Aku bergegas menuju lobby karena aku tidak mendapat telfon dari Kian. Paling tidak aku harus standby disana sebelum dia mengomel lagi dengan tatapan yang tidak kusukai.
5 menit
10 menit
20 menit
25 menit
Mobilnya tampak melaju ke arahku dan berharap Kian menyudahi episode marahnya. Bagiku satu bulan perang dingin hanya membuat hatiku membeku.
Tapi ya Tuhan, apa ini? Dia melewatiku begitu saja? Jadi? Aku harus berangkat naik taksi begitu?
Astaga????!!!
Aku mengelus dada dan segera memesan taksi. B
"Perjuangan merebut dia dari gue maksud Lo?!" Elea mendorong bahuku.Aku terkekeh. "Sayang banget ya cinta kalian kandas.""Awas Lo ya! Lo nggak tahu siapa gue? Gue bisa sewa orang buat gebukin Lo di jalan!""Main keroyok bisanya?" Tantangku."Eh jalang, gue peringatin Lo. Sebelum gue bikin Lo babak belur!""Orang dia cowok gue. Yang harusnya minggir tuh Lo!" Sungutku."Jaga ucapan Lo! Ngerti apa Lo tentang hubungan gue dengan kak Kian?"Aku mengendikkan bahu acuh. "Gue nggak minat denger masa lalu kalian."
Namun....Brak...Pintu ruang tamu ditutup Kian sedikit keras. Kian meraih mangkok baksoku lalu meletakkannya di meja ruang tamu."Siapa yang nyuruh Lo pergi? Seenaknya Lo mutus perjanjian padahal Lo yang buat? Lo benar benar cewek plin plan nggak bisa dipegang janjinya!""Aku nggak kuat Kian. Aku lelah kalau kayak gini terus." Ucapku dengan suara tercekat."Kan Lo sendiri yang bilang mau gue suruh apa aja. Kenapa sekarang Lo protes!?"Aku menggeleng. "Kian, aku juga punya lelah. Apa kamu nggak mikir?""Terus gimana kalau gue juga butuh bantuan Lo saa
Cc: Baca dulu.Sha, gue nggak tahu kenapa Lo blokir nomer gue. Udah gue pikir apa salah gue tapi nggak bisa nemuin.Sekarang gue pengen cerita satu moment yang mungkin aja bisa bikin Lo berubah pikiran ke gue.Kian mencintai Elea.Mungkin Lo udah tahu itu lama. But, I want toemphasizeit one more time.With the hope that you will not go wrong to trust Kian or me.Kian dan Elea sudah lama menjalin hubungan tanpa status. Mereka dekat tapi enggak punya ikatan sebagai seorang kekasih.Kian never say love her but hisactshow it.
-Ini bukan tentang siapa yang melupakan dan siapa yang merelakan tapi ini tentang siapa yang lebih dulu meninggalkan dan melepaskan.- Sudah tiga hari berlalu tetapi Kian tidak juga menghubungiku. Bahkan sekedar ucapan maaf karena perlakuan kasarnya pun tidak ada. Dia benar benar pria kurang ajar yang pernah kutemui. Juga, apakah dia tidak memiliki seorang ibu yang perlu dihormati dengan kata-kata yang lembut? Atau memang dia anak kurang ajar yang sering membentak ibunya? Entahlah, yang jelas, walau aku melakukan kesalahan tapi Kian seharusnya tidak seperti itu padaku. Karena aku juga punya hati. Saat aku bisa lolos dari rumahnya malam itu, telfonku terus berdering namun aku abaikan. Aku pikir itu dari Kian yang mau meminta maaf tapi ternyata aku salah. Melainkan telfon dari mama dan ayah tiriku. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk menghubungiku karena kesibukanku yang membuat jarang pulang kampung. Sekalian mereka mengabarkan bahwa usaha konveksi ayah tiriku berkembang sesuai h
