cela yang patut digunjingkan kecuali kelebihannya. Bahkan aku melabelinya sebagai sosok pembimbing hidup idaman. Aku jelas-jelas mengaguminya. Atau mungkin malah mencintainya? Setelah meminta Mas Fajar mengambil alih kembali proyeknya dengan alasan aku tidak berpengalaman dengan mega proyek, dia tetap mel
-Memotret kepribadian seseorang sama dengan memotret jiwanya.- Audrey Lembur oh lembur. Melelahkan dan menguras pikiran serta tenaga. Di Antara Karya, lembur seperti aktivitas bulanan yang selalu ada karena beragam masalah di lapangan yang membuat input data ke kantor juga tersendat. Sedang pelaporan harus diserahkan setiap hari. Malam ini aku lembur tapi tidak sendiri. Karena sudah diambang batas kelelahan yang maksimal, aku tidak tahan jika dipaksa duduk lebih lama di kursi bundar ini. Setelah berpamitan pada yang lain, aku menuju lift yang akan membawaku ke lobby. Di dalam lift aku memijat tengkuk sendiri dengan memejamkan mata sambil membayangkan ayam geprek pedas dengan segelas lemon hangat. Ting... Terlalu enak memijat tengkuk hingga tidak sadar aku berjalan sambil memejamkan mata. Hingga... Bruuuk!! Aku menabrak punggung tegap yang tertutup kemeja biru dengan tidak sengaja. Tubuh yang lelah ternyata memiliki efek yang besar pada konsentrasi seseorang. Termasuk cara be
-Pria sejati tidak dilihat dari ketampanan wajahnya, tapi dilihat dari dewasanya menghadapi lika liku kehidupan.- Audrey Akhirnya aku tumbang. Entah sudah berapa lama aku ditempat yang dikelilingi tirai hijau yang kuyakini adalah rumah sakit. Hidungku dilingkupi alat bantu nafas. Selang infus menancap di pembuluh darah tangan. Disampingku ada dua perempuan rekan kerja yang kukenal, Nabila dan Mela. Setelah aku siuman dan lebih baik, mereka pamit kembali ke kantor lalu aku dipindah ke ruang rawat inap. Terima kasih untuk perawat yang sudah membawakan ransel kerja dan mendorong kursi rodaku menuju kamar rawat inap. Aku terkulai lemas di ranjang pesakitan sendirian. Hanya ditemani suara televisi yang menyiarkan siaran luar negeri yang tidak terlalu kupahami. Kelelahan karena bekerja dengan pola makan yang tidak tepat membuat tubuhku bereaksi lain. Ia menjerit marah karena aku tidak menjaga asupan nutrisi yang memadai lalu akhirnya raga ini terkulai di lobby kantor. Saat berangkat