Tidak seperti pria, wanita lebih sulit mengungkapkan perasaan cintanya dan memilih menyukai secara diam-diam. Aku lebih suka memendam perasaan sendiri dan berharap Kian memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi ternyata, dia pria yang tidak memiliki perasaan peka dengan kehadiranku yang selama ini selalu ada untuknya. Atau lebih tepatnya, ia lebih menganggap persahabatan kami sebatas sahabat yang saling melipur lara dan berbagai kesenangan. Hatinya bukan untukku. Karena nyatanya, dia tidak memiliki getaran atau debaran hanya dengan melihat keberadaanku. Semua debaran itu hanya aku sendiri yang merasakan hingga bersedia memberikan kehormatanku padanya. Melayani nafsunya dengan mengorbankan harga diriku. Ucapannya yang menyinggung rahasia terdalamku, membuat aku menatapnya tanpa bergeming. "Kenapa? Apa lo emang mencintai gue secara diam-diam?" Tanyanya dengan senyum meremehkan.Bukannya senang karena dia mengetahui perasaanku, justru aku sangat geram. "Wildan lebih menarik dan le
Pertengkaranku dengan Kian masih berlanjut hingga sekarang. Itu karena aku yang selalu memilih lari dari kejarannya. Ucapannya yang melukai hati saat dia menarikku dengan kasar menuju kantin yang gelap adalah salah satunya. Aku tidak siap jika dia mengatakan hal yang kembali melukai hatiku jadi kuputuskan menjauh. Sudah memberi luka, tanpa memberi penawarnya. Siapa yang tidak bisa? Dan kini ia datang ke kos dengan mengamuflase penampilannya dan memakai nama Alfonso untuk menjebakku agar keluar dari persembunyian. Seharusnya dia tidak perlu datang kemari toh dia tidak bersedia bertanggungjawab atas percintaan panas kami di Jogja. Dia menyalahkanku sepenuhnya atas apa yang telah terjadi.Menerima penghakimannya tanpa lapang dada, itulah yang kujalani saat ini. Mau bagaimana lagi? Mengejar pertanggungjawabannya adalah hal paling memalukan sepanjang hidupku. Dari pada berputih tulang lebih baik berputih rambut. Pun aku telah menegaskan jika akan pergi dari lingkup edarnya baik di kan
Bila Kian menyeriusi perkataannya untuk membantuku mutasi ke Indonesia bagian Timur, demi pluto yang suatu saat nanti pasti ditemukan, aku akan melempar Kian ke dalam pusaran tornado api dan berdoa dia mati sekalian. Bagaimana mungkin aku terpisah sejauh itu dengan keluarga dan para sahabat. Cukup Affar yang pernah memutasiku tanpa persetujuan, dan Kian tidak berhak melakukannya padaku, pada karirku. Ini adalah masalah pribadi yang tidak seharusnya merambah ke ranah profesi. "So, mau gue bantu mutasi ke Indonesia Timur?""Bagaimana bisa kamu tahu aku meminta mutasi? Katakan.""Nggak penting.""Itu penting bagiku. Kamu mencuri urusan pribadiku di kantor.""Kalau iya, so why? Lo marah?"Demi Tuhan, mengapa Kian berubah menjadi duda tua sialan yang membuatku bertambah geram. Kali ini aku tidak suka dia mencampuri masalah ini. "Mutasi atau nggak mutasi itu bukan urusan kamu Kian!""Emang bukan. Dan urusan kita nggak akan kelar kalau lo mutasi sebelum ini semua clear. Sikap pecundangmu
Cinta itu sangat rumit. Kukira para aktris mengatakannya begitu mudah saat berakting di dalam film. Tapi ternyata tidak semudah dugaan. Jika bukan karena Kian yang menekan dan memaksaku untuk mengatakan alasan utama mengapa aku selalu menghindarinya sejak percintaan panas kami di Jogja, mungkin aku akan tetap menyembunyikan perasaan ini. Mengatakan "Aku Mencintaimu" kepada Kian adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan ketika aku mengatakannya untuk pertama kali. Begitu banyak hal yang melintasi kepalaku. Ada ketakutan akan penolakan—bahwa Kian tidak merasakan hal yang sama. Pun aku takut jika salah mengatakannya lalu menjadi bahan lelucon Kian. Atau aku takut mengatakannya terlalu cepat. Kadang, mempersiapkan kata-kata cinta sehari sebelumnya bisa jadi buyar ketika bertatap muka dengan seseorang yang spesial. Seolah-olah mulut menjadi beku. "Aku mencintaimu Kian." Kata-kata itu meluncur begitu cepat dengan nada tertekan andai Kian tahu. Bahkan, aku tidak memiliki waktu yang tep
