"Aku bayar dulu ya." Ujarku lalu berdiri setelah makan malam kami tandas. Affar menahan tanganku. "Nggak ada ceritanya aku dibayarin kamu baby. Aku laki-laki bertanggung jawab." Affar membuka dompet mahalnya yang menampilkan deretan kartu debit, kredit, dan kartu penting lainnya yang hanya membuat kaum sederhana sepertiku melongo. Dia berasal dari keluarga kaya berpendidikan yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat. "Kan aku yang traktir Far. Nggak apa-apa lah. Kayak sama siapa aja." "Nggak ada. Nggak ada ceritanya aku dibayarin cewek." Affar menyerahkan kartu kredit gold-nya padaku. "Pin-nya tanggal lahir kamu." Imbuhnya. Aku tergelak memandangi kartu kuning mengkilap itu. Pasti isinya juga sangat menyilaukan mata, hati, dan telinga. Dan lebih romantisnya, Affar mengubah pin-nya sesuai tanggal lahirku adalah sebuah perubahan hubungan yang membuatku yakin jika suatu saat nanti Affar akan mencintaiku. Walau tempo hari ia sempat tidak mengijinkan aku mencintainya. "Far ak
Perbincangan bersama Amelia beberapa hari lalu hanya kuanggap sebagai kekhawatiran semu. Wajar dia bersikap demikian mengingat jam terbang berpacarannya yang lebih tinggi dariku dan kami telah bersahabat lama. Tidak ada istilah sahabat sejati menikung kecuali dia hanya berpura-pura baik lalu menusuk dari belakang. Sejauh ini Amelia tulus bersahabat denganku tanpa berusaha mengambil kekasihku. Penilaiannya tentang perilaku Affar bisa diterima oleh logika. Tapi selama beberapa hari aku mengamatinya, Affar tidak menunjukkan gelagat aneh yang seakan-akan ingin memanfaatkanku. Bahkan dia tetap hangat dan penuh kedewasaan setiap memperlakukanku. Selalu mengirim pesan sayang dan perhatian. Akhirnya keraguanku menguap digantikan dengan keyakinan bahwa hubungan kami pasti berakhir bahagia di pelaminan. Aaah... Membayangkannya saja membuatku terlena dan senyum-senyum sendiri. Ada satu hal yang kutekankan pada Affar setelah makan malam kemarin. Bahwa aku tidak mau memasuki mobilnya lagi
Aku termenung dengan beragam pertanyaan tentang suara perempuan yang sempat terdengar saat kami dalam sambungan telfon. Perempuan mana yang tidak panas hatinya mendengar kekasihnya bersama wanita lain? Hanya bisa menerka tanpa bisa memastikan siapa perempuan itu tadi. Mau bertanya pun pada siapa? Tidak ada orang dekat Affar yang kukenal. Bodoh, aku hanya tahu sisi Affar yang manja dan lepas saat bersamaku. Bukan siapa sosok Affar yang sesungguhnya. Intensitas pertemuan kami yang tidak terjalin setiap hari tidak serta merta membuatku mengenal Affar dan ia yang tidak mengijinkanku mengenal dirinya lebih jauh. Saat bertemu, kami hanya membahas hal-hal menyenangkan agar tercipta rasa nyaman dan bahagia seperti yang ia harapkan. Lalu bagaimana dengan perasaanku? It means I know him nothing. Aku tidak tahu dimana rumahnya. Siapa istrinya dan bagaimana wajahnya. Apa masalah utama yang melanda bahtera rumah tangga mereka. Hingga bagaimana sosok keluarga besar Affar. Aku beralih menat
Setelah membayar sate, aku bergegas kembali ke mobil. Namun alangkah terkejutnya ketika mendapati Affar seperti ingin muntah dengan raut menahan yang tidak seperti biasa. Memaksa Affar memakan sate kambing bukanlah hal tepat ketika sedang sakit. Mungkin lebih baik membelikannya obat. Beruntung ada toko peracangan di seberang mobil Affar. Lalu aku membeli permen dan minuman manis untuk meredakan mualnya. Yang membuatku simpatik adalah bagaimana bisa ia menjaga diri dengan baik jika siapapun yang tinggal bersamanya di rumah tidak ikut menjaganya. Ah ... aku lupa, jika wanita yang bersamanya di rumah ikut menjaga Affar bukankah itu berbahaya untuk posisiku? Bila ada yg lebih perhatian bukankah Affar akan lari ke arahnya lalu melupakan aku? Oh tidak, lebih baik begini saja. Biar aku yang selalu ada untuknya dari pada wanita manapun itu. Setelah lebih baik ia menyandarkan diri dengan melirikku lemas. Ia ingin protes tapi lebih sayang dengan tenaganya. "Permisi, Pak, tujuan kita se
