Setelah bersusah payah merayu Kian, akhirnya ia berujar, secara exclusive ia memintaku kembali ke kantor cabang induk pada Pak Rudi untuk dijadikan tim dalam setiap proyeknya.
Bahagia??? Pastiiii!!
"Siap?" Tanya Kian saat aku sudah rapi dengan setelan kerja terbaik lalu duduk di kursi penumpang.
Semalam aku benar benar kembali tidur di kamarnya, di atas ranjangnya yang selalu wangi dan menguarkan parfum khas Paralio. Yang hanya dengan mencium wanginya saja aku tahu jika itu Kian.
Lelaki yang amat kucintai denban segala baik buruk dan kekurangannya.
Bahkan aku tidak peduli dengan statusnya sebagi seorang duda.
"Siap sekali Bapak Asmen."
Kian terkekeh. "Maksud gue, udah siap ketemu kembali?"
"Ini lucu deh." Aku melihat gantungan kunci flamingo pink yang terjajar rapi."Kertas kertas ini juga. Tapi gue beli buat apa coba.""Duuuuh bolpoint ini juga lucu lucu."Tanpa pikir panjang aku segera memasukkannya ke keranjang belanjaan. Kelakuanku bak anak masih SMA ketika melihat alat tulis menulis yang sangat eye catching."Sudah?" Bisiknya.Aku terkejut. "Ngagetin! Kayak siluman.""Sorry." Ucapnya sambil tersenyum."Beli apa aja kamu Kian?"Kian mengangkat keranjang belanjaannya. "Ini, perlengkapan ngajarin adik gue bikin desain rumah sederhana."
"Harusnya aku yang nanya. Siapa kamu?" Ucapnya dengan tatapan tajam."A...aku temannya Kian.""Teman?" Beonya tidak percaya."Ka...kamu siapa? Apa maumu? Cepat pergi!" Usirku.Dia menelisikku secara total dengan tatapan tajamnya yang mirip.... Kian."Kamu siapa?!!!!" Bentakku takut."Aku adiknya Mas Kian. Kenapa kamu bisa sama mas Kian?!"Aku terkejut. Dan merasa bodoh membentak adiknya sendiri."Ka....kami tadi belanja bareng." Suaraku melunak."Kenapa Mas Kian nggak ngajak kamu masuk?"
Menyalahkan mulutku yang lemas karena berani menyebut status Kian sebagai seorang duda. Aku merasa layak dihukum. Tapi bukankah memang itu kenyataannya?Lagi pula aku siap dihukum kalau memang aku menghina statusnya. Tapi aku hanya menyebutnya, bukan menghina.'Oooh okey cukup berburuk sangkamu Sasha. Percuma kamu merasa bersalah karena nyatanya ibu Kian tidak menyalahkan juga tidak membenarkan.' Batinku.Tapi tetap saja perasaan tidak enak dan bersalah ini membelengguku. Aku mulai takut kalau acara pdkt-ku akan berakhir disini.Bagaimanapun aku masih berharap ada di hati Kian dengan cara berdekatan seperti ini.Tidak terasa sudah satu setengah jam aku duduk di
"Sasha, ibu dan Kian minta maaf ya. Karena Rado kamu jadi pulang malam malam sendirian." Ucap mama Kian ketika kami ada di teras rumah. Tanpa Rado.Pemuda itu setelah mendapat nomerku langsung melenggang masuk ke kamar.Tidak ada ucapan terima kasih atau maaf karena tadi sempat berkata kasar dengan menyinggung namaku. Tapi untung saja aku bukan perempuan yang mudah tersinggung.Aku tersenyum lalu menggeleng. "Tidak apa apa bu. Kalau saya jadi Kian pasti saya juga akan mengutamakan keluarga. Saya anggap ini sebagai balas budi dan terimakasih saya sama Kian.""Maksudnya?"Aku melirik Kian sekilas yang hanya diam memperhatikanku.
Aku turun dari taksi dengan raut kecut. Pasalnya setelah sampai kos, gerbangnya benar benar sudah ditutup.Lalu melirik jam di pergelangan tangan."Udah hampir jam setengah 12. Anak anak yang lain pasti udah tidur."Aku berdiri seorang diri di depan gerbang, ditemani seekor tikus yang tiba tiba melintas di depanku."Hamsyooongg!!! Bikin kaget."Sejurus kemudian anjing tetangga sebelah menggonggong.Takut dikira maling akhirnya aku berlari ke rumah Kian yang hanya berjarak lima rumah dari kosku.Setelah berada di dalam rumahnya, aku mengirim pesan pada
"Dokter spesialis kejiwaan Pelita Husada."Aku mengetik nama rumah sakit itu di website dan betapa terkejutnya aku, ternyata rumah sakit itu berada di kota yang sama dengan rumah kelahiran Kian.Itu berarti siapapun yang berobat dengan dokter tersebut adalah orang terdekat Kian.Kubaca lagi isi kuitansinya, tetapi mengapa penerimanya atas nama Paralio Kian Mahardika?Tidak mungkin kan Kian menemui dokter jiwa? Setahuku Kian tidak mengalami gangguan kesehatan apapun. Pikirannya masih lurus.Kecuali jika ada bawahan yang teledor maka Kian akan berubah menyeramkan.Kupilah lagi isi lemari itu dan menemukan se
"Gimana kabar Kian?" Aku mengangguk sambil mengunyah dim sum. "Fine. Dia baik baik aja dan sibuk kayak biasanya Al." Alfonso mengangguk. "Apa dia nggak pernah bicara apapun tentang persahabatan kami?" Aku menggeleng. "Nggak pernah dan gue nggak berani tanya. Tahu sendiri kan? Kian kayak apa kalau dikorek masalah pribadinya. Berarti kalian masih dalam mode nggak baikan?" Alfonso mengangguk pelan. "Lalu Elea? Apa mereka masih saling kontak?" "Apa Lo nggak pernah lihat Kian melakukan komunikasi dengan Elea?" Tanyanya balik.
Kian itu terkadang hangat.Terkadang cuek.Terkadang mengesalkan.Sejak kejadian aku bertemu ibu dan adiknya dirumah kelahirannya tempo hari, walau itu terjadi secara tidak disengaja, membuat intensitas komunikasi kami menurun.Sudah tiga hari ini kami tidak berkomunikasi via apapun. Bahkan di kantor pun aku tidak melihatnya tapi aku mendengar dari Mas Fajar jika mereka sering ke lapangan.'Bawa minum nggak tuh duda? Jangan sampe pingsan lagi kayak dulu.' Batinku."Woy!!!! Ngelamun apa!" Mas Fajar mengejutkanku."Apaan sih mas? Lagi