Aku mencintai Kian dan selalu memprioritaskan dirinya, memilih dia terlebih dahulu, melihat dirinya sebagai hadiah, menunjukkan kasih sayang kepadanya, dan menghormati pribadinya. Bahkan hanya melihat dirinya saja aku merasakan chemistry yang berbeda. Dia seperti energi yang selalu menarikku kepadanya. Semua terasa magnetis dan alami. Cukup berperilaku lembut saja, Kian sudah sangat menyenangkan, membuat bahagia, dan mampu memenangkan seluruh kasih sayang dariku. Karena aku tidak pernah ingin terlibat secara serius dengan lelaki yang tidak benar-benar kucintai. "Sha?" Sambil mengusap air mata. "Tolong jangan katakan apapun tentang perasaanmu. Aku tahu aku nggak pernah ada di hatimu. Cukup kamu tahu perasanku aja Kian." "Dan kejadian di Jogja, aku minta maaf nggak seharusnya aku pinjam kamarmu." "Aku penyebabnya. Nggak akan ada apa-apa kalau aku nggak kecentilan. Maaf membebani kamu Kian. Maaf." Aku mundur selangkah demi selangkah dengan mengusap kasar air mata. Aku merasa han
"Sha, lo mau jadi pacar gue?" Aku membelalakan mata tidak percaya. Tawaran menjadi bagian hidup seorang Paralio Kian Mahardika yang telah lama kukagumi dan kucintai adalah hal yang paling kutunggu. Karena sejatinya cinta tumbuh lalu berharap mendapat balasan yang seimbang, bukan menjadi cinta sendiri yang memilukan. "Gue bakal tanggung jawab. Gue tahu itu yang pertama buat lo. Walau gue sempat mau narik diri, tapi telat karena gue udah nembus perawan lo. Itu kesalahan kita dan gue pengen kita mulai belajar memahami satu sama lain." "Lo belajar ngertiin segala kesibukan dan rutinitas gue. Dan sebaliknya, gue juga bakal ngertiin karakter dan rutinitas lo Sha. Dan gue nggak akan lari dari tanggung jawab." Aku seperti ladang gersang yang mendapat hadiah berupa hujan lebat berhari-hari tiada henti. Aku tersenyum sangat bahagia lalu memeluk Kian erat. Seolah tidak ada hari esok untuk melampiaskan kebahagiaan ini. Sesuatu yang amat sangat kunantikan akhirnya terwujud juga. "Aku mau Ki
Setelah pengakuanku di kafe rooftop hotel, hari-hariku terasa penuh akan kebahagiaan. Walau semua terasa masih kaku karena Kian masih belum memiliki perasaan padaku, aku tidak akan berhenti mencurahkan cinta dan kasih sayangku untuknya. Aku yakin kelak di hatinya akan ada cinta untukku. Hanya akan melihatku sebagai satu-satunya pasangan terbaik untuknya karena rasa cintaku untuknya yang tak terbendung besarnya. Seperti pasangan lain pada umumnya, hubungan kami berjalan seperti biasa. Dan Kian membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan hubungan kami. Walau balasan pesannya terasa kaku dan kadang sedikit formal, aku tidak mempermasalahkan sama sekali.Demi mengurai kecanggungan hubungan ini, aku berinisiatif menghubunginya lebih dulu. Pagi ini aku sengaja menumpang mobilnya ketika berangkat kerja dengan alasan bohong jika ban motorku kempes. "Kalau nggak gini nggak bakalan lemes tuh duda." Ucapku di depan cermin ketika memoles bibir dengan lipstick."Kalau gue cantik gini, lama-lama
Keputusanku memilih Kian yang notabene seorang duda, bekas wanita lain, bukan sesuatu yang kupermasalahkan. Aku menganggap Kian sebagai lelaki yang memiliki pengalaman dan pembelajaran dalam membina hubungan yang lebih konsisten. "Duda." Jawabanku membuat Anjar menunjukkan ekspresi terkejut yang luar biasa. "What?! Lo sinting Drey. Doyan bekas cewek lain." Andai Anjar tahu siapa kekasihku yang sebenarnya. Atasan kecil di kantor ini yang begitu ia hormati dan banyak staf perempuan mengaguminya. Paralio Kian Mahardika. "Gue nggak masalah. Dia tuh dewasa banget, papa-able lah." Kedua orang tuaku bercerai, dan selama ini aku tumbuh tanpa kasih sayang darinya. Itulah alasan mengapa aku selalu jatuh dalam pelukan pria dewasa. "Nggak kurang cowok single Drey. Lo kayak cewek mengenaskan doyan duda." Ucapnya sedikit jijik. "Kenapa sih dengan status duda? Kok lo antipati banget sih?" Anjar menyeruput sekilas jus alpukatnya. "Duda cocoknya sama janda Drey. Dan duda itu pengalaman membo