Aku menguap lebar, merenggangkan otot-otot seraya melirik jam dinding hotel yang bertengger di angka 2 siang. Jarang sekali aku bisa tidur siang jika bukan akhir pekan seperti ini. Rasanya begitu menyegarkan fisik yang digempur pekerjaan selama 6 hari setiap minggunya. Tadi, sebelum beranjak tidur, ponsel Affar telah kukembalikan di tempat semula agar ia tidak curiga. Walau mencintainya, bisikan kuat batinku untuk mencari tahu tentang hal yang sudah lama merisaukan hatiku tidak bisa kuelakkan begitu ada kesempatan. Bukankah perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan? Bukankah perselingkuhan terjadi karena terlalu percaya pada pasangan tanpa mau berpeasangka? Tidak! Aku tidak mau asal percaya dengan ucapan Affar yang masih mengganjal di dalam hatiku. Rasa segar yang mendera tubuhku membuatku bergumam sudah berapa lama aku tertidur? Lalu kesadaranku kembali memenuhi raga gara-gara mendengar suara auman singa. Singa? Bagaimana bisa ada singa di dalam hotel? 'Apa gue dibuang
"Affar! Aku ini perempuan. Kamu ngasih aku perhatian lebih. Lalu apa salah jika perasaanku berubah jadi cinta?" "Salah!!" Sentaknya tak kalah keras hingga hatiku bergetar. Belum lagi ekspresi marahnya yang baru kali ini terlihat jelas di wajahnya yang biasa terlihat bijaksana dan dewasa. Aku tidak menduga jika kelinci yang terlihat lucu juga bisa berubah menjadi monster menakutkan. "Kalau kamu pakai perasaan, kamu harus siap-siap terluka. Tentang perempuan tadi, itu urusan pribadiku dan kamu nggak berhak ikut campur!!" Dia menunjuk wajahku dengan raut marah yang teramat. Aku mengusap air mata sambil menunduk. Menguatkan hati yang mulai patah karena hubungan yang kugadang akan indah ternyata hanya memberi luka. Affar bisa begitu emosional dan membara karena aku menyinggung perempuan yang tadi bersamanya. Seolah-olah ia jauh lebih spesial dariku yang selalu ada untuknya. Lalu, siapa aku ini dalam hidupnya? Pajangan? Hiasan? Mainan? Atau selingkuhan? "Mana bisa Affar. Your
Tangisku belum mereda setelah pertengkaran kami. Perasaanku yang tak bisa dibendung karena kerap mendapat perhatiannya telah berubah menjadi cinta sepenuhnya. Namun Affar melarangku mencintainya dengan alasan ia masih menjadi suami wanita lain dan agar aku tidak terluka lebih dalam. Hubungan gelap itu sekali dijalani tidak akan memunculkan ketenangan di dalam hati. Tapi bodohnya aku masih tetap saja mengejarnya. "Kamu kesayanganku. Sabar dulu, oke?" Aku mengangguk lemah dengan hati tidak lega sama sekali. Perempuan mana yang sudi menempati posisi tidak jelas sepertiku bila bukan karena Affar yang bersikeras demikian. Mau bagaimana lagi, untuk saat ini aku hanya bisa menginginkan Affar sepenuhnya tapi ia tidak bisa memenuhinya. Pun aku harus menahan perasaan ini demi kebahagiaan kami, demi hubungan ini tetap langgeng tanpa prahara yang bisa membuatnya retak dan hancur. "Aku tahu kamu sangat mencintaiku, tapi tahan dulu. Aku juga nahan semua perasaan ini buat kamu. Jadi kita cum
"Selamat siang, Nyonya Affar." Seorang pelayan hotel datang membawa makan siang untuk kami. Aku berdiri mematung di depan pintu karena sapaannya yang mencengangkan otakku. "Boleh saya masuk, Nyonya?" Aku menaikkan kedua alis lalu memberi ruang bagi pelayan mendorong troli kecil berisi menu makan siang. Setelah meletakkannya dengan baik, ia berlalu pergi. Namun tidak mengurangi kecanggunganku sehabis dipanggil 'Nyonya Affar'. "Ngapain sih pelayan hotelnya?! Ganggu aja!" Affar berubah sewot lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Aku tahu dia sedang kesal karena acara kami terganggu. Tapi aku justru senang karena dengan begitu ia akhirnya selesai. "Bawa makan siang, Far. Aku laper banget." Aku duduk di sofa dengan menaruh nampan besar berisi dua piring makanan lezat lengkap dengan minuman segarnya. "Mau?" Tawarku. Affar melihat sekilas menunya. "Nggak tertarik." "Enak loh." Sepiring cap cay lengkap dengan udang goreng besar yang menggiurkan. Tapi Affar lebih senan