-Bukan menyukai, tapi membutuhkan. Ada orang-orang yang memilih kesibukan untuk melupakan kesedihannya.- Aku tidak menyangka jika Alfonso benar-benar datang menjemputku menggunakan skuter. Dia berucap jujur jika mulai mencicipi kesederhanaan ini karena berteman denganku. Aku sempat tertawa tidak percaya tapi ia kembali meyakinkan jika kehadiranku memberi warna baru dalam hidupnya yang terbiasa glamour. Lalu akhirnya ia membawaku makan malam di sebuah tempat makan favorit kami berdua. "Kalian putus?""Al, please kita nggak jadian. Just friend. Jangan ungkit Kian lagi. Malam ini gue cuma pengen denger banyolan Lo yang receh receh itu." Alfonso terkekeh. "Gue harap Lo selalu bahagia. Kenapa sampai blokir nomer gue segala?" "Bodo amat." Alfonso terkekeh. "Kian pasti nahan lo buat nggak hubungin gue atau dia ngracun pikiran lo." Aku tidak menjawab kemudian pesanan kami datang dan itu membuatku berbinar. "Gue nggak peduli sama itu duda. Mau pergi kek mau stay kek, nyatanya xuki ini
-Aku tidak sebaik yang kau ucapkan namun tidak seburuk yang terlintas di hatimu.- Demi apapun mengapa mobil Kian sudah terparkir disana?Bagaimana bisa ia lebih cepat dariku? Dengan segera, aku ikut bergabung dengan Kian juga surveyor lapangan lalu melirikku tidak suka. Aku benci diberi lirikan seperti ini karena masih marah padaku. Mungkin saat bertemu customer nanti adalah momen yang tepat untuk menjatuhkan reputasiku seperti dulu. Demi rasa menyesal dan maaf, aku tidak akan membongkar hubungan pura-pura kami atau menceritakan kehidupan keluarga Kian pada siapapun. Termasuk nama seseorang yang tertulis di kuitansi rumah sakit jiwa yang tempo hari kutemukan. Setelah pertemuan dengan customer selesai, aku berpamitan lebih dulu pada semua yang ada termasuk Kian. Aku ingin menjauh secepat mungkin. Tapi tiba-tiba saja tangan kananku ditarik, lalu ia memasukkanku ke dalam mobil. Bukan ajakan lembut melainkan Kian melakukannya cukup kasar hingga aku meringis karena pergelangan tanganku
-Siapapun kamu yang kelak akan menemani sisa hidupku, kamu adalah pilihan terbaik dari Sang Maha Pencipta.- Hubunganku dan Kian tidak kunjung membaik dan aku selalu menjauh. Kami seperti tidak kenal satu sama lain bahkan di kantor pun aku hanya menunduk saat berpapasan. Semakin tidak berkomunikasi dengannya, semakin melegakan. Saat menyerahkan laporan purchasing di ruangannya, aku tidak banyak bicara. Beruntung Pak Rudy sedang berada di kursinya jadi Kian tidak bisa berbicara di luar topik pekerjaan.Biarlah kami saling merasa tidak nyaman karena ini yang aku butuhkan. Gaya move on setiap orang berbeda-beda, termasuk aku yang menginginkan move on dengan cara demikian. Aku benci cinta bertepuk sebelah tangan. Karena itu menyakitkan. Hari ini Bu Fatma meminta laporan purchasing secara mendadak. Hal seperti ini membuat otakku dipaksa lari maraton di tengah galaunya hati dan perasaan ini. Belum lagi laporan yang kukerjakan harus dicocokkan dengan bestek buatan Kian. Sehingga kami
-Aku adalah daun yang berusaha kuat pada satu dahan, meski takdirku adalah berguguran seperti yang lain.- Sesuai rencana, hari ini aku memulai misi diam-diam menuju lantai empat ke bagian personalia. Aku ingin mengajukan mutasi dari pada harus menerima siksaan lahit batin dari Kian. Karena sekuat apapun perempuan, pasti memiliki titik penghabisan apa lagi yang menyiksa jiwa raga ini adalah lelaki yang menjadi pujaan hati. Ibarat abrasi pada bibir pantai, hatiku lebih cepat tergerus dari pada disakiti rekan sesama kerja yang tidak melibatkan perasaan. "Permisi Mbak Fifi, mau tanya. Ada pemberitahuan jatah mutasi nggak?" "Belum ada mbak, soalnya semua posisi sudah lengkap. Kalau mau biasanya ditempatkan di Indonesia bagian timur." Aku terkejut mendengarnya. "Jauh banget mbak?" "Iya karena hanya itu pilihannya. Kenapa pindah mbak? Padahal yang dari cabang berlomba-lomba bisa dimutasi kemari." Aku menggeleng dan tersenyum. "Pengen ganti suasana aja mbak." Sepertinya dia tahu jika a