Dia memancingku untuk mengatakan hubunganku dengan Affar. Giliran dia malah main rahasia. Aku rugi banyak sedang Kian tidak mau menceritakan rahasianya. Curang namanya.
"Kurang romantis? Perfeksionis?" Beonya.
Aku mengangguk. "Kamu pria sebelas dua belas, di rumah dan di kantor nggak ada beda."
Kian terkekeh. "Belum kenal berarti."
"Aku kenalnya itu kamu yang tegas, yang perfeksionis, kalau salah dikit ngomel ngomel sama bawahan. Terus kamu lihatin aku kayak mau makan aku hidup hidup."
Kian malah tertawa lepas. Baru kali ini aku bisa membuatnya tertawa seperti ini dengan menguliti semua sifat buruknya yang selama ini mengesalkanku. Biar saja!
"Gue ngeselin kayak apa sih?"
"Kamu jangan pura-pura nggak ngerti deh Kian. Awal-awal aku kerja waktu kita ke lapangan bareng, kamu marahin aku gara gara keluar beli minum. Ngeselin banget."
"Kan lo emang salah. Lo ninggalin customer saat dia butuh lo. Nggak cuma lo yang capek dan ke
Pajangan aquascape besar dengan air bening kebiruan terpampang di depan pintu masuk ruko dua lantai ini. Gerombolan ikan ikan kecil berwarna warni berenang sehat kesana kemari juga beragam tanaman air yang nampak hidup, segar, dan menyejukkan mata.Aku tidak tahu banyak tentang sosok Kian yang lain, yang lepas, dan yang bebas. Darah artistik mengalir dalam tubuhnya, tidak hanya pandai membuat desain bestek, tapi ia juga bisa membuat desain interior yang indah, kini ia salurkan dalam wujud seni artistik yang lain berupa aquascape.Berawal dari bakat kemudian ia kembangkan menjadi usaha yang mengantarkannya menjadi duda mapan nan menawan. Pundi-pundi rupiahnya bertambah, seiring dengan jumlah para kaum hawa yang memujanya. Tapi, Kian seperti tidak terlalu suka bermain cinta atau menjual kasih sayangnya pada sembarang pere
Tetiba kondisi kesehatanku menurun, mungkin ini efek lembur dan sering pulang malam karena ulah Alfonso dan Kian yang kerap mengajakku menghadiri acara club mereka. Akhirnya aku memutuskan memeriksakan diri ke rumah sakit setelah sakit kepala ini tidak kunjung membaik.Sekembalinya dari rumah sakit, aku melihat dua penghuni kos yang tidak memiliki kerjaan sedang berdiri didepan pintu kamarku. Dia mengangkat dagu, seolah dia adalah ratu dan aku adalah babu.Ia mendorong tubuhku hingga terjedot pintu kamar. Badanku yang terasa begitu lemah semakin diperlemah dengan ulah kekanakan mereka."Lo ada masalah sama gue heh!!" Sentakku dengan sisa tenaga yang ada."Mending lo minggat dari kosan ini biar kita nggak ketul
Betapa segar aroma lemon dan empuknya ranjang ini. Terpaan sejuknya AC membuatku engganuntuk bangun. Begitu mataku terbuka, yang terpampang adalah tembok yangdidominasi warna coklat dan putih dengan lampu gantung indah.Ranjang yang kutiduri adalah spring bed king size mahal. Dan kamar kosku tidak menyediakan ranjang senyaman dan semahal ini."Kamar Kian?" Gumamku sembari mengingat ingatnya. Aku pernah sekali ketiduran disini dan kini aku berada disini."Kok bisa?"Kusibak perlahan selimut tebal nan nyaman ini. Lalu menurunkan kedua kaki dengan kepala masih berdenyut nyeri.Di atas nakas samping ranjang ada ponselku yang tergeletak, obat
"Lo perhatiin cara mandi gue?""Eng.....nggak." Jawabku gelagapan."Minum obat sana. Udah nggak demam kan?""Tinggal dikit. Meriangnya udah mendingan kok."Saat aku membereskan bungkus makanan kami, telfonku berdering nyaring.Kriiiing..."Sha, ponsel Lo bunyi." Teriak Kian dari ruang tengah.Saat mengetahui siapa yang menelfon, aku menyuruh Kian untuk tidak bersuara selama aku dan mama bertelepon. Bisa perang dunia empat kalau mama tahu aku menginap di rumah seorang duda.Selama ini hanya mama d
Hari ini aku sudah masuk kerja. Begitu jam kerja berakhir, aku menunggu Kian sambil menyandarkan tubuh di bodi mobilnya. Biar saja staff lain melihat kedekatanku dengan Paralio.Ada hal yang membuatku sangat berani menunjukkan kedekatan kami. Hal yang cukup memusingkan sekaligus bertanya-tanya siapa pelakunya."Tumben berani?" Tanyanya yang baru datang sambil membuka pintu kemudi.Aku ikut membuka pintu dan membiarkan beberapa pasang mata karyawan menangkap kedekatan kami. Kalau perlu aku akan menunjukkan betapa dekatnya aku dengan atasan kecil satu ini hingga aku bisa tidur di kamarnya."Boleh nggak hari ini dan besok, aku jadi egois?" Aku menatapnya lekat.
