Setelah Sasha alias Audrey pergi meninggalkannya dengan amarah tertahan, Kian mengumpat lurih. Rambut, wajah, dan kacamatanya basah akibat ulah heroik Sasha yang begitu berani. Mengguyur Kian dengan segelas air putih. "Perempuan licik!!" Kian malu sekali menjadi pusat atensi beberapa pengunjung akibat drama percintaannya kali ini. Ia tidak menduga respon Sasha yang terlampau ekspresif. "Untung bukan espressonya. Dasar drama queen!" Yeah, Kian beruntung bukan kopi espresso yang tinggal setengah cangkir yang menjadi objek luapan kemarahan Sasha. Kalaupun sampai terjadi sepertinya Kian cocok mendapatkannya. Amanda bersiap masuk mobil ketika Kian menekan central lock dengan raut marah. Belum sempat memakai seatbelt, Amanda beralih menyentuh pundak Kian. "Kian, kok basah?" Matanya menelisik ke arah rambut klemis mantan suaminya itu. "Rambutmu juga basah?" Tangannya menyentuh rambut hitam Kian. "Ulah perempuan licik itu!" Ucap Kian emosi. Amanda menyadari ada yang salah dengan
"Soal kehamilan Sasha, kalau boleh tahu, gimana pendapatmu Kian?" Kian menghela nafas kesal. Dia bingung dengan pemikiran dan kenyataan yang saling bertolak belakang. Mana yang benar dan mana yang salah, ia tidak mampu membedakan. Mau percaya ia tidak yakin. Tapi jika tidak yakin mengapa ia merasa ada yang mengganjal di hati. Hal klise ini sungguh memuakkan untuknya. "Aku nggak yakin itu anakku Nda." "Well. Seberapa sering kalian make love kalau boleh tahu?" Amanda bertanya cukup santai. Seperti janjinya di awal, dia tidak akan menghakimi Kian dan hanya akan menjadi pendengar setia. Kian berpikir sejenak tapi ragu menatap Amanda. "Dua kali." "Surely?" "Udah lah Nda. Aku nggak mau inget-inget lagi." Putusnya tidak mau didebat. Sungguh, Kian adalah pria dominan yang sangat bajingan! "Okay. Kalau boleh tahu, apa yang bikin dia spesial di mata seorang Paralio?" Kian meliriknya tajam dan tidak suka. "She is not really special for me. Kamu tahu siapa yang selalu menjadi pemilik hat
Amanda sengaja mengambil izin cuti selama satu minggu dari kantor tempatnya bekerja. Alasannya, tentu demi menemani Kian menjadi saksi di pengadilan dan 'merampungkan' urusannya dengan Sasha. Ia ingin menjadi saksi berakhirnya hubungan mantan suaminya dengan kekasihnya. Walau Sasha berkata ia tengah mengandung benih Kian, Amanda tidak peduli. "Pasti itu anaknya orang banyak. Gue heran kenapa Kian bisa kepincut gadis murahan itu. Paling dianya yang gatel. Tahu aja duda mapan, langsung digaet." "Gue mesti yakinin Kian biar nggak bimbang sama kehamilannya Sasha. Ngerusak rencana gue aja!" Sore harianya, Kian menjemput Amanda untuk kembali ke kota halaman. Mereka memiliki janji bertemu dokter yang menangani Rado. "Aku udah hubungin Rafael." Dokter Rafael adalah sahabat lama Amanda yang menjadi psikiater di salah satu rumah sakit jiwa. "Thanks Nda." "For you, I give everything." Kian tersenyum lega lalu mencium tangan Amanda sebelum melajukan mobilnya kembali. Setelah menempu
Tebakan Anjar tidak salah. Dia tahu kemana arah pikiranku saat ini. Memang, apa yang bisa dilakukan seorang perempuan single sedang hamil tanpa suami selain mencari ladang baru untuk tempat tinggalnya? Tetap di ladang yang lama hanya menimbulkan gunjingan dan hinaan. Walau semua orang berhak mendapat pengampunan dari kesalahan yang telah dilakukan, namun bukan berarti aku siap menerima hujatan tiada henti di tempat yang lama. Juga, berada di kota ini hanya membuatku teringat Kian terus menerus. Kebersamaan dan kegilaan kami di kota dan di kantor ini cukup banyak. Yeah, sangat banyak bahkan aku tidak lagi bisa menghitungnya. Aku mengangguk. "Iya Njar. Orang sekantor ngertinya kalau gue masih single tapi kenapa gue hamil. Padahal nggak ada undangan atau syukuran nikahan dari gue. Pasti gue bakal digunjing hamil diluar nikah. Gue nggak mau makin tertekan aja Njar. Makanya gue pergi ke tempat lain yang nggak ada yang kenal gue. Nanti gue bisa atur drama baru disana." Anjar menggeleng
Ibarat sepasang kekasih yang baru saja dimabuk asmara, Kian dan Amanda bergandengan tangan selepas menonton film bersama di sebuah bioskop. Senyum bahagia keduanya begitu sumringah seperti tidak ada beban yang melilit. Kian yang masa bodoh dengan kehamilan Sasha karena Amanda mendukung opininya yang meyakini bahwa janin yang dikandung adalah benih lelaki lain. Juga Amanda yang kembali ingin merebut hati mantan suaminya setelah perpisahan mereka yang tidak baik-baik kala itu. Kembali, Rado adalah faktor utamanya. "Aku bahagia Kian, berasa kayak kita masih kuliah tahu nggak sih." Ucap Amanda manja sambil mengeratkan tautan jemari mereka berdua. Ah... siapa saja yang melihat seakan iri dengan keromantisan di usia yang menginjak paripurna. "Aku juga bahagia." Kian menatapnya dengan senyum hangat. "Inget nggak dulu kita kalau pacaran tuh hampir tiap minggu mesti nonton film. Sampai petugas bioskopnya kenal sama kita." Kian tersenyum sembari mengingat masa-masa indahnya bersama A
Aku menatap Alfonso bingung karena ucapannya. "Maksudnya?" Alfonso tersenyum. "Lo pengen denger sesuatu? Rahasia gue tentang lo?" Aku menunjuk diri sendiri. "Gue? Emang gue kenapa?" "Tapi setelah denger cerita gue, lo jangan kaget. Dan kita tetap berteman. Oke?" "Oke." Alfonso menatapku lekat. "Pernah nggak lo ngerasa... gue suka sama lo?" "Heeh?!!! Mana mungkin?" Beoku tidak percaya. "Oke dari sini aja lo udah nggak nyangka. Gimana gue mau lanjutin?" "Emang apa yang lo lihat dari cewek kasta rendahan kayak gue Al? Lo ganteng, tajir, mobil lo mewah. Nah gue? Cuma naik motor Al. Lo pasti ngeprank gue deh. Asal lo tahu gue nggak GeEr." "Bagus kan kalo lo nggak GeEr. Itu artinya penyamaran gue sukses. Gue bisa mencintai lo dalam diam." Aku berpikir jika Alfonso salah makan. "Kenapa lo suka sama gue? Emang gue cantik? Enggak kan!?" "Waktu lo ditampar cowok di mall, gue inget banget gimana sedihnya lo. Tiba-tiba aja ada perasaan gue pengen ngelindungin lo." "Waktu gue ditampar
"Gendut? Nggak Al. Gue nggak ada niat cari cowok dalam waktu dekat kok. Jadi meski gue gendut nggak masalah. Yang penting sehat." "Lo cewek nyentrik yang sukses bikin gue nggak habis pikir Sha." "Lo nggak akan nemu yang nyentrik kayak gue Al. Jadi, selamat move on." "I will." Setelah menempuh perjalanan selama empat jam dengan jalur darat, akhirnya kami sampai juga. Maklum kemacetan dan lampu merah menjadi faktor penambahnya. Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota yang tidak besar ini. Aku keluar mobil dan langsung menuju sebuah rumah kecil yang ada di perumahan sederhana. Aku menemukan iklan rumah itu disewakan dari situs online. "Lo yakin mau nyewa rumah ini Sha?" "Iya. Gue suka pohon ketapang kecil yang ada di depannya itu." Tunjukku. "Tapi kok kayak agak nggak kerawat ya Sha?" "Nggak apa-apa nanti gue bersihin. Tunggu bentar ya Al, yang punya rumah masih otewe kemari." Alfonso mengangguk sambil melihat-lihat keadaan depan rumah. "Taman ini perlu dihidupin Sha.
"Pak Lio, bisa bicara sebentar?" Pak Rudy menginterupsi saat Kian tengah berkutat dengan pekerjaannya. "Iya pak. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Rudy duduk di kursi yang berada di seberang meja Kian sambil membuka lembaran map kuning. "Ada tugas dari kantor untuk mengikuti pelatihan arsitek di Jepang. Bagaimana? Apa Pak Lio tertarik?" Kian merasa cukup senang dengan tawaran itu. Karena ia bisa lebih memperkaya ilmu. Pria itu, selain haus akan cinta, belaian, kekuasaan, juga haus ilmu pengetahuan. "Sebenarnya, pelatihan ini akan diberikan ke Pak Romi, tapi aku tahan dulu untuk Pak Lio." Kian, dia pandai mengambil hati atasannya, Pak Rudy. Hampir semua besteknya mendapat pujian dari customer dan Pak Rudy makin menyayanginya. "Kesempatan bagus loh." Kian langsung mengangguk setuju dan diproses oleh departemen human capital untuk dibuatkan surat tugas perjalanan dinas. Mungkin, secara materi dan karir Kian cukup cemerlang. Tapi tidak dengan urusan pribadi yang masih carut marut.