Semalam aku menginap kembali di rumah Kian. Disana aku bisa lebih tenang dan damai memikirkan apa yang menjadi kesalahanku selama bekerja di Antara Karya.Hasilnya nihil. Aku tidak merasa melakukan hal yang menyalahi aturan kantor. Seperti tindakan indisipliner atau membuat keributan dengan karyawan lain. Semua biasa saja dan baik baik saja.Spekulasiku hanya satu, bahwa ada seseorang yang tidak menyukaiku lalu melaporkan hal ini pada personalia. Tapi anehnya mengapa bagian personalia mengatakan bahwa ini perintah dari pusat?Berarti tidak ada orang kantor yang melaporkanku melainkan ada orang yang lebih tinggi jabatannya dari Pak Darmawan selaku kepala personalia, yang bisa memindah karyawan manapun yang ia sukai.Lelah dengan pikiran sendiri, aku pun kembali mengemasi barang-barang di kubikel dengan tatapan sedih yang Anjar tunjukkan. Dia benar-benar sedih karena harus kehilangan aku sebagai sahabat di kantornya."Lo kenap
Tidur di hotel sendirian tidak membuatku lantas bisa tidur nyenyak. Bayangan percakapanku dengan seseorang di telfon dan caci maki teman teman kos adalah pemicunya. Aku tidak berpamitan dengan baik baik karena mereka juga tidak menyambutku dengan baik. Pagi yang sudah setengah siang itu, aku sudah bersiap untuk melanjutkan takdir hidupku. Pergi ke kota tujuan. Aku turun dari kamar begitu Kian sampai lobby hotel. Dia berdiri membelakangiku sambil menerima telfon dengan raut bahagia. Sengaja aku mendekatinya perlahan tanpa menimbulkan suara. Tapi Kian terburu menoleh ketika aku baru setengah jalan. Lalu ia buru buru mematikan sambungan telfon tanpa say goodbye saat aku di sampingnya. "U....udah lama?" Tanyanya gugup. "Baru aja Kian." "Mana kunci mobil Lo?" Aku menyerahkannya karena hari ini Kian mengantarku ke kota tujuan menggunakan mobilku. Pagi ini penampilan Kian sangat casual, hanya memakai kaos biru cerah lengan pendek, jeans abu abu, dan rambut sedikit jabrik. Like
Sesampainya di kos, aku langsung menemui pemiliknya. Sedang Kian masih menenangkan perutnya di sebelah mobilku. Setelah semua beres, aku mendatanginya yang masih meringis walau sudah meminum obat pereda mulas.Aku menahan tawa. "Cemen! Pake rok sana.""Sialan Lo.""Laki tuh harus kuat, pantes jadi duda muda."Kian menonyor kepalaku dengan tatapan mautnya yang langsung kuhadiahi tangan membentuk minta ampun.Aku mulai mengambil kardus satu demi satu lalu kubawa ke kamar. Saat aku mengambil kardus terakhir, Kian menahan tanganku dan langsung membawanya ke kamar. Kebetulan itu yang paling berat.Setelah meletakkannya, bukannya keluar, Kian malah menata barang barangku. Memperhatikan beberapa spot yang pas lalu menggeser lemari kecil dan kasur lantaiku. Jika sudah seperti ini dia terlihat begitu berwibawa, aura aura kantornya begitu kentara sedang aku hanya berani mencuri lirik dirinya.Aku menahan